Malas meladeni

Setelah beberapa saat, Vivi berhenti menangis dan kembali duduk di samping pria itu. Vivi duduk agak jauh dari pria itu karena mereka belum saling mengenal.

"Kenapa kau menangis? Itu tidak terlihat seperti tangisan bahagia karena mendapat pekerjaan?" tanya pria itu penasaran.

"Tidak ada apa-apa. Itu masalah keluarga kami. Em, apa aku benar-benar bisa bekerja di cafe milikmu?" 

"Ya, kau boleh bekerja di cafe-ku. Kau lihat di sana?" Pria itu menunjukkan cafe yang sedang di cat ulang. Pemilik cafe sebelumnya pindah tempat. Dan pria yang duduk bersama Vivi itu baru saja membeli gedung cafe itu. "Tapi, besok adalah hari yang akan melelahkan. Karena aku baru akan membuka cafe itu, jadi besok pasti sangat berat."

"Tidak apa-apa, asalkan aku bisa bekerja dan mengumpulkan uang," ucap Vivi dengan senyum lebar.

"Gadis yang menarik. Aku jadi tidak sabar menjadi partner kerjanya." Pria itu bergumam dalam hati sambil menatap senyuman manis Vivi. 

"Kalau begitu, terima kasih, Bos. Saya akan datang besok," ucap Vivi. Vivi lalu  melangkah pergi meninggalkan pria itu. Vivi harus segera pulang ke rumah dan memberitahu ibunya bahwa Vivi sudah mendapatkan pekerjaan. Vivi menghentikan taksi yang kebetulan lewat dan masuk ke dalam mobil. 

Pria itu tersenyum memandang kepergian taksi yang ditumpangi Vivi. Pria itu bangun dan kembali ke cafe untuk mengawasi para pekerja yang sedang mengecat dinding cafe.

***

Stevi sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Tristan. Ia menatap sekeliling rumah. Begitu banyak pengawal yang menjaga rumah Tristan. Biasanya hanya ada empat orang penjaga, tetapi kali ini yang Stevi lihat lebih dari empat orang.

"Gadis seperti apa yang perlu dijaga begitu ketat oleh Tristan?" Stevi berdiri di samping mobilnya dan bergumam heran. Rasa penasarannya menjadi bertambah besar. Stevi yakin wanita yang dibicarakan oleh Chris dan Tristan itu ada di dalam rumah. "Baiklah, mari kita lihat lebih cantik mana antara gadis itu dan aku." Stevi pun melangkah mendekati pos satpam di pinggir gerbang. 

"Nona Stevi," sapa satpam penjaga gerbang.

"Eh, Bapak. Aku mau masuk, boleh?" tanya Stevi dengan senyum palsunya.

"Boleh, tapi Tuan muda tidak ada di dalam," ucap satpam itu. Ia sudah lama mengenal Stevi. Sejak Stevi masih berpacaran dengan Tristan. Dulu Tristan sering sekali membawa Stevi ke rumah itu. Saat ini, semua orang juga tahu kalau Stevi adalah calon tunangan Tristan. Jadi, mana berani satpam itu melarang Stevi masuk ke dalam rumah. 

"Tidak apa-apa, Tristan sedang rapat di kantor. Dia menyuruhku menunggu di rumah," ucap Stevi beralasan. Dia pun masuk ke dalam rumah setelah pintu gerbang dibuka. Dengan hati yang sangat penasaran ingin melihat gadis yang bernama Haruna, ia melangkah naik ke lantai atas. Saat tangan Stevi sudah bersiap memutar gagang pintu, seorang pelayan memanggilnya.

"Nona Stevi, pintu itu dikunci. Dan hanya Tuan muda yang memegang kuncinya," ucap pelayan itu. 

Stevi menghela napas kecewa. Semakin penasaran saja hati Stevi, ia turun ke lantai bawah dan duduk di sofa ruang tengah. Stevi diperlakukan seperti seorang nyonya oleh para pelayan. Ia merasa kalau tingkah para pelayan itu berlebihan. Stevi merasa yakin kalau para pelayan menyembunyikan sesuatu darinya. Saat para pelayan itu berkumpul di dapur, diam-diam Stevi melangkah ke dapur dan mendengarkan obrolan para pelayan.

