Gejolak Sihir

Walaupun aku masih ditengah ladang ranjau penuh kematian ini dan....kehilangan keluargaku satu-satunya yang kumiliki, aku harus mampu memenuhi janji itu. Sudahku pegang kukuh dan tak akan kulepas. Aku pun rehat sebentar didalam goa itu, menggunakan lentera milikku sebagai satu-satunya sumber cahaya ditengah kesepian ini. Selama ini pamanku yang mengurusku sejak keluargaku hilang selama bencana Titan beberapa tahun lalu. Ingatan demi ingatan mengalir dipikiranku, hingga aku mulai merasa mengantuk dan perlahan tertidur, bermimpi tentang sebuah dunia yang lebih baik, bagi aku, bagi semua orang, sebuah masa depan penuh dengan kebahagiaan.

.........

Sudah pagi, aku merentangkan tanganku dan melihat keluar, cahaya matahari bersinar terang dan suara burung-burung bersiul. Semuanya seperti pagi hari yang normal. Aku pun segera berdiri, mematikan lentera yang kupakai dan langsung menaruhnya di tas, melanjutkan perjalanku ke Havenluk mencari....entah siapa namanya. Menembus semak-semak, sungai dan dikejar beberapa kelelawar ditengah perjalanan, dari kejauhan kulihat reruntuhan kota Havenluk serta sebuah pohon besar dipinggir reruntuhan. "Pasti yang itu, sudah tidak salah lagi." Ujarku sambil mengecek peta kembali. Tapi, rasanya ada yang aneh, seakan daritadi aku ditatap dar belakang.

Aku pun segera berbalik dan melihat sekitar. "Ahah!" Tidak ada apa-apa selain sebuah kuntum bunga tulip yang sebelumnya tidak ada disini. "Aneh, rasanya bunga ini tadi tidak ada disini. Apa mungkin aku...? Pfft, mana mungkin aku halu-" Aku pun kembali melanjutkan perjalanku kesana dan setibanya dibawah pohon tersebut, aku melihat sekitar. Tidak ada tangga? Orang macam apa yang tidak naik rumah pohon setinggi ini tanpa sebuah tangga? Penyihir? Mana mungkin, kupikir. "Halo!! Seseorang?! Aku kemari dengan sebuah pesan!!" Tidak ada respon selain suara kicauan burung disekitar. "Seharusnya dia ada di-" Firasatku sudah aneh dari awal, dan ternyata benar.

Bunga yang tadi kutinggal ternyata salah satu dari mereka, merubah dirinya menjadi wujud monsternya, kuncupnya mengembang menjadi mulut bergerigi serta akarnya menjulur keluar seperti tentakel. Sekujur tubuhku mulai berkeringat, saat mereka mulai mendekatkan mulutnya yang menjijikan dan meraung didepan wajahku. Aku secepat mungkin berguling kesisi dan mengambil sebuah tongkat kayu, menahannya tapi nampaknya harapan hidupku sangat rendah, apa...mungkin aku akan mati disini?

Saat mereka hampir melahapku, sebuah asap tebal jatuh dari atas rumah pohon, dan tiba-tiba seseorang memegang tanganku.

"Tahan napasmu." Aku pun mengikuti arahannya dan ia segera menarikku menjauh darinya, dan entah aku memang halu atau apa, dengan ajaibnya aku sudah didalam rumah pohon itu.

"Terima kasih aku-" Ia menamparku dengan keras dimuka, serasa ditampar oleh sebuah besi. "Ow! Kenapa kau-" Ia menamparku lagi di pipi satunya.

"Shush! Aku tau kau mau mengucapkan terima kasih, tapi demi Tuhan, kenapa kau harus membawa Bloomer sebesar itu kesini?!" Ia nampaknya sangat marah dengan aku membawa mereka kesini.

"Oke, oke aku minta maaf, tapi tolong berhenti menamparku!" Dia pun duduk disebuah kursi goyang, menutup wajahnya yang penuh frustasi.

"...Maaf, aku terkadang sedikit, protektif tentang privasi." Ia pun mengulurkan tangannya kepadaku, sebuah senyuman pada wajahnya.

Aku tau ia masih marah, tapi nampaknya ia senang melihat orang lain disekitar gurun ini.

"Indra, dan kau...?" Aku menjabat tangannya dengan gugup. Tidak kuduga dia bisa seperti itu-

"Uh, aku Made. Kadang dipanggil Adi, dulu...." Aku melepas tangannya dan ia menatap secarik kertas yang kupegang.

"Jadi, kau membawakan sebuah pesan, ya? Apa mungkin itu kertas ini?" Seketika peta yang kupegang hilang dan sudah ada ditangannya.

"Tunggu bagaimana-" "Ssh sh!" Aku hanya bisa terdiam dengan semua keanehan dari....dia. Indra seketika terkejut melihat peta itu, dan berdiri langsung dari kursinya. "Dimana kau menemukannya?" "Ah! Uh, almarhum pamanku?" Ia terdiam sementara dan membuang kertasnya keluar, memelukku. "Apa yang-" "Sudah kuduga hari ini akan tiba~" Indra pun melepasku, menepuk pundakku. Aku masih sedikit bingung dengan tingkahnya, tapi paling tidak dia sudah tenang.

Walaupun begitu, diluar sana tampaknya tidak begitu tenang. Sebuah guncangan terasa dan raungan terdengar. Mereka teryata masih mengejar. "Oh tidak." Indra berujar, dan ia menoleh kearahku lagi. Ia memberiku sabitnya kepadaku.

"Urusanmu, solusimu" Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, aku merasa seperti jatuh, dan tiba-tiba aku sudah mendarat didekat mereka. "O-oh." Yup. Dia ternyata masih marah terhadapku. Monster itu meraung dan kali ini aku melawan balik, menggunakan sabit yang Indra berikan, kutebas tentakel dan menahan semua serangan yang diluncurkannya, terutama sebuah peluru benih raksasa yang hampir menembus kepalaku. Aku pun menebas kepalanya, membunuhnya. "Yes!"

Dan nampaknya mereka tidak mau mati sendiri. Akar mereka sudah mengikat erat terhadap pohon tersebut dan saat tubuhnya runtuh, pohon tersebut tertarik jatuh dari akarnya dan aku secepat mungkin menghindar, berguling saat rumah pohon tersebut runtuh. Aku pun bangun, mengibaskan tanganku dan menjauhkan debu-debu disekitar wajahku.

"In? Indra!" Aku segera berlari dan melihat ke reruntuhan, dan tidak menemukan dia juga dengan perbekalanku. "Oouh, dimana dia...?" Tiba-tiba sesuatu memegang pundakku.

"Ah! Mundur!" Ternyata itu Indra, memegangi tas perbekalanku. "Kau tidak apa-apa, De?" Aku menghela napas dan membersihkan bajuku. "Iya, aku-" Ia sekali lagi menamparku dan mengambil sabitnya, serta mengembalikan tasku. "ACK-" "Padahal ini rumahku satu-satunya...." Aku mengusap pipiku, mendesis penuh rasa perih. "Berhenti menam-" Ia menyeretku, menarik leher bajuku dari belakang. "Ayo. Kita tidak ada waktu untuk dihabiskan." "Hey, hey! Aku mau marah-marah kepadamu kenapa gak boleh?! OOI!!"