Di sudut ruangan, seorang wanita sedang duduk sambil membaca buku tentang agama dengan serius. Wanita itu bernama Fuarani Adeania Alam. Ia adalah seorang psikologi yang saat ini sedang menyelesaikan laporan skripsi nya untuk bulan depan. Sesekali, Ara mencatatnya di buku kecilnya.
"Ara" Teriak seseorang
Ara menatap wanita tersebut dengan tajam "Jangan berisik. Ini perpustakaan, Nia"
"Hehe, sorry. Keceplosan"
Ara hanya menganggukan kepalanya
Nia menyerahkan suatu map kepada Ara. Ara yang melihat nya menatap Nia dengan bingung
"Ini apa? " Tanya Ara sambil memegang yang diberikan Nia
"Proposal ta'aruf" Jawab Nia
Ara hanya membuang napasnya dengan perlahan "Hmm"
"Ra, please. Jangan seperti ini. Jangan nolak lagi laki-laki yang ingin menghalalkan mu" Nasihat Nia
"Aku tidak menolak. Hanya saja, belum memberikan jawaban" Sanggah Ara
"Itu sama saja kamu nolak secara tidak langsung, Ara. Kamu tahu, berapa banyak laki-laki yang ingin menghalalkan mu. Tapi, kamu selalu menolak mereka Ara. Ga baik lho, nolak lamaran dari laki-laki yang baik. Nanti kamu jadi perawan tua"
"Jodoh itu sudah di atur oleh Allah, Nia"
"Memang Allah sudah mengatur. Tapi, kalau kamu tidak berusaha, kapan ketemu jodohmu nanti? "
Ara masih membaca bukunya dengan tenang
"Kamu cantik, Ara. Sholehah, pengetahuan mu tentang agama sudah bagus, kamu sudah siap lahir batin untuk menikah. Lalu, yang menjadi hambatannya m? Dia? " Tebak Nia dengan tepat sasaran
"Tidak. Aku nolak semua lamaran itu bukan karena dia, Nia. Aku hanya ingin fokus terlebih dahulu untuk skripsi aku" Jawab Ara dengan kesal
"Alasan. Terserah kamu lah. Suatu saat nanti, kamu jangan pernah menyesal atas semua ini"
Ara hanya menganggukan kepala
"Tapi, kamu serius ga akan membaca terlebih dahulu? Siapa tahu orang yang kamu tunggu, dia pun mengajukan proposal ta'aruf, Ra" Tanya Nia untuk meyakinkan Ara
"Thanks, Nia. Aku pamit dulu. Assalamu'alaikum" Ucap Ara sambil berlalu pergi dengan membawa map proposal
"Ara... " Teriak Nia dengan wajah memerah menahan kesal
Ara berjalan menjauhi perpustakaan dengan langkah cepat. Ara duduk di halte menunggu bis untuk pulang kerumah. Perlahan, dia membuka map itu dengan penasaran. Kali ini, siapa lagi yang mengajukan proposal ta'aruf kepada nya.
"Daniel Farhan" Gumam Ara
Ara terdiam sambil memikirkan nama tersebut. Rasanya, dia pernah bertemu dengan nama itu.
"Ketua BEM?" Teriak Ara terkejut sambil menutup mulutnya dengan wajah tidak percaya.
Sekali lagi, Ara membuka map itu dan membaca lagi untuk memastikan apakah itu benar atau tidak.
"Ibu Soraya dan bapak Farhan? Sepertinya, aku pernah tahu nama ini. Tapi dimana?" Tanya Ara pada dirinya sendiri
Ara menatap ke depan melihat bis yang akan dia tumpangi nya sudah datang. Lalu, Ara duduk di kursi belakang dengan tenang.
Sesampainya dirumah, Ara bersalaman dengan kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
"Ra, malam ini kamu ikut sama bunda dan ayah ke rumah sahabat ayah" Ucap Fuina, bunda Ara.
"Ngapain, mah?" Tanya Ara
"Mau kenalin kamu ke tante Aya. Kamu udah lama ngga ketemu dia dari kecil lho, Ra. Masih ingat ga sama tante Aya? " Tanya bunda Ara
"Tante Aya? Yang mana, Bun? Ara lupa"
"Itu lho dia kan bidan. Dia yang bantu bunda waktu ngelahirin kamu, sayang"
Ara terdiam sambil memikirkan sosok Tante Aya
"Ga tau akh, Bun" Jawab Ara
"Sudah, Bun. Nanti juga pas ketemu dia ingat kok" Ucap Alam, Ayah Ara
"Yaudah. Kamu siap-siap gih" Perintah Fuina
"Bun, bisa ga aku ga ikut? " Tanya Ara memelas
"Ga bisa. Kamu harus ikut" Tolak Fuina dengan tegas
Ara hanya menganggukkan kepalanya sambil berjalan menuju kamarnya dengan langkah gontai.
