Perjanjian di atas Kertas

Marsha mengetuk-ngetuk meja kayu bundar dengan telunjuknya. Matanya fokus membaca setiap poin yang tertera dalam kertas. Ini seperti menikah di atas kertas-ralat bukan seperti tapi memang. Setiap poinnya memang menguntungkan bagi Marsha.

6. Pihak 1 dan pihak 2 tidur di kamar berbeda kecuali dalam keadaan terdesak maka dibolehkan tidur di kamar yang sama.

7. Pihak pertama akan menanggung semua biaya pihak kedua.

8. Kedua pihak harus terlihat mesra di depan publik.

Marsha mengerutkan dahinya saat membaca poin ke-8. Ia tidak setuju dengan itu.

"Aku keberatan dengan poin 8," protes Marsha.

"Hanya di publik untuk meyakinkan mereka," jelas pria yang belum Marsha ketahui siapa namanya.

Marsha menguap dan langsung membaca poin terakhir.

17. Pernikahan ini paling singkat bertahan selama satu tahun, setelah itu tarserah pada pihak 1 dan 2. Jika salah satu pihak memutuskan bercerai sebelum usia pernikahan mereka setahun, maka pihak yang meminta bercerai akan dikenakan denda 10 Milyar.

Mata Marsha sukses melotot dengan sempurna. Dua hal yang membuatnya tidak menyetujui poin terakhir. Pertama, satu tahun adalah waktu yang lama untuk hidup bersama orang yang belum genap dikenalnya 24 jam. Kedua, apa pria itu berpikir duit jatuh dari langit? 10 Milyar? Marsha harus ekstra bekerja sepuluh tahun lebih tanpa henti untuk mendapatkan uang sebanyak itu.

"10 Milyar bukanlah nilai yang kecil!" pekiknya.

Pria itu menatap tajam Marsha. "Itu tidak akan terjadi jika kau tidak berniat mengakhir pernikahan kurang dari setahun."

"Aku tidak jadi menyetujui pernikahan ini," tolak Marsha. Demi Tuhan, apa yang Marsha setujui semalam adalah hal tergila dan terbodoh yang pernah ia lakukan. Keluarganya bisa-bisa mencoreng nama Marsha karena dua hal, yaitu kabur dari pernikahan Erwan dan malah menikah dengan pria lain.

"Baiklah jika kau membatalkan persetujuannya," jawab pria itu begitu tenang sembari menyenderkan bahunya pada dinding dekat jendela.

Marsha tidak percaya akan lepas dengan mudahnya padahal semalam pria itu mengancamnya dengan berbagai hal. Tapi beruntunglah jika Marsha bisa bebas.

"Aku akan menelepon keluargamu dan mantan calonmu untuk menjemputmu lalu kau harus membayar sebesar 2 Milyar dalam satu hari karena telah membatalkan perjanjian yang sudah di sepakati."

Ternyata ucapan pria itu belum selesai. Marsha kira pria itu benar-benar akan melepaskannya ternyata tidak. Jika saja pria yang telah membantunya sekaligus telah menjebaknya tidak menurunkan Marsha di tengah hutan yang tidak ada kendaraan lewat, Marsha tidak akan mau menyepakati pernikahan gila ini.

"Tidak ada perjanjian jika aku membatalkannya akan membayar 2 Milyar. Jadi sekarang aku tidak peduli jika kau menelepon keluargaku atau si brengsek itu," ujar Marsha kesal. Ia meletakkan kertas perjanjian itu dengan setengah membanting.

Marsha sudah tidak peduli jika keluarganya datang menjemputnya dan memaksa menikah dengan Erwan. Marsha akan mengatakan pada keluarganya bahwa Erwan sudah memiliki istri. Ia tidak peduli dengan janjinya pada Bella karena janjinya itu akan merugikan dirinya dan juga Bella. Lebih baik orang tuanya menyeretnya pulang daripada melakukan perjanjian gila ini.

"Ada. Kaulupa kau telah menandatangani kertas kosong?" pria itu tersenyum licik.

Marsha mengumpat kesal. Ia mengerti maksudnya. Kertas kosong bisa diisi dengan hal apa pun. Mengapa Marsha tidak menyadari hal itu. Ah kau bodoh Marsha, umpat Marsha.

"Jadi pilih yang mana? Membayar uang 2 Milyar hari ini atau..." pria itu sengaja menggantungkan kalimatnya.