"Tuan Tristan itu sebenarnya kenapa, ya? Aku benar-benar tidak mengerti. Dia sudah punya calon tunangan, tapi masih menyekap seorang gadis di rumah. Apa dia tidak takut kalau Nona Stevi mengetahuinya?" ucap salah satu pelayan.

"Benar. Untung saja Nona Stevi tidak jadi membuka kamar itu. Jika tidak, entah apa yang akan menimpa gadis malang itu?" timpal pelayan yang lain.

"Iya, kasihan sekali gadis yang disekap Tuan muda. Aku dengar kalau gadis itu pernah mencoba bunuh diri dengan melompat dari jendela kamar itu. Itulah sebabnya dua pengawal khusus ditempatkan di bawah jendela kamarnya," ucap pelayan pertama.

"Dia punya nama! Kenapa kalian menyebutnya gadis itu? Lagipula dia adalah orang yang tuan cintai. Jadi, jangan mengatakan hal yang sembarangan atau kalian akan tahu seperti apa kemarahan Tuan muda," ucap pelayan yang baru saja datang. Ia adalah pelayan yang mengantarkan makanan ke kamar Haruna tadi pagi. 

"Maaf, senior. Tapi, apa benar Nona Haruna adalah gadis yang Tuan Tristan cintai? Lalu bagaimana dengan Nona Stevi?" tanya pelayan pertama.

"Itu urusan tuan. Kita hanya cukup bekerja dengan baik, mengerti!" ucap pelayan yang dipanggil senior oleh pelayan lainnya. Karena pelayan itu adalah pelayan yang ditunjuk oleh Tristan sebagai kepala pelayan di rumahnya.

Dari balik dinding dapur, Stevi mendengar ucapan para pelayan itu dengan tangan mengepal. Stevi melangkah pergi meninggalkan dapur dan kembali ke lantai atas. Ia berdiri di depan kamar Haruna dengan marah. Ia marah karena Tristan berani menyembunyikan seorang wanita di rumah itu. Stevi yakin kalau Haruna itu sama seperti para wanita yang selalu menemani Tristan setiap hari. Bukan hal yang aneh jika Tristan selalu berganti wanita setiap hari, karena Stevi tahu sejak kapan Tristan berubah jadi seorang playboy.

Ceklek!

Stevi memutar gagang pintu dan ternyata pintu itu terbuka.

"Eh, pintunya tidak dikunci? Pelayan itu membohongiku, kurang ajar sekali dia." 

Stevi mendorong pintu perlahan-lahan dan masuk ke dalam kamar Haruna. Ia melihat Haruna yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. Seketika itu pula darah Stevi seakan bergolak. Rasa marah, cemburu, semua bercampur aduk dalam hati Stevi. Ia mengingat ucapan kepala pelayan yang mengatakan kalau Haruna adalah gadis yang dicintai Tristan. Stevi tidak terima dengan hal itu, dan dengan marah Stevi mengambil segelas air yang ada di nakas lalu menyiramkannya pada Haruna.

"Akh! Brengsek! Apa lagi maumu?" tanya Haruna yang menyangka kalau itu adalah Tristan. Namun, saat Haruna terbangun, ia menatap heran ke arah Stevi. Ia hanya bisa terdiam. Haruna sudah bisa menebak, Stevi pasti kekasih Tristan. Jika bukan, mana mungkin bertingkah dan bertindak seperti saat ini. Haruna diam membisu sambil mengusap wajahnya yang basah karena disiram oleh Stevi.

Bantal di atas tempat itu pun ikut basah karena air yang Stevi siramkan lumayan banyak. Haruna hanya diam dan duduk bersandar dengan tenang. Ia malas berdebat dengan dengan Stevi karena akan terlihat seolah mereka sedang memperebutkan Tristan. Hal yang sama sekali tidak ingin Haruna lakukan. Ia mendengarkan semua kata-kata makian pedas yang terlontar dari bibir Stevi, seperti seorang bocah yang dimarahi orang tuanya, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.