Malam tiba, Ara sedang berdiri di depan cermin melihat penampilan nya yang saat ini sedang memakai baju dan celana panjang berwarna cream di lapisi dengan cardigan berwarna peach dan tak lupa hijab berwarna peach juga agar terlihat natural namun terkesan elegan.
Ara berjalan menuju ruang tamu yang saat ini kedua orang tua Ara telah berkumpul untuk ber siap-siap menuju rumah sahabat Alam.
Sesampainya mereka di sebuah rumah yang klasik, mereka turun satu persatu dari mobil. Lalu berjalan, ke arah pintu depan yang saat ini terlihat seorang wanita paruh baya sedang menyambut kedatangan mereka.
"Assalamu'alaikum" Ucap Fuina
"Wa'alaikum salam. Bagaimana kabar kamu, Ina? " Tanya wanita itu.
"Alhamdulillah baik, Aya. Kalau kamu bagaimana? " Tanya Fuina sambil memeluk sahabat nya dengan bahagia.
"Alhamdulillah, baik juga" Aya membalas pelukan Fuina. Tak lama, Aya melepaskan pelukannya "Mas Alam, bagaimana kabarnya? " Tanya Aya.
"Alhamdulillah baik. Dimana suami mu, Aya? " Tanya Alam kepada Aya.
"Di dalam, mas. Mari masuk" Ucap Aya mempersilahkan mereka untuk masuk ke rumah nya.
"Maaf merepotkan" .
"Tak apa, Ina. Tidak merepotkan sama sekali kok. Oh iya, Ara dimana? " Tanya Aya melihat sekelilingnya tidak melihat Ara.
"Ara sedang mengangkat telepon. Katanya, itu penting. Sebentar lagi juga masuk kok" Jawab Ina sambil duduk di ruang tamu.
Di luar rumah, Ara sedang berbicara di telepon dengan seseorang.
"Ada apa, bu Tia? "
"Begini, Ara. Salah satu desainer Amerika sedang membuka perlombaan desain pakaian terbaik untuk mewakili fashionnya di Paris Fashion Week. Jadi, kamu hanya mengambarkan model bajunya seperti apa terus kirimkan gambar itu ke ibu. Ibu yang akan menyerahkan langsung kesana".
"Tapi, ibu. Gambar fashion saya belum sempurna dan masih harus di perbaiki. Bahkan, gambar fashion saya tidak ada yang bagus saat sekali" Ucap Ara sambil mengigit jarinya dengan gugup.
"No, Ara. Gambar kamu sangat bagus. Apalagi detail setia rancangan yang kamu buat sungguh menakjubkan. Ibu yakin, kamu dipilih sama dia tanpa koneksi ibu".
"Kapan di adakan lombanya, bu? "
"Minggu depan, Ara. Ibu yakin kamu bisa mengambar dengan waktu sesingkat itu. Ibu tahu kemampuan mu. Good job, Ara. Ibu tunggu kabar darimu, jika kamu siap kita akan berangkat ke Amerika. Wassalamu'alaikum".
"Wa'alaikum salam" Jawab Ara perlahan
Ara termenung memikirkan ucapan dosennya tentang perlombaan itu. Lalu, Ara berteriak dengan raut wajah bahagia dan ber lonjak kegirangan.
"Yes, yes. Terima kasih, ya Allah. Akhirnya, Paris Fashion Week. Ye ye bahagia. Yuhuuuu, sayang bunda dan ayah pokoknya" Teriak Ara kegirangan tanpa menyadari seseorang yang sedang memperhatikan nya dengan menahan senyumnya.
"Ekhm ekhm. Udah akh, jangan kayak orang gila mendingan masuk aja".
Ara berjalan menuju ruang tamu yang saat ini melihat orang tuanya yang sedang berkumpul dengan sahabat ayahnya.
"Assalamu'alaikum" Sapa Ara
"Wa'alaikum salam" Jawab Aya menengok ke asal suara itu "ya ampun, kamu cantik sekali, Ara" Ucap Soraya sambil memeluk Ara.
"Makasih, tante" Ucap Ara tersenyum
"Kamu, masih ingat tante ga? Atau jangan-jangan kamu udah lupa sama tante? " Tanya Soraya.
"Hehe. Lupa tante" Ara menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sini-sini, tante kasih tahu kamu. Tante punya anak yang namanya Daniel. Dulu, dia itu gendut, cengeng, dan selalu ledekin kamu pendek. Waktu mau pergi,kamu nangis terus karena ga mau Daniel ninggalin kamu".
Ara termenung, mencoba mengingat apa yang di katakan Soraya. Sekilas, Ara mengingat kenangan itu samar-samar.
