perjuangan rangga

Langit-langit putih kamar rumah sakit adalah hal pertama yang Rangga saksikan selepas ia membuka kedua kelopak matanya.

Tubuhnya penuh memar. Tangan dan kepalanya dibebat oleh perban putih. Selepas menjalani serangkaian pemeriksaan, Rangga dibawa ke salah satu kamar perawatan sambil menunggu kedatangan keluarganya.

Kecelakaan yang menimpanya semalam, sempat membuat Rangga berpikir bahwa hidupnya selesai sampai di sana.

Tapi, ternyata tidak. Tuhan begitu baik padanya.

Menurut dokter, Rangga memang sempat pingsan karena shock pasca kecelakaan.

Tulang tangan kanannya mengalami keretakan ringan, pun dengan kaki kanannya. Sisanya, ia hanya mengalami lebam dan luka karena pecahan kaca.

Bagian depan mobilnya hancur, tapi ia selamat berkat air bag yang mengembang tepat waktu. Sekarang, Rangga hanya harus beristirahat sebentar, menunggu cairan infusnya habis.

Tak lama kemudian, Rindu muncul dari balik pintu, menatap Rangga dengan sorot yang sulit diartikan, lantas mengembuskan napas lega.

"Kenapa lo bego banget, sih, jadi manusia?" Kelegaan tampak jelas di wajah Rindu saat cewek itu mengucapkannya.

"gue sakit, bukannya dibantuin malah dikatain bego. Kakak macam a sih, lo," Rangga mencibir sambil berusaha bangkit dari kasur.

Ia langsung meringis saat merasakan nyeri di belakang punggungnya. apa "Bunda mana? Nggak ikut?"

Raut wajah Rindu langsung menegang mendengar pertanyaan Rangga. Cewek itu merapikan beberapa barang, seraya mencari kata yang tepat untuk mengatakan pada Rangga mengenai keadaan di Jakarta.

"Gue ke sini sama Pandu, sekarang dia ada di bawah, nemenin Om Yudha berkas lo. Sekalian, sama ngurus mobil."

"Dih, Mbak, yang gue tanya Bunda woi, bukannya Om Yudha apalagi Mas Pandu."

"Cerewet," Rindu berdecak sebal, lalu mengambil pakaian Rangga dari dalam tas yang ia bawa.

"Udah bisa ganti baju belum? Kalau belum, gue yang gantiin, nih."

"Ganti baju? Gue udah boleh pulang memang?" tanya Rangga heran, tapi tetap menerima tumpukan pakaian tersebut.

"Kata dokter, lo nggak apa-apa, cuma luka ringan." Rindu menjeda sejenak, mempertimbangkan, kapan ia harus mengatakan hal yang sejak tadi mengganggu pikiranya. "Dan, kita harus pulang."

"Kenapa?" Sadar bahwa ada yang tak beres dari tingkah kakaknya, Rangga menatap Rindu curiga.

"Nyokapnya selin meninggal, semalam."

Kalimat Rindu spontan membuat Cowok Itu mencengkeram pinggir brankar kuat-kuat.

Kepalanya mendadak sakit kala menerima informasi yang baru saja ia terima.

Tanpa duga, Rangga langsung bangkit dari brankarnya. la merampas kunci mobil dari tangan Rindu, lalu berlari ke arah pintu seperti orang kesetanan.

"Rangga!" Rindu menjerit ketika dengan kasar Rangga melepas selang infusnya. Tubuh Rangga yang belum pulih, membuat cowok itu kalah gesit dari kakaknya.

"Minggir, Ndu! Gue mau balik!" sentak Rangga ketika Rindu mengadangnya tepat di pintu kamar.

"Ganti baju lo dulu! Terima obat lo dulu! Lo nggak bisa pergi dari rumah sakit dengan keadaan kayak gini!"

"Rindu, awas!" Rangga berteriak, berusaha mengenyahkan Rindu dari hadapannya.

Plak!

Tanpa Rangga duga, Rindu menampar pipinya dengan keras. Tubuh Rangga jatuh ke atas lantai. Napas Rindu tersengal. Cewek itu menatap adiknya dengan kilat kemarahan.

"Apa? Apa yang mau lo lakuin dengan keadaan lo yang kayak gini?!" sentak Rindu marah.

"Mau bawa mobil? Ngebut-ngebut di jalan sampe tewas? Iya?!" Rindu bukan orang yang gampang menangis, cewek itu selalu mampu mengendalikan dirinya sendiri.

Namun, melihat Rangga yang seolah ingin menjemput kematiannya sendiri, membuat Rindu tak bisa mengendalikan diri.

