Keributan di pagi hari

Sinar mentari pagi menembus masuk dari balik jendela kamar Haruna. Angin semilir menerbangkan gorden putih tipis. Haruna mencium wangi parfum maskulin yang terbawa angin. Ia masih belum membuka mata dengan sempurna. Samar-samar ia melihat seseorang berdiri di dekat jendela, memakai baju dan celana putih.

Haruna bangun dan duduk bersandar. Ia mengusap kedua matanya. Mencoba menyelidik dengan dahi mengernyit. Gorden yang tertiup angin itu menutupi pandangan Haruna. Angin berhenti dan Haruna kini dapat melihat jelas siapa orang itu.

"Tristan!" pekik Haruna.

"Sudah siang. Apa kau tidak akn bangun?" Tristan melangkah menghampiri Haruna. Ia berdiri di samping tempat tidur Haruna. Senyum manis terus mewarnai bibirnya.

Haruna melirik jam weker di atas nakas. Sudah jam sepuluh pagi.

"Tumben dia masih di rumah?" batin Haruna.

"Kenapa bengong?" ucapan Tristan membuat Haruna menggeleng.

"Cepat bangun dan sarapan. Kau bisa sakit kalau terlambat makan. Bersihkan tubuhmu, aku tunggu di bawah," ucap Tristan dengan lembut.

Lembutnya sikap Tristan, rasanya dapat melebihi lembutnya kue spons. Ya, begitulah sikap Tristan jika sudah menyukai seseorang. Saat menjalin kasih dengan Stevi pun ia bersikap lembut seperti saat ini. Sayangnya, rasa cinta Tristan dibalas dengan sebuah pengkhianatan pahit.

Kini Stevi kembali dan mengatakan sudah siap menjadi istrinya. Namun, rasa cinta Tristan telah hilang. Ia tidak lagi memiliki perasaan sedikit pun pada Stevi. Kehadiran Haruna telah membuat Tristan yang selalu dingin dan arogan itu kembali bersikap hangat dan lembut.

Namun, Haruna sudah terlanjur membenci Tristan. Kebahagiaan Haruna bersama keluarga angkatnya telah dirusak oleh Tristan. Tidak akan mungkin Haruna menjalin hubungan dengan pria yang sudah menghancurkan keluarganya. Sebaik apapun sikap Tristan padanya saat ini, itu tidak akan membuat Haruna jatuh hati padanya.

Dengan malas Haruna bangun dan pergi ke kamar mandi. Ia mandi dengan air dingin seperti biasanya. Ia menyudahi ritual mandinya karena Tristan sedang menunggunya. Haruna tidak mau membuat Tristan marah. Ia ketakutan dengan hanya membayangkannya saja. Dua kali sudah Tristan mengoyak harga diri Haruna sebagai wanita. Ia tidak mau mengalami hal itu untuk yang ketiga kalinya.

Haruna memakai baju secepat mungkin. Ia khawatir Tristan menyusul lagi ke kamarnya. Di rumah itu, Haruna tidak mempunyai privasi sama sekali. Kamar Haruna tidak memiliki kunci, membuat Tristan bisa keluar masuk kamarnya dengan bebas. Setelah memakai kosmetik pemberian Tristan, Haruna pun keluar dari kamarnya. Menuruni satu persatu anak tangga, ia melangkah menuju ruang makan.

Di luar gerbang, Stevi sedang bicara dengan penjaga gerbang.

"Tristan ada di rumah, Pak?" tanya Stevi.

"Ada, Non. Masuk saja!" jawab penjaga gerbang. Ia membukakan pintu gerbang dan menutupnya setelah mobil Stevi terparkir di halaman.

Stevi melangkah dengan angkuh melewati para pelayan yang sedang membersihkan halaman. Baru saja Stevi hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Ia mendengar para pelayan itu bergosip.

"Dia tunangan Tuan Tristan, tapi Tuan Tristan malah meniduri Non Haruna," bisiksalah seorang pelayan.

"Iya. Harusnya kan Tuan meniduri tunangannya saja. Lihatlah bagaimana caranya berpakaian, seperti perempuan tidak baik saja," timpal Yuli.

"Apa? Tristan meniduri wanita itu? Awas saja kau, perempuan murahan!" batin Stevi. Ia melanjutkan langkahnya ke dalam. Stevi mencari Tristan di ruang tengah, lalu Stevi mendengar suaranya sedang bicara dengan Sinta di ruang makan. Ia segera menghampiri Tristan dan memeluknya dari belakang.

