Rangga sudah pernah mendatangi kamar itu puluhan kali, mengetuknya hingga ratusan kali.
Biasanya, tanpa perlu ia minta, penghuni kamar ini akan menyambut dengan senyuman lebar atau rengutan bibir yang menggemaskan.
Namun, tidak kali ini. Ares mengizinkan Rangga untuk bertemu dengan selin tapi ternyata tidak dengan cewek itu.
Pintu kamar berwarna putih itu tertutup rapat-rapat. selin menolak semua orang yang ingin mengunjunginya.
Ketukan dari papanya, Ares, dan Katya ia abaikan. Selin tak membukanya atau sekadar memberikan jawaban.
Jadi, di sinilah Rangga, menatap pintu itu, berdiri tegap walau ia tahu kehadirannya bukan lagi suatu yang diharapkan.
Waktu berjalan....
Mereka berdua membiarkan kebekuan menjadi satu-satunya hal yang tersisa di sana. Karena mereka tahu, jika salah satunya mulai berbicara, maka hanya kehilanganlah yang menanti mereka.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Rangga tetap tak berbicara. Ia menghiraukan ngilu di sekujur tubuh dan luka-lukanya yang masih berdarah. Bagi Rangga, semua luka ini tak sebanding dengan semu kesalahannya pada cewek di dalam sana.
"Lin," panggil Rangga. Cowok itu menundukkan kepalanya menatap lantai yang ia pijak.
Seperti sebelumnya, hanya hening yang menyambut.
"Lo ingat nggak, gue pernah bilang, kalau lo jadi pacar gue, lo bakal jadi cewek paling bahagia sedunia?" Rangga menjeda sejenak, senyum pahit terbit di bibirnya.
"Gue salah. Bukan lo yang bahagia, tapi gue yang udah jadi cowok paling bahagia karena punya pacar kayak lo."
selin tetap tak menjawab dan Rangga bahkan tak tahu apakah Iris mendengarnya.
"I love you, beyond words." Kalimat itu dikatakan Rangga dengan seluruh kesungguhannya, dengan segenap ketulusan
"Tapi, cinta seharusnya nggak menghancurkan. Cinta seharusnya melindungi. Cinta seharusnya bukan sesuatu yang membuat seseorang rela menyakiti diri sendiri.
"Gue pernah janji, untuk selalu bikin lo senang, buat selalu ngejagain lo dari semua orang yang nyakitin lo, buat mengabulkan semua hal yang lo inginkan. Tapi, gue gagal ya, lin?"
Rangga tertawa hambar mendengar pertanyaannya sendiri.
"Kenyataannya, justru gue kan, orang yang paling sering nyakitin kamu?" Sesal itu nyata dalam getar suaranya, tapi Rangga tahu ia bahkan tak berhak memohon maaf.
"Karena gue, kamu jadi ngerusak diri sendiri. Karena gue, kamu menjalani hal yang nggak lo sukai. Karena gue kamu berusaha menjadi orang lain.
Rangga tertawa hambar mendengar pertanyaannya lagi.
"bahkan, setelah semua yang lo lakuin, gue tetap nggak ada di samping lo. Bodoh banget, ya, gue?"
Setetes air mata jatuh dari sudut mata Rangga, lantas pecah di atas lantai. Hanya setetes.
Namun, sesungguhnya, di sanalah jutaan emosi terjabarkan, seribu sesal terkatakan, setumpuk kesakitan tergambarkan.
Sejujurnya, Rangga ingin menahan cewek itu lebih lama. Ia ingin menghancurkan pintu yang menjadi batas mereka.
Ia ingin berlari, memeluk selin erat-erat, dan mengatakan bahwa tak apa jika selin marah, membentak, memukul, asal jangan melepaskan pegangan tangannya.
Tetapi, Rangga juga sudah berada di ujung keletihannya. Di luar kuasa Rangga, kalimat berikut yang ia ucapkan adalah kalimat yang bahkan tak pernah terlintas dalam benaknya.
"Gue pergi ya, lin? Seperti yang lo minta."
Dengan langkah pincang, Rangga menyeret kakinya menjauh dari sana. Ia melepaskan apa-apa yang memang tak lagi bisa digapai dengan kedua lengannya.
Untuk seseorang yang telah ia kecewakan terlampau dalam, ia biarkan cewek itu melangkah pergi dari hidupnya.
Tanpa Rangga ketahui, dalam kamar itu, selin membekap mulutnya kuat- kuat. Sejak tadi ia di sana, di balik pintu itu, mati-matian menahan diri untuk membukanya.
Ketika kepergian Rangga menjadi sesuatu yang pasti, selin tahu bukan hanya Rangga yang kehilangan dirinya, tapi selin juga karena alasan yang sama.
la pernah bertanya-tanya, apakah cintanya pada Rangga sebesar cinta yang dimiliki Rangga untuknya?
Apakah jika alasannya untuk mencintai Rangga menghilang, ia mereka tetap akan terus mencari alasan agar bisa bersama?
Kini, Iris tahu jawabannya. Untuk seorang yang pernah mencintainya begitu dalam, untuk seorang yang pernah membuat Iris merasa begitu berharga, ia meminta maaf.
Meskipun alasannya mencintai Rangga tak pernah menghilang, ia juga tak bisa menemukan alasan lain untuk bertahan.