Bertahan hidup sebagai gelandangan bukanlah perkara mudah. Meski cukup tersiksa, aku
tak putus asa dan selalu bersyukur karena lahir di dunia ini dengan keadaan "layak". Aku
bukan amoeba, aku bukan virus, apalagi bakteri Treponema Pallidum. Tidak ada alasan
yang lebih masuk akal mengapa aku tak menyesali kelahiran ke-100 ini.
Bagiku, setiap hari adalah penantian. Duduk di pinggir jalan sambil menjulurkan tangan,
meminta sumbangan pada para dermawan. Hasil mengemis ini tak hanya kuhabiskan untuk
mengisi perut. Jumlahnya yang minim bahkan takkan cukup membuatku kenyang. Daripada
menghabiskannya tanpa menerima kepuasan, aku menyimpan uang tersebut untuk
keperluanku yang lain. Sepulang dari pasar atau persimpangan kota, aku akan pergi ke
penampungan sampah dan memungut barang-barang yang tampak berpotensi.
Orang-orang pikir, aku mengonsumsi sampah. Tapi sebenarnya, aku mengambil
barang-barang disana untuk membuat mesin-mesin baru.
Proyek yang paling awal kukerjakan adalah mesin pemroduksi makanan. Mesin ini memiliki
kemampuan mengubah karbondioksida menjadi berbagai jenis makanan sesuai
keinginanku. Meskipun keuntungan yang kudapatkan berkali-kali lipat, proses
pembuatannya tentu memiliki sejarah yang cukup kelam. Selama 6 minggu penuh, aku
hanya mengisi perut dengan keong dan air kotor dari sungai di sebelah rumahku. Asal kau
tahu, tempat tinggalku adalah bangunan super kreatif yang dibangun dari koran di bawah
kolong jembatan. Mungkin kau akan berpikir bahwa sebaiknya aku membuat alat pemasak
air dulu untuk memperoleh air minum yang sehat. Akan tetapi, percayalah, aku sudah
memperhitungkan semua dengan segala resikonya. Jika membuat mesin air minum lebih
dulu, aku tak tahu apakah uang hasil mengemis bisa menahan laparku sampai mesin itu
berhasil dibuat. Lagipula, aku masih bisa menggunakan cara tradisional untuk menjernihkan
air, kemudian memasaknya menjadi air matang siap konsumsi. Usai mesin pemroduksi
makanan selesai, aku pun beralih pada mesin penghasil air minum. Tak seperti mesin
sebelumnya, mesin ini cenderung lebih mudah sehingga hanya memakan waktu 10 hari.
Selain mesin untuk kebutuhan pangan, aku juga membuat alat penerang yang lagi-lagi
memanfaatkan karbondioksida. Seperti halnya yang kita tahu, kadar karbondioksida di dunia
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Mengingat hal ini, aku mencoba membuat
terobosan baru melalui mesin-mesin yang dapat mengurangi gas tersebut. Faktor lain yang
menghilangkan kecemasanku ketika membuat temuan baru tersebut adalah bahan utama
energi yang tidak akan habis, lantaran dihasilkan setiap harinya.
Uang yang kutabung di dalam celengan juga tak hanya habis untuk melakukan percobaan.
Kadang, aku membeli koran atau buku-buku sains untuk melihat perkembangan sains di
dunia. Mengetahui adanya perubahan besar sejak kehidupan pertama, aku merasa ada
lubang kosong yang menjadi jarak antara kedua titik dimana aku hidup sebagai manusia.
Reinkarnasiku sebelum ini memang tak banyak memberiku kesempatan untuk mempelajari
kehidupan di dunia. Sehingga, mau tak mau aku harus mengakui bahwa aku terlalu kuno
untuk zaman yang super seperti sekarang. Meski ragaku terlalu muda, aku memaksakan diri
untuk beradaptasi dengan dunia sains masa kini.
To Be Continue
Jangan lupa tinggalkan jejak ya kawan...
🥺🙏