Apalagi yang harus Marsha lakukan jika keadaannya terpojok seperti ini? Marsha tidak memiliki uang sebanyak itu, 1 Milyar pun tidak sampai. Menjual rumahnya saja harganya sangat jauh dari 2 Milyar.

"Seharusnya aku tidak meminta bantuanmu kemarin sore," desis Marsha. Dengan sangat amat terpaksa Marsha kembali menyetujui perjanjian gila itu. Perjanjian yang akan membuat orang tua Marsha memaki Marsha habis-habisan karena berani kabur dan menikah dengan pria lain.

"Kuanggap itu sebuah kesepakatan," ujarnya, lalu menatap arloji yang melingkari tangan kanannya. "Sebaiknya kau istirahat karena 6 jam lagi kita harus bersiap," lanjutnya dan pergi sambil membawa kertas perjanjian, meninggalkan Marsha di kamar yang entah kamar milik siapa.

Marsha memang ingin istirahat. Semalaman ia tidak tidur karena ia melakukan perjalanan jauh. Ia merutuki nasibnya yang tidak bisa berbuat apa-apa, ditambah lagi saat Marsha kabur, Marsha tidak membawa uang atau pun ponselnya. Sekarang Marsha hanya bisa menunggu kejadian dahsyat yang akan menimpanya dan berharap mamanya baik-baik saja.

Beberapa jam saat sebelum acara pernikahan Marsha dan Erwan, Marsha bicara pada mamanya. Marsha mengatakan pada mamanya bahwa ia sama sekali tidak ingin menikah dengan Erwan, Marsha mempunyai seseorang yang Marsha cintai padahal tidak ada pria yang Marsha cintai selain papa dan kakaknya. Dan tanpa di duga mama Marsha percaya begitu saja dan menyuruhnya pergi jika bisa. Marsha tidak tahu setan apa yang merasuki mamanya yang tiba-tiba mengerti keinginan Marsha, biasanya mamanya akan memarahinya sampai Marsha harus menuruti permintaannya. Perubahan mamanya yang mendadak membuat Marsha bingung dan tidak percaya.

Marsha merebahkan dirinya di ranjang yang ukurannya tidak terlalu besar. Matanya sudah sangat mengantuk. Lalu perlahan ia pun terlelap.

***

Hampir sejam Marsha tidak berhenti tersenyum. Entah sudah berapa tamu undangan yang menyalaminya dan beberapa tamu undangan juga ada yang terkejut karena sebagian dari mereka mengira bahwa Marco yang baru Marsha ketahui namanya seharusnya menikah dengan wanita yang bernama Karin atau siapa itu, Marsha tidak peduli dengan namanya.

Sesaat acara pernikahannya mencekam tapi kemudian kembali mencair saat Marco menjelaskan ke para wartawan dan para tamu undangan tentang kejadian sebenarnya.

Marsha dan Marco sudah berpacaran selama tiga bulan, lalu mereka memutuskan untuk menikah dalam waktu dekat dan segala macam kebohongan yang telah Marco katakan di publik. Bersyukurlah, mereka bisa menerima alasan yang Marco katakan. Marsha tinggal menunggu waktu kapan tentang dirinya yang kabur dari pernikahan si brengsek terungkap.

Kaki Marsha sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Ia telah berdiri selama berjam-jam menyambut para undangan yang tidak Marsha kenal satu pun. Ralat. Marsha hampir mengenal para tamu undangan, mereka semua kebanyakan dari kalangan selebritis papan atas, hanya saja Marsha tak pernah mengenal mereka secara langsung.

"Ayo," Marco menarik tangan Marsha dengan lembut. Wajar, masih di depan para tamu undangan.

Marsha menyipitkan matanya sambil mengikuti langkah Marco dari belakang. Beruntunglah gaunnya tidak menjuntai panjang sehingga ia tidak repot jika melangkah.

"Ke mana?"

"Pulang," jawab Marco singkat.

"Ke mana?"

"Ke rumahku. Kaupikir kemana?" ujarnya kesal. Langkahnya semakin cepat saat tidak ada lagi puluhan pasang mata yang memandangi Marsha dan Marco.

Marsha berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan Marco. "Pelan-pelan!" protes Marsha yang langkahnya tersendat-sendat akibat kakinya yang berdenyut.