"Sayang, aku kesini karena aku tidak menemukan kamu di kantor. Apa kau sakit?" tanya Stevi sambil menggelayut manja di lengan Tristan.

"Untuk apa kamu kesini?" tanya Tristan dengan nada dingin.

Tap! Tap! Tap!

Suara langkah kaki Haruna yang berjalan mendekati mereka di ruang makan. Stevi melirik sinis ke arah Haruna. Stevi semakin erat memeluk tangan Tristan. Seolah ingin menujukkan pada Haruna, bahwa Tristan adalah miliknya.

Haruna hanya mencebik pelan. Ia bersikap santai dan tetap melangkah dan menarik salah satu kursi yang berada di depan mereka.

"Sayang, kita makan di luar saja yuk!" ajak Stevi.

"Pergi dari sini!" teriak Tristan. Wajah yang tadi penuh senyum itu pun kini berubah. Kehadiran Stevi telah membuat Tristan kembali menjadi sedingin es. 

"Sayang, kamu kenapa sih? Aku ini tunangan kamu," ucap Stevi sambil melirik ke arah Haruna.

"Apa aku setuju, hah? Tunangan? Jangan pernah bermimpi!" ucap Tristan dengan mata berkilat merah. Telapak tangan Tristan mengepal menahan emosi. Bagaimana bisa ada wanita tidak tahu malu seperti Stevi dalam hidupnya. Tristan sadar bahwa ia telah salah jatuh cinta pada stevi.

"Pengawal! Bawa wanita ini keluar! Mulai hari ini dan seterusnya jangan biarkan dia menginjak rumahku," ucap Tristan sambil melirik Haruna yang seolah tidak melihat dan mendengar pertengkaran mereka.

Para pengawal menarik Stevi keluar dari rumah.

"Tristan! Jangan lakukan ini padaku, Tristan!" Stevi berteriak meminta Tristan agar tidak mengusirnya. Namun, Tristan tidak berpaling sedikitpun dari Haruna. Ia terus menatap tajam ke arah Haruna.

"Haruna sama sekali tidak bereaksi. Apa karena dia belum mempunyai perasaan padaku?" batinTristan berkecamuk. Ia sedikit kecewa melihat Haruna tidak peduli padanya. Ia menarik kursi di samping Haruna.

"Kenapa menatapku?" tanya Haruna sambil mengoleskan selai kacang di atas roti gandum miliknya.

"Kau tidak terganggu dengan kehadiran Stevi? Dia mencekikmu kemarin, apa kau tidak marah?"

"Hem, marah? Dia tunanganmu, apa hakku marah padanya. Lagipula, jangan bersikap terlalu kasar pada tunanganmu. Dia bisa menjadi marah dan akulah yang akan menjadi sasarannya seperti kemarin. Kau pikir karena apa dia mencekikku kemarin?" jawab Haruna dengan ketus.

Tristan tidak bisa berkata-kata lagi. Semua yang Haruna katakan memang benar. Stevi menyerang Haruna karena dirinya. Ia pun berhenti membahas Stevi.

"Jam makan siang nanti, kita pergi ke pembukaan cafe Jef. Pria yang kita temui kemarin," ucap Tristan. Ia merebut roti yang sudah selesai dioles selai dari tangan Haruna.

"Hei, itu milikku," ucap Haruna dengan kesal.

"Aku mau yang ini, kau ambil saja lagi," jawab Tristan dengan cueknya ia pergi meninggalkan Haruna sambil membawa roti milik Haruna.

"Dasar pria kekanakan," gumam Haruna dengan bibir cemberut. Dengan terpaksa Haruna mengambil roti yang lain.

***

"Nek, kita mau ketemu mama ya?" tanya Kiara. 

"Em, itu, kita mau pergi jalan-jalan. Kiara mau kan?" Anggi mengalihkan pertanyaan Kiara. Ia sangat tidak tega jika Kiara sudah menyebut nama Haruna. 

"Mau, Nek," jawab Kiara dengan tersenyum senang.

Anggi bernapas lega. Setiap hari Anggi selalu membujuk Kiara untuk sabar menunggu Haruna pulang. Untungnya Kiara anak penurut dan baik. Tidak terlalu sulit untuk memberi Kiara pengertian. Meskipun baru berusia lima tahun, tetapi Kiara tidak bersikap seperti anak-anak sebayanya. Kiara bersikap seperti orang dewasa. Mudah mengerti ucapan orang dewasa.