Sejak menerima kabar kecelakaan Rangga semalam, yang disusul kabar kematian mama selin, Rindu merasa tenaga dan otaknya sudah dikuras habis-habisan.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Rangga, Rindu tak henti- hentinya merasa gelisah. Rindu bahkan beberapa kali nyaris menabrak, karena ia kehilangan fokus menyetirnya, beruntung Pandu datang di saat yang tepat, sehingga cowok itulah yang membawanya sampai di sini. Meski polisi dan pihak rumah sakit sudah mengklarifikasi lewat telepon mengenai keadaan Rangga, tapi hatinya tetap tak bisa tenang.

Kecelakaan di jalan tol bukan sesuatu yang bisa ia anggap reme. Kecelakaan itu bisa saja merenggut nyawa adiknya dan Rindu tak pernah siap menghadapi kehilangan sekali lagi.

Rangga tak membalas kalimat Rindu. Ia bahkan tak lagi memiliki a untuk berdiri atau melawan. Seluruh sakit yang ia rasakan seolah daya tak berarti dibanding dengan kekhawatirannya akan keadaan selin.

Dengan sisa-sisa kekuatan dan wajah pucatnya, Rangga berujar lirih, "Tolong bawa gue ke dia, Ndu, tolong."

Secepat apa pun Rindu membawa Rangga ke hadapan selin, pemuda itu tahu, ia sudah sangat terlambat. Tidak tadi malam. Tidak hari ini.

Dengan langkah pincang dan bebatan luka di kepalanya, Rangga turun dari mobil menatap rumah yang mulai sepi ditinggalkan oleh para pelayat.

Jenazah mama Iris sudah dikebumikan beberapa saat yang lalu. Rangga mengepalkan tangan dan mulai memaki dirinya sendiri.

Arsen, Lavina, Yasa, dan Raya yang juga ikut melayat, sempat terkejut melihat kehadiran Rangga, tapi ia sama sekali tak peduli. satu- satunya hal yang ia pikirkan adalah keadaan selin.

"Rangga?" suara Lavina menyentak Rangga. Cowok itu menoleh, lalu menatap teman-temannya dengan sorot samar.

"selin mana?" tanyanya serak.

"Belum balik dari kuburan, mungkin sebentar lagi sampai."

"Sabar, Ga." Arsen menepuk bahu Rangga menguatkan, tapi cowok itu mengabaikannya.

Seperti yang Lavina katakan, rombongan keluarga selin tiba beberapa menit kemudian.

Di antara mereka, cewek itu berjalan menundu. pusaran bersender pada Katya yang berdiri di sampingnya.

Kesedihan merebak di sana. Duka menyelimuti mereka terlampau pekat.

Ketika rombongan itu mulai menyebar, Rangga memberanikan diri menghampiri cewek yang tampak kepayahan memikul beban

Hening.

Selin tak bergerak ketika melihat sepasang sepatu yang menyentuh ujung sepatunya. Tanpa harus mendongak, Iris tahu siapa yang bera di hadapannya.

"lin," panggil Rangga.

Tangan Rangga bergerak berusaha meraih cewek di hadapannya. Namun, tanpa ia duga, selin menepis tangannya. Rangga tersekat, menyadari penolakan yang Iris layangkan padanya.

"Pergi, Ga," bisik selin serak. Mungkin hanya Rangga yang bisa mendengar suara lirih itu.

"lin .." "Dan, jangan pernah datang lagi."

Kalimat barusan selin katakan dengan seluruh sisa keteguhannya, melepaskan pegangan Katya, lalu menyeret kakinya dengan ringkih.

Rangga bisa saja menahan cewek itu, menarik dan memeluknya, tapi Rangga tidak melakukan itu. Ia tak memiliki daya untuk melakukannya.

Seseorang tiba-tiba menyentak tubuhnya kasar, menarik perhatian sisa pelayat yang masih ada di sana.

"Ikut gue," Ares menahan geram.

Katya yang mulai mengerti situasi berusaha menenangkan Ares

. "Res, masih banyak orang. Ada nyokapnya Rangga juga."

Tanpa memedulikan kalimat Katya. Ares kembali berteriak. Ikut gue!"

Rangga tak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Ares menyeret tubuhnya. Katya menatap para pelayat, kemudian beralih pada dua sosok yang mulai menjauh dari kerumunan.

Sambil mengembuskan frustrasi, Katya akhirmya napas memutuskan untuk mengekor Ares dan Rangga. Ia tahu, apa pun yang akan terjadi di antara keduanya pasti bukanlah hal yang balk.

Ares hanya membawa Rangga ke taman dekat rumah selin. Taman tempat Rangga dan selin menghabiskan sore beberapa bulan yang lalu.