Marco menghentikan langkahnya dan menunggu Marsha.

Sampai di rumah Marco, Marsha meminjam ponsel Marco untuk menelepon mamanya dan mengabari mamanya sebelum mamanya tahu dari berita di TV. Marco pun meminjamkan ponselnya.

"Hallo." suara khas lembut mama Marsha membuat Marsha menyimpulkan senyumnya.

"Hallo ma, ini Marsha," ujar Marsha. Marsha menatap Marco yang sedari tadi berdiri di hadapannya. Marco hanya diam tanpa ekspresi di wajahnya.

"Marsha!" pekik mamanya yang terdengar antusias. "kau sekarang di mana, Nak?" kini suara mamanya seperti berbisik-bisik.

Marsha bisa bernafas lega bahwa mamanya baik-baik saja dan tidak terkejut dengan kaburnya Marsha.

"Aku di luar kota ma. Ma, aku hanya ingin mengabarkan bahwa aku...," Marsha merasa sangat berat untuk melanjutkan kalimatnya, "sudah menikah dengan pria yang Marsha maksud," bohongnya. Bahkan saat Marsha kabur tidak pernah terlintas untuk menikah.

"Siapa namanya?" tanyanya mamanya selang beberapa waktu.

Marsha menjauhkan ponselnya dan menatap Marco. "Siapa nama lengkapmu?" bisik Marsha pada Marco.

"Marco Reynand," jawabnya juga berbisik.

Marsha kembali mendekatkan ponselnya. "Marco Reynand."

"Kalian sepertinya memang jodoh. Nama depan kalian sama-sama Mar."

Dan Marsha baru menyadari akan hal itu.

"Kau mencintainya?" tanya mamanya. Suaranya masih berbisik.

Cinta? Aku saja tidak menyukainya, bagaimana bisa aku mencintainya? Batin Marsha. "Tentu ma, aku mencintainya. Aku tidak ingin menikah dengan pria yang tidak Marsha cintai," lagi Marsha harus berbohong dan Marsha balas menatap Marco yang menatapnya dengan tatapan geli.

"Bisa mama bicara dengan suamimu?"

Marsha menelan ludahnya dalam-dalam. Aku sudah punya suami?

"Marsha." mamanya membuyarkan lamunan Marsha.

"Oh ya ma tentu." Marsha pun menyerahkan ponselnya pada Marco. "Ini mamaku ingin bicara," bisiknya pada Marco.

Tanpa ragu, Marco langsung mengambil ponselnya dan bicara. "Um...sebelumnya saya minta maaf karena saya telah menikahi anak Anda tanpa persetujuan anda, karena Marsha dipaksa menikah dengan pria lain makanya saya nekad membawanya. Sekali lagi maafkan saya atas kelancangannya," ujar Marco dengan nada menyesal. Marsha tahu Marco sedang berpura-pura.

Mendengar penyesalan pura-pura Marco, perut Marsha terasa mual.

"Tanpa diminta, saya pasti akan menjaga putri anda. Saya sangat mencintainya."

Lagi-lagi Marco membuat perut Marsha mual. Bualan palsu yang dilontarkan Marco pada mamanya nyaris seperti di film-film romance.

"Jika diperbolehkan, saya dan Marsha akan berkunjung dalam waktu dekat sekaligus meminta permohonan maaf karena saya telah lancang menikahi putri anda."

"...."

"Oh begitu?... baiklah. Selamat malam ma." Marco menutup panggilannya.

Marsha menatap Marco penuh tanya. Marsha tidak rela mamanya dipanggil 'mama' oleh Marco. Memangnya siapa dia? Menantu? Eh ya memang menantu. Tapi tetap saja Marsha menganggap Marco bukan menantu mamanya.

"Mamamu bilang aku harus menjagamu, khawatir kalau terjadi yang tidak-tidak dan beliau juga bilang kau tidak boleh pulang karena keluargamu masih sangat marah padamu," jelas Marco.

Marsha mendesah berat. Tapi setidaknya Marsha tidak menghadapi kemarahan papa dan kakaknya dalam waktu dekat. Ia akan kembali jika suasananya sudah mereda. Yang terpenting, Marsha sudah bisa menjauh dari Erwan dan Erwan tidak akan bisa melakukan apa pun terhadapnya karena Marsha sudah terikat dengan pria lain.

