Mampir

Haruna menaruh tas berisi kosmetik yang tadi dibelinya bersama Tristan. Ia tersenyum karena berhasil membujuk Tristan untuk mampir ke rumahnya.

Satu jam yang lalu.

Haruna terus melirik ke arah Tristan membuat Tristan tidak konsentrasi mengemudi. Ia pun menepikan mobilnya. 

"Kenapa berhenti di sini?" tanya Haruna sambil mengedarkan pandangannya. 

"Aku tidak bisa fokus mengemudi sementara kamu terus menatapku seperti gadis mesum," ucap Tristan. 

"Enak saja. Siapa yang ingin berbuat mesum denganmu?" 

Tristan melepas sabuk pengamannya dan mencondongkan tubuhnya di depan Haruna.

"Mau apa kamu?" Haruna merapatkan punggungnya ke sandaran tempat duduknya. Ia harus menahan napas karena Tristan mendekatkan wajahnya hingga tercium aroma parfum dari tubuhnya. Matanya terpejam rapat karena ketakutan dengan sikap Tristan. Entah apa yang ingin Tristan lakukan padanya.

"Katanya tidak mesum. Terus kenapa memejamkan mata seperti itu," goda Tristan. Ia kembali duduk bersandar di balik kemudi.

"Dasar gila," umpat Haruna. Ia bernapas lega setelah Tristan kembali ke tempatnya semula.

"Apa kau ingin mengatakan sesuatu? Aku yakin kau bukan ingin menciumku bukan," sindir     Tristan. Wajahnya kembali serius. 

"Bisakah kita mampir ke rumahku? Sebentar saja, aku janji aku akan--" ucapan Haruna segera dipotong oleh Tristan dengan suara keras.

"Tidak!" 

"Tapi, aku hanya." Melihat rahang Tristan mulai mengeras, Haruna pun takut.

"Sepertinya aku terlalu baik padamu hari ini. Jadi kau mulai banyak bertingkah." Tristan mencengkram kedua tangan Haruna dan mengecup paksa bibir Haruna.

"Tris-tan .. le-pas-kan aku," ucap Haruna di sela kecupan buas Tristan. Air mata Haruna mengalir, menyadari dirinya tidak bisa melawan. Namun, Haruna berhenti menangis saat Tristan menyudahi kecupan liarnya dan mengusap air mata Haruna.

"Aku bisa memberimu izin untuk pulang. Satu jam, hanya satu jam dan kau harus tiba tepat waktu. Tidak boleh kurang sedetik pun," ucap Tristan dengan lembut. Ia tidak ingin membuat Haruna semakin membencinya. "Kita kesana sekarang.Jadi, jangan menangis lagi!" Tristan memasang kembali sabuk pengamannya. Ia segera tancap gas menuju ke rumah Haruna.

Haruna tersenyum dalam hati. Ternyata rencananya berhasil. Haruna tahu kelemahan Tristan sekarang. Sepertinya akan lebih mudah untuk membuat Tristan mengikuti semua kemauannya. Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaan dalam benak Haruna. Apa benar Tristan mencintainya? Mungkinkah, Tristan menuruti kemauan Haruna karena ia mencintainya?

Haruna melamun sepanjang jalan menuju rumahnya. Ia tidak boleh berlama-lama bersikap baik pada Tristan seperti sekarang. Ia harus segera lepas dan melarikan diri dari Tristan.

Tristan memarkir mobilnya sedikit jauh dari rumah Haruna.

"Turunlah! Ingat, jangan terlambat atau aku hancurkan keluargamu!" ancam Tristan. Ia tahu Haruna tidak akan berdaya jika Tristan menyebut keluarganya. 

"Terima kasih," ucap Haruna. Ia turun dan berjalan sekitar dua puluh meter menuju pintu gerbang.

Haruna menarik napas dalam-dalam sebelum membuka gerbang. Ya, pintu gerbang rumah Haruna tidak pernah dikunci. Saat hendak melangkah masuk, Ikhsan yang baru pulang bekerja itu menyapa Haruna.

"Kak Haruna! Ikhsan dengar dari Vivi kalau Kakak, itu," ucap Ikhsan dengan ragu.

"Iya, itu benar. Em, San, Kakak harus segera masuk. Kita sambung obrolan kita kapan-kapan," ucap Haruna. Bukannya Haruna tidak suka pada Ikhsan, tetapi ia tidak mau membuang waktu satu jamnya. Ia ingin melihat Kia dan keluarganya yang lain.