"Kenap" Rangga tak bisa melanjutkan kalimatnya, Detik berikutnya, ia sudah jatuh tersungkur ke aspal.

Katya kontan memekik melihat apa yang terjadi tak jauh darinya.

"Ares!" Cewek itu langsung menghambur ke arah Rangga, berusaha melindungi cowok itu dari terjangan Ares berikutnya.

Napas Ares tersengal dengan mata memerah, dan rahang yang terkatup rapat, tapi ia tak lagi melayangkan pukulan. Tangannya terkepal.

Kemudian, perosotan beton di sampingnya menjadi pelampiasan emosi lewat kepalan tangan itu.

"Res! Jangan gila!" Katya menarik lengan cowok itu, berusaha menyadarkan Ares yang sudah kehilangan kendali.

"Sadar, Res! Sadar!" Ares menyentak tangan Katya, matanya kini menatap Rangga yang masih terduduk di atas aspal. Ada gelegak kemarahan yang tak mampu ia redam. Gejolak emosi yang sudah tak sanggup ia padamkan.

"Ke mana aja lo, sialan?! Ke mana aja?!"

Rangga tak bisa menjawab pertanyaan Ares. Peristiwa yang menimpanya sejak semalam serupa benang kusut yang tak bisa ia uraikan.

"Ke mana lo waktu selin butuhin lo?!" jerit Ares lagi dengan napas putus-putus.

"Apa lo pernah ada saat Iris butuh lo? Apa lo tahu apa aja yang dia lakukan buat cowok kayak lo?!"

Rangga yang memang sejak awal belum pulih dari kecelakaan. Hanya bisa terduduk, menatap Ares dengan sorot bertanya-tanya.

"selin ikut ekskul Modeling demi lo! Dia mau setara sama mantan lo! Setiap hari dia lari, dia diet, bahkan sampai minum obat yang nggak.

jelas! Segalanya dia lakuin biar dia bisa pantas berdiri di sebelah loi Pernah sadar nggak lo?!"

Rangga tersentak mendengar kalimat Ares. Nyeri di sekujur tubuhnya seolah lenyap digantikan ngilu di dada yang jauh lebih dahsyat.

"Ares!" Katya berteriak, berusaha menghentikan kalimat yang terus meluncur dari bibir Ares.

"Apa lo tahu dia dibully? Hah? Apa lo tahu dia dikucilin di sekolah? Nggak punya teman?! Dijatuhkan! Direndahkan?!" sentak Ares lagi, matanya menatap Rangga dengan sorot penuh kecewa. Kerongkongannya tersekat. Napasnya sudah nyaris habis di ujung tenggorokan.

"Ares, udah!" jerit Katya lagi. Cewek itu mulai terisak, seraya memohon agar Ares bisa berhenti. Sahabatnya sudah hancur. Jika selin harus kehilangan sekali lagi, maka Katya tahu tak ada yang bisa menopangnya lagi.

"Lo ke mana aja, Ga? Kenapa lo nggak nepatin janji lo buat ngelindungin adik gue? Kenapa lo bahkan nggak datang saat dia benar- benar membutuhkan lo?"

"Putus asa..."Suara Ares melemah pada kalimat terakhirnya. Cowok itu menjatuhkan diri di atas aspal, membiarkan gravitasi bumi menarik tubuhnya. Ia sudah lelah.

Pada titik ini, ia telah sampai di ujung kelelahannya.

"Tinggalin dia, Ga. Kalau sama lo cuma bikin dia semakin hancur, tolong tinggalin dia." Kalimat Ares adalah kalimat penuh permohonan, tanpa tuntutan, tanpa desakan.

Rangga berdiam di tempatnya. ia menatap Ares yang putus asa dan Katya yang menangis tak jauh dari mereka.

Seperti badai yang menyerbu tiba-tiba, kenyataan barusan adalah segala hal yang tak pernah ia coba pertanyakan.

la selalu percaya, dengan segenap kesungguhannya, bahwa ia selalu berhasil menempatkan selin pada tempat teraman.

Ia berusaha menjaga cewek itu seperti tulang rusuk menjaga paru-paru. Melindunginya dari segala macam luka yang mungkin menghancurkan.

Tetapi, semua kalimat yang Ares layangkan barusan membuatnya tersentak, oleng, lantas ambruk. Bukan melindunginya, lo adalah akar dari segala lara.

Dengan kepayahan, dengan seluruh sisa kekuatan yang ia miliki, Rangga ajukan satu permohonan terakhirnya pada Ares.

"Tolong...izinin gue ketemu selin sekali lagi," katanya putus asa.