Marsha masuk ke dalam kamar yang di maksud Marco. Mereka tidur di kamar terpisah sesuai isi perjanjian di kertas gila itu. Jujur, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya karena Marsha tidak punya pekerjaan tetap. Tidak mungkin kan Marsha menjadi wanita rumah tangga? Ck. Pernikahan ini hanya status di mata publik.

Marsha mengeringkan rambutnya dengan hairdrier. Entah sudah berapa hari Marsha tidak keramas. Rambutnya terasa gatal sekali. Setelah selesai merapikan dirinya, Marsha memencet tombol power pada remote TV. Kebetulan chanel itu langsung tertuju pada berita penikahan mereka. Marsha kira beritanya akan heboh karena kesalahpahaman pernikahan yang seharusnya Marco menikahi mantannya itu. Ternyata tidak. Berita di TV hanya membicarakan jalannya acara pernikahan mereka tanpa ada berita miring mengenai Marsha sedikit pun. Seharusnya media sudah menyebarkan berita tentang Marsha yang kabur dari pernikahan perjodohannya. Ada apa ini?

Dan mengenai Marco. Marsha baru sadar ia adalah seorang aktor. Marco Reynand sering membintangi beberapa film bergenre romance dan action. Ia aktor yang cukup terkenal di Indonesia namun lebih terkenal di negara kelahirannya yaitu Italia. Karena setahu Marsha, Marco mengawali karirnya sejak kecil di Italia kemudian ia pindah ke Indonesia dan peruntungannya jadi aktor cukup luar biasa. Seharusnya sejak pertama bertemu dengan Marco, Marsha bisa mengenali aktor yang bayarannya selangit itu, tapi karena kepanikannya Marsha jadi lupa segalanya. Dan sekarang Marsha menikah dengan seorang aktor yang artinya ia tidak bisa bebas melakukan apa pun atau gosip miring akan menyebar. Lagi, Marsha terjebak ke dunia entertaiment. Kali ini dengan ruang lingkup yang besar karena seorang Marco Reynand.

Berniat lari dari lubang buaya, Marsha malah masuk ke lubang harimau.

****

Tengah malam Marsha tidak bisa tidur. Perutnya terus bernyanyi-nyanyi meronta minta makan. Marsha mengitari rumah yang terlalu besar untuk ditinggali dua orang, mencari dapur. Untuk mencari dapur saja Marsha seperti orang tersesat di mall yang mencari toilet. Rumah ini tidak layak disebut 'rumah' layaknya disebut 'istana'.

Marsha mengerutkan dahinya saat melihat isi lemari es. Bahan makanan begitu lengkap. Dan Marsha bingung ingin memasak apa karena Marsha sama sekali tidak bisa memasak. Akhirnya Marsha memutuskan untuk membuat mie instan.

"Aku pikir ada pencuri yang masuk, ternyata kau."

Suara itu refleks membuat Marsha menoleh.

"Aku lapar," jawab Marsha. Ia berpaling dan melanjutkan memasak mienya.

"Boleh kaubuatkan aku satu? Aku juga lapar." Marco menyandarkan punggungnya pada lemari es.

"Ya tentu. Kau mau mie apa? Goreng atau rebus?"

"Goreng saja."

Marsha menyajikan mie yang seharusnya buat dirinya. "Ini. Kaumakan saja punyaku. Aku akan buat lagi."

Mereka berdua pun makan di meja yang sama dengan posisi saling berhadapan. Marsha mengelap mulutnya dengan tisue setelah selesai menghabiskan mienya. Jujur saja, Marsha masih sangat lapar. Ia ingin memasak mie lagi tapi Marsha tidak enak dengan Marco. Marsha harus menjaga image depan Marco.

"Jadi kautinggal di sini?" tanya Marsha, memecahkan keheningan di antara mereka.

"Bisa dikatakan ya. Tapi jika ada proyek film, aku tinggal di Jakarta."

"Apa hanya kau yang tinggal di sini?"

"Ya. Tapi sekarang kau juga akan tinggal di sini mau tak mau. Aku harap kita bisa menjadi teman yang baik."

Marsha tersenyum simpul. "Selama di antara kita tidak membuat masalah. Kita bisa menjadi teman yang baik."

Marco ikut tersenyum. Jika dilihat-lihat, Marco memang tampan. Wajahnya mempunyai ciri khas yang sulit di deskripsikan oleh Marsha.