"Ya, Kak, silakan. Ikhsan juga mau istirahat," jawab Ikhsan. 

Dari dalam mobil, Tristan sedikit kesal melihat Haruna bicara dengan laki-laki lain. Untung saja Haruna tidak berlama-lama bicara dengan Ikhsan. Lima menit lagi saja Haruna masih bicara dengan Ikhsan, Tristan akan mencabut izin Haruna untuk bertemu keluarganya.

Haruna memeluk Anggi saat pintu dibuka oleh Anggi. 

"Haruna, Sayang. Hiks hiks, kamu baik-baik saja kan, Nak?" Anggi tidak dapat menahan tangisnya saat melihat Haruna pulang.

"Haruna baik-baik saja, Ma. Mama dan yang lain, semua baik juga kan?" tanya Haruna. Dalam hati, Haruna meminta maaf pada Anggi.

"Maafkan Haruna, Ma. Haruna harus berbohong. Haruna tidak mau membuat mama dan yang lain cemas. Andai mama tahu kalau saat ini, aku sudah kotor, apa yang akan terjadi selanjutnya. Haruna tidak dapat membayangkannya," batin Haruna.

"Ma, Haruna hanya bisa pulang sebentar. Haruna ingin melihat papa, Kia dan Vivi," ucap Haruna.

"Biar Mama bangunkan mereka." Anggi akan pergi, tetapi Haruna menahan tangan Anggi.

"Tidak perlu, Ma. Biar Haruna melihat mereka sebentar saja."  Anggi mengantar Haruna ke kamarnya untuk melihat Kamal.

Haruna menatap ayahnya dari tengah pintu. Ia tidak ingin mendekat karena khawatir mengganggu Kamal tidur. Setelah dari kamar Anggi, Haruna pergi ke kamar Vivi. Haruna masuk dan duduk di tepi ranjang. Vivi termasuk sulit untuk dibangunkan, jadi ia tidak terganggu bahkan saat Haruna merapikan selimutnya. Haruna menyelimuti kembali tubuh Vivi.

Setelah mengecup kening sang adik, Haruna keluar dan melangkah pelan menuju kamarnya. Ia membuka pintu perlahan-lahan. Kiara sama seperti Kamal, jika ada suara sedikit saja, ia akan terbangun. Haruna pun tidak berani mendekat dan hanya bisa memandang Kiara dengan penuh kerinduan. 

"Ma, Haruna ingin bicara sama Mama. Kita bicara di dapur," ucap Haruna.

Haruna memilih di dapur karena hanya dapur yang terletak agak jauh dari kamar Kamal. Jika mereka bicara di ruang tamu, dikhawatirkan Kamal akan terbangun. Anggi hanya mengangguk dan mengikuti langkah Haruna.

"Ada apa, Sayang?" 

"Ma, Haruna akan mencoba melarikan diri dari Tristan. Saat Haruna menyuruh Mama dan yang lain pergi ke suatu tempat, Mama harus segera pergi. Kita akan menjalani kehidupan kita kembali seperti dulu. Mama mau kan membantu Haruna?" 

"Mama sangat senang kalau kita bisa kembali seperti dulu. Pergi kemana, Sayang?"

"Untuk saat ini Haruna belum tahu. Haruna hanya ingin Mama bersiap-siap," pinta Haruna.

Anggi mengangguk dan memeluk Haruna kembali. Haruna melirik jam dinding, waktunya hampir habis. Ia pun berpamitan dan segera berlari menuju mobil.

"Satu jam kurang dua menit. Gadis pintar, kau kembali sebelum waktumu habis. Baiklah, kita pulang sekarang." 

Tristan menyalakan mesin mobil dan melajukannya dengan kecepatan normal. Ia masih ingin berdua bersama Haruna seperti sekarang. Entah sikapnya akan berubah lagi atau tidak saat mereka tiba di rumah. Tristan sangat bahagia melihat Haruna mau berbicara dan dekat dengannya. Ia berharap, suatu hari nanti Haruna melupakan kebenciannya.

Rasa lelah menghinggapi tubuh Haruna setelah berlari dari rumah menuju mobil Tristan. Tiba di rumah Tristan, Haruna segera masuk ke kamarnya. Ia menaruh tas kosmetiknya di meja dan tersenyum. Haruna pergi ke kamar mandi, membasuh tubuhnya lalu segera melemparkan diri ke tengah ranjang. Semoga saja, satu bulan kedepan Haruna sudah bisa bebas dari rumah itu. Ia sudah rindu dengan kehangatan dan kebahagiaan bersama keluarganya.