Bumi ini memiliki dua penguasa yang sudah ada sejak awal pembentukan bumi. Mereka sangat bertolak belakang, Sang Punggung Kehidupan Yggdrasil yang membawa dan menebar kehidupan di bumi, dan Sang Malaikat Darah Samael yang akan menghancurkan segalanya. Keduanya memiliki siklus dimana mereka mengikuti arah matahari dan bulan. Yggdrasil mengikuti arah matahari dan Samael akan mengikuti arah bulan. Semua akan ditentukan saat keduanya bertemu pada hari dimana gerhana matahari yang terjadi setiap 10.000 tahun sekali. 100 tahun sebelum terjadi gerhana mereka akan terbangun dari peristirahatannya dan mulai berjalan mengikuti bulan dan matahari hingga hari dimana semua dipertaruhkan, dengan keseimbangan tercemar. Akan ada 3 anak, yang diberkati hadiah dari dewa untuk membantu antara kehidupan atau kehancuran dan seperti akhir yang lainnya, menentukan masa depan nantinya….
................
Hari itu hari yang sangat gelap, kita hanya ditemani oleh cahaya bulan, bintang yang bercahaya dan bunga raksasa yang menjulang tinggi keatas. Bunga itu sudah menopang kehidupan ditengah gurun ini sejak mereka terbangun. Kita, dalam artian aku dan pamanku, sedang dalam perjalanan ketimur untuk pergi mencari entah apalah.
Namaku Adi, dan sejak hari mereka terbangun, hanya pamanku satu-satunya keluarga yang kumiliki. Walaupun, ya, orang bisa bilang ia tidak punya akal. Ia mengatakan kalau aku merupakan salah satu dari anak yang ada dalam kisah dongeng lama yang sering diceritakan oleh orang disekitar sini. Entah tahayul atau kenyataan, aku tetap tidak percaya. Maksudku, lihatlah! Kita ditengah hutan yang dipenuhi dengan mereka dimana-mana!
"Paman, kita bisa saja beristirahat digurun diluar sana, kenapa paman memilih ladang ranjau ini?"
Pamanku tertawa mendegar ucapanku seakan itu lucu baginya. "Keponakanku kau masih perlu banyak belajar. Lagipula, gurun disana panas, dan disini lebih teduh."
Aku bersender, menyilangkan tanganku. "Lebih baik kepanasan daripada mati dimakan mereka." Pamanku langsung refleks memukul tanganku dengan tongkatnya, dengan wajah seriusnya.
"Owh! Kenapa?" tanyaku
"Ucapanmu itu sama sekali tanpa akhlak, kau adalah sang terpilih, jika kau mati maka kehidupan manusia akan punah!"
Aku masih tidak mengerti dengan semua cerita dan omongan aneh dari pamanku. Maksudku, kenapa harus aku? Aku hanyalah anak biasa, tidak ada kekuatan apapun, lalu untuk apa aku ikut dalam semua hal ini?
"Baiklah, baiklah, sekarang, paman bilang 3 anak yang diberkati dan aku tidak punya apa-apa, mana mungkin aku salah satu anak dalam dongeng itu?" Untuk sementara kesunyian terdengar, dipecah oleh suara gagak yang terbang, dan dilanjutkan dengan pamanku yang tertawa terbahak-bahak. Aku hanya melihat dia penuh dengan kebingungan.
"Ooh, Adi, keponakanku, kau sama seperti ayahmu, labil seperti seorang bayi. Kau tidak akan langsung mendapatkannya begitu saja, kau akan mendapatkannya ketika...harinya tiba.
"Dia memberikanku secarik kertas robek. Kubuka dan menunjukkan ke peta. "...Apa ini?"
"Petunjukmu selanjutnya. Ini akan mengarahkanmu kepada anak yang lain, ia tinggal diatas rumah pohon didekat Havenluk." Aku pun menggulungnya kembali, menaruhnya ke dalam kantong. Pamanku menaruh lebih banyak kayu ke api unggun, membuatnya berkobar lebih besar.
"Kenapa paman percaya dengan semua in-" Pamanku langsung menaruh jari telunjuknya ke bibirku, menyuruhku untuk diam. "Dengar."
SRAK!!
Aku langsung berdiri, dan melihat sekitar. Sesuatu berlari mengelilingi tempat ini dengan cepat.
Pamanku melemparkan tasku dan juga miliknya yang kecil kepadaku "Paman, apa yang-" "Pergilah. Kau harus memenuhi ramalan itu."
Aku mulai panik, dan langsung memakai tasku, serta menarik pamanku agar ikut, tapi ia menolak. "Pergilah! Aku hanya akan jadi beban nantinya untuk perjalananmu." "Tapi-"
Sesuatu melompat keluar dari semak-semak, seekor bekicot berlendir raksasa meraung didepan kita Pamanku langsung mendorongku menjauh dari sana sekuat tenaganya, setidaknya cukup jauh agar aku aman ditengah hutan.
Aku berusaha berdiri, tapi aku hanya bisa jalan pincang. Aku terus berlari menjauh dari sana, dan hal terakhir yang kudengar hanyalah sebuah raungan samar-samar. Ia tidak selamat. Padahal, hanya dia satu-satunya keluarga yang kumiliki, tapi...
......
Aku hanya bisa memenuhi janji terakhirnya, untuk memenuhi ramalan dongeng yang diceritakan pamanku. Mataku berkaca-kaca, tapi aku berusaha agar tetap tegar. Aku terus berlari, dan setelah cukup jauh, aku membuka peta yang pamanku berikan. Tempatnya seharusnya sudah tidak jauh, tapi aku melenceng jauh dari arah tujuan ke timur sebelumnya untuk mencari anak ini. Aku segera pergi dan terus berlari, hingga akhirnya aku menemukan sebuah goa di tepi sungai. aku memutuskan untuk bersembunyi di goa tersebut. keadaan mulai sunyi lagi. sepertinya ia sudah kehilangan jejakku. aku langsung menghela napas, awalnya kukira aku akan mati, tapi ternyata takdir memang tidak memperbolehkanku ya?