Sebenarnya Selin sama sekali tidak gendut,malah tubuhnya termasuk mungill. Satu-satunya bagian dengan lemak berlebih di tubuhnya hanya di pipi. Namun Selin selalu kesal dan percaya tsetiap kali rangga menyebutnya gendut. Gendut selalu menjadi nama tengah Selin semenjak ia mengenal rangga.
Selin 'gendut' kasmira
Hihh.. ngak banget!!
"resek banget, sih!" Selin berseru kesal, tapi rangga justru semakin tertawa. Setelah Selin menekuk bibirnya, barulah tawa rangga mulai mereda.
"oyy! Ngambek?" rangga menjawil pipi selin, tapi cewek itu malah menyentak tangannya.
"Aduhh, sayangku ngambek terus, sini-sini Lee jong-suk ajarin senyum." Kalau rangga begitu, artinya musihbah bagi selin. Bukannya meminta maaf, rangga justru mencubit pipi selin yang mengembung. Cowok itu akan memutar-mutar, menarik-narik, menekan-nekannya, seolah-olah pipi iris adonan slime.
"aduhh rangga, sakitt!" selin berseru heboh, berusaha mengeyahkan tangan yang sedang menjajah pipinya.
"apa? Bilang apa barusan? Password-nya duluu"
"sakit rangga! Iya..iya aku maafin!" sudah susah payah selin mengeja kalimatnya, tetapi rangga menggelengkan kepalanya.
"bukan itu passwordnya"
"selin sayang rangga" setelah selin menyebutkan password yang dimaksud , barulah rangga melepaskan cewek itu sambil tertawa puas. Selin melotot ke arah rangga sambil memegangi pipinya yang memerah.
Ada dua password yang bisa melepaskan selin dari siksaan rangga. Yang pertama, rangga tampan, yang kedua selin sayang rangga.
"nah gitu dong, kan jadi ga gendut lagi." Rangga mengeluskepala selin dengan lembut, sementara selin hanya menatap rangga dengan sebal.
"loh selin, ngapain kamu disini?" sapan dari itu langsung membuat kepala selin tertoleh. Ia terseyum saat mengenali seniornya berdiri di depan mereka. Itu Raya, anak ekskul jurnalistik.
"Eh, kak raya, ini selin mau masuk." Kalimat selin terhenti ketika matanya melihat sekeliling mereka , seperti menyadari sesuatu yang sejak tadi terasa janggal. Sapaan Raya, koridor yang sudah sepi, dan keberadaan mereka di lorong kelas XII membuatnya seperti tersambar petir.
"mati gue!" selin teringat pada kelasnya yang berada di lantai dua. Bagaimana ia melupakan kelas Bu Rina?!
"Rangga, kok bawa gue ke sini sih?" selin berseru panik , tapi seperti yang sudah-sudah, rangga hanya memasang tampang polosnya.
"Lohh, bukannya kamu nganterin aku ke kelas?" rangga menuding pintu kelsnya yang bertulisan XII IPS 4.
"arghh! gila lo ya!!" selin menjambaki rambutnya. Sebelum berlari menuju kelasnya, cewek itu menyempatkan diri menendang kaki rangga
"Auuw!" rangga mengadu kesakitan, tapi selin sudah tidak peduli.
Raya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan mereka.
"Heran aku sama kalian, udah besar masih aja kayak anak kecil."
Rangga tergeli mendengar ucapan Raya. Menggangu selin memang selalu menjadi kepuasan tersendiri baginya. Tidak ada yang membuatnya lebih gemas daripada pipi selin yang berisikan lemak dan mungil.
"daripada lo ngomel kayak selin, mending gendong gua ke kelas deh, Ray, sakit ini," ujar rangga sambil memperlihatkan kakinya yang membiru.
"heuu, masa kayak gitu aja udah ngak bisa jalan." Raya menghela nafas dan masuk ke dalam kelas meninggalkan rangga di tempat semula.
Senyumnya tercetak sambil memperhatikan selin yang masih terlihat berlari di sepanjang lorong.
"belajar yang bener ya lin, Biar pinter jangan kayak berbie cantik diluar tapi otaknya kosong," ucap rangga sebelum masuk ke dalam kelasnya.
"kamu lagi, kamu lagi." Kata pak ruslan yang mengajar pada jam pertama di kelas rangga. Pak ruslan mengelengkan kepala saat melihat rangga masuk dengan santai.
"maaf pak!" seru rangga sambil meletakkan tasnya.
"kamu tahu kan, hukuman terlambat jika dikelas saya apa?" tanya pak ruslan yang langsung dijawab rangga dengan antusias.
"rangga langsung berjalan ke meja guru, lalu mengambil buku sejarah yang terletak di ujung meja. Karena pak ruslan adalah guru sejarah. Krena pak ruslan adalah guru sejarah makan hukuman terlambat adalah membaca serajah yang ada di indonesia sesuai topik pada hari itu.
Rangga sangat hafal hukuman terlambatt untuk semua mata pelajaran, karena ia memang sering terlambat.