3 - Bangkitnya Sang Legenda (1)

Bertahan hidup sebagai gelandangan bukanlah perkara mudah. Meski cukup tersiksa, aku

tak putus asa dan selalu bersyukur karena lahir di dunia ini dengan keadaan "layak". Aku

bukan amoeba, aku bukan virus, apalagi bakteri Treponema Pallidum. Tidak ada alasan

yang lebih masuk akal mengapa aku tak menyesali kelahiran ke-100 ini.

Bagiku, setiap hari adalah penantian. Duduk di pinggir jalan sambil menjulurkan tangan,

meminta sumbangan pada para dermawan. Hasil mengemis ini tak hanya kuhabiskan untuk

mengisi perut. Jumlahnya yang minim bahkan takkan cukup membuatku kenyang. Daripada

menghabiskannya tanpa menerima kepuasan, aku menyimpan uang tersebut untuk

keperluanku yang lain. Sepulang dari pasar atau persimpangan kota, aku akan pergi ke

penampungan sampah dan memungut barang-barang yang tampak berpotensi.

Orang-orang pikir, aku mengonsumsi sampah. Tapi sebenarnya, aku mengambil

barang-barang disana untuk membuat mesin-mesin baru.

Proyek yang paling awal kukerjakan adalah mesin pemroduksi makanan. Mesin ini memiliki

kemampuan mengubah karbondioksida menjadi berbagai jenis makanan sesuai

keinginanku. Meskipun keuntungan yang kudapatkan berkali-kali lipat, proses

pembuatannya tentu memiliki sejarah yang cukup kelam. Selama 6 minggu penuh, aku

hanya mengisi perut dengan keong dan air kotor dari sungai di sebelah rumahku. Asal kau

tahu, tempat tinggalku adalah bangunan super kreatif yang dibangun dari koran di bawah

kolong jembatan. Mungkin kau akan berpikir bahwa sebaiknya aku membuat alat pemasak

air dulu untuk memperoleh air minum yang sehat. Akan tetapi, percayalah, aku sudah

memperhitungkan semua dengan segala resikonya. Jika membuat mesin air minum lebih

dulu, aku tak tahu apakah uang hasil mengemis bisa menahan laparku sampai mesin itu

berhasil dibuat. Lagipula, aku masih bisa menggunakan cara tradisional untuk menjernihkan

air, kemudian memasaknya menjadi air matang siap konsumsi. Usai mesin pemroduksi

makanan selesai, aku pun beralih pada mesin penghasil air minum. Tak seperti mesin

sebelumnya, mesin ini cenderung lebih mudah sehingga hanya memakan waktu 10 hari.

Selain mesin untuk kebutuhan pangan, aku juga membuat alat penerang yang lagi-lagi

memanfaatkan karbondioksida. Seperti halnya yang kita tahu, kadar karbondioksida di dunia

semakin meningkat dari tahun ke tahun. Mengingat hal ini, aku mencoba membuat

terobosan baru melalui mesin-mesin yang dapat mengurangi gas tersebut. Faktor lain yang

menghilangkan kecemasanku ketika membuat temuan baru tersebut adalah bahan utama

energi yang tidak akan habis, lantaran dihasilkan setiap harinya.

Uang yang kutabung di dalam celengan juga tak hanya habis untuk melakukan percobaan.

Kadang, aku membeli koran atau buku-buku sains untuk melihat perkembangan sains di

dunia. Mengetahui adanya perubahan besar sejak kehidupan pertama, aku merasa ada

lubang kosong yang menjadi jarak antara kedua titik dimana aku hidup sebagai manusia.

Reinkarnasiku sebelum ini memang tak banyak memberiku kesempatan untuk mempelajari

kehidupan di dunia. Sehingga, mau tak mau aku harus mengakui bahwa aku terlalu kuno

untuk zaman yang super seperti sekarang. Meski ragaku terlalu muda, aku memaksakan diri

untuk beradaptasi dengan dunia sains masa kini.

To Be Continue

Jangan lupa tinggalkan jejak ya kawan...

🥺🙏