Ara menatap Soraya dengan terkejut "Tante Aya? Wahh Ara kangen banget sama tante" Ara memeluk Soraya dengan senang.
Soraya membalas pelukan Ara "Iya, tante juga kangen banget sama kamu"
Ara melepaskan pelukanya "Om Farhan mana, tante? " Tanya Ara penasaran
"Tuh, ada taman" Tunjuk Soraya "Kamu kesana aja, disana ada ayah kamu juga"
"Okee, tante"
Ara melihat dia orang laki-laki sedang duduk sambil berbincang dengan serius.
"Om Farhan" Panggil Ara
Farhan yang merasa namanya di panggil menengok, mendapati seseorang sedang berdiri di hadapannya dengan tersenyum.
"Ara? " Tanya Farhan
"Ara kangen sama Om" Ara memeluk Farhan dengan bahagia
"Ya ampun, ternyata putri mu tidak berubah sama sekali, Alam" Ucap Farhan sambil menatap Alam.
"Ara, lepaskan pelukannya. Kasian, Om Farhan" Perintah Alam
"Hehe, maaf Ayah" Ara duduk di depan mereka
"Duhh, kamu cantik sekali" Puji Farhan sambil menepuk kepala Ara dengan sayang.
"Makasih, Om. Oh iya Om, Daniel ada dirumah ga?" Tanya Ara penasaran.
"Ga ada, Ra. Baru saja, dia pamit pergi keluar dulu. Katanya, ada yang perlu di beli" Ucap Farhan.
"Ugh. Padahal aku pengen ketemu dia. Aku penasaran. Apakah penampilan nya masih sama seperti 5 tahun yang lalu yang gendut kayak boboho atau berbeda".
Ara mengeryit menatap Ayahnya dan Om Farhan sedang tertawa.
"Kok ketawa? " Tanya Ara heran
"Kamu lucu banget, Ara. Ayah yakin, kamu pasti terpesona sama penampilan nya nanti" Ucap Alam sambil memegang perutnya yang kram akibat tertawa.
"Terpesona apanya? Ara masih dendam sama dia. Dasar gendut ngeselin lagi" Ucap Ara sambil meminum teh yang ada di cangkir.
"Ekhm.. Gadis cengeng, tolong sadar diri" Ucap seseorang duduk di hadapan Ara.
Ara menyeburkan minumannya ketika melihat seseorang di hadapannya saat ini.
"Lho, ka Farhan? Kok disini? " Tanya Ara heran.
"Ini rumah aku" Jawab laki-laki itu menatap Ara dengan jengkel.
"Rumah kakak? Dia siapa, Om? " Tanya Ara kepada Om Farhan.
Farhan menahan senyum nya "Itu cwo gendut kayak boboho kata kamu, Ra"
Gendut?
Boboho?
"Akh? Daniel? " Teriak Ara tidak percaya dengan seseorang yang ada di depannya.
Daniel Farhan?
Ketua BEM di kampus?
"Sepertinya, kalian sudah saling kenal" Ucap Alam menatap putri kesayangannya.
"Dia Ketua BEM di kampus Ara, Ayah" Jawab Ara menatap Daniel kesal.
"Yang ngeselin itu?"
" Iya"
"Yang sering bentak kamu? "
"Iya"
"Yang ngasih proposal ta'aruf ke kamu? "
"Iya"
Ara terkejut menatap Alam "Kok ayah tahu? ".
"Kamu meninggalkan map itu di atas meja, Ara" Alam memberitahu putrinya.
"Ternyata, pikun nya tidak pernah berubah" Ucap Daniel dengan tenang.
"Kakak laknut".
"Language, sayang" Alam mengingatkan.
"Gimana? Anak om sekarang masih sama kayak dulu atau sudah berubah jadi ganteng? " Tanya Farhan.
"Ganteng darimana? Muka datar gitu di bilang ganteng" Jawab Ara tidak mau mengakui perubahan Daniel.
Ara terdiam memandang ayahnya dengan tajam.
"Aku tahu, pasti ada maksud lain dari pertemuan ini. Jadi ayah, bisa ayah memberitahu ku? Ada apa ini? ".
"Tadinya, Ayah dan Om Farhan ingin menjodohkan kalian. Tapi, karena Daniel sudah melamar mu terlebih dahulu. Jadi, peran kami rasanya tidak begitu penting lagi untuk menyatukan kalian. Ayah hanya ingin mempertemukan kamu dengan Daniel. Itu saja" Jelas Alam sambil menatap putrinya tersenyum.
Ara berdiri "Ara pamit pulang, ayah" Ara berjalan meninggal tiga laki-laki yang menatapnya dengan bingung.
"Anak itu" Alam melihat putrinya dengan gemas.
"Tak apa, Om. Biar aku susul" Daniel beranjak dari tempat duduknya untuk mengejar Ara.
Daniel berlari mengejar Ara yang sedang menunggu taksi di depan rumahnya. Perlahan, Daniel duduk di samping Ara sambil mengatur napasnya yang tidak teratur. Ara hanya melirik nya sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Seolah hanya dia yang saat ini sedang duduk sendiri.
"Kakak, minta maaf. Bukannya tidak ingin memberitahu mu. Hanya saja, kakak takut. Takut meninggalkan mu lagi seperti dulu. Takut membuat mu menangis lag, Ra.
Waktu kakak pertama kali melihat mu, kakak ingin sekali menghampiri mu sambil berkata kalo kakak itu Daniel. Seseorang yang kamu kenal sejak kecil. Tapi, kakak ga bisa. Kakak ga berani mendekati mu karena takut menimbulkan fitnah. Bahkan, sekarang saja kakak saja sedang di awasi oleh ayah kamu"
Daniel melihat ke arah kanan, mendapati Alam sedang menatap mereka berdua. Ara ikut melihat ke arah yang sedang Daniel lihat.
"7 tahun. Kakak mencari mu kemanapun. Hasilnya nihil. Kakak mencari akun sosial media mu. Tapi, tidak ditemukan juga. Sampai akhirnya, kamu kuliah di sana atas kehendak Allah. Mungkin saja, hasil do'a kakak juga untuk bertemu dengan mu lagi.
Yah, cara kakak untuk mendapatkan perhatian mu itu salah. Tanpa berani mengungkapkan dan hanya bisa menunjukkan dengan sikap yang menyebalkan. Berbeda dengan semua laki-laki yang mengajak kamu ta'aruf "
Ara menundukkan kepalanya sambil memainkan jarinya dengan gelisah
"Kakak ngeselin"
"Aku tahu"
"Kakak jahat"
"Aku tahu"
"Kakak pengecut"
"Aku lebih tahu"
"Tapi, kenapa perasaan ini tidak pernh hilang walau 7 tahun telah berlalu" Ucap Ara menundukkan kepalanya
"Maksudnya? " Tanya Daniel heran
"Selama 7 tahun. Aku menunggu seseorang yang selalu ada ketika aku masih ingusan. Seseorang yang mengerti diriku. Entah kenapa,meskipun telah pergi, aku tidak bisa melupakan nya. Aku selalu berdo'a untuk bisa bertemu lagi dengannya.
Tapi, tak disangka. Seseorang yang selalu aku do'akan. Ternyata, selama ini ada di samping ku dengan cara yang berbeda. Aku tidak tahu. Harus berterima kasih atau merasa kesal atas keadaan ini
Tapi, kakak. Jika saja kakak mengakui dari dulu kalau kakak itu Daniel. Mungkin saat ini, aku sudah menerima lamaran kakak"
"Jadi, kami menolak lamaran kakak? " Tanya Daniel
"Aku belum memberikan jawaban kepada kakak" Jawab Ara
"Asal kamu tahu. Aku mencintaimu karena Allah" Ucap Daniel sambil melihat ke arah mobil yang sedang berlalu lalang
"Aku tahu"
"Jadi, bagaimana jawabannya? " Tanya Daniel lagi
"Aku.. Ak.. Aku tidak bisa kakak. Minggu depan, aku harus pergi ke Amerika bersama bu Nia selama 4 bulan" Tolak Ara
"Aku bisa menunggu mu"
"Tapi... "
"Hanya 4 bulan. Bukan bertahun-tahun, Ara. Aku tidak mau kehilangan kamu lagi"
"Aku takut"
"Jangan takut. Pada akhirnya, sejauh apapun jarak. Jika aku di takdir kan untuk mu. Kamu bisa apa? Selain menerima ku"
"Baiklah"
"Apanya? " Tanya Daniel lagi
"Aku menerima lamaran kakak" Jawab Ara sambit berjalan menuju bunda Fuina
Daniel terdiam memikirkan perkataan Ara. Setelah menyadari apa maksudnya, Daniel menyusul Ara dengan raut wajah bahagia.
"Tante, aku ingin menikahi Ara secepatnya" Ucap Daniel di depan Fuina, bunda Ara
"Ekh? Kok? Serius? " Tanya Fuina tak percaya
"Iyya, tante. Aku minta restu dari tante"
"Lalu, Ara? Apa dia sudah menerima nya? " Tanya Fuina sambil menatap Ara yang tertunduk
"Sudah tante"
"MAS, ANAK KITA AKHIRNYA DI LAMAR JUGA" Teriak Fuina sambil berlari menuju suaminya, Alam
Ara dan Farhan hanya tertawa melihat tingkah laku wanita itu.
Terima kasih, Ya Allah. Untuk semua yang telah di lalui.
By: Ainun Solihat