Hujan menemani suasana pagi hari. Hujan membuat matahari lebih memilih bersembunyi di balik awan-awan kelabu. Jam sudah menunjukan pukul 9 pagi, tapi rasanya masih seperti pukul 7 pagi.
Marsha sedang duduk di teras depan rumah sambil menyeruput tehnya dan merasakan angin hujan membelai kulitnya. Ia menikmati waktu sendirinya, apalagi di dukung oleh pemandangan sekitar rumah. Cukup memukau di mata Marsha. Halaman yang melingkari rumah ini lebih terlihat seperti perkebunan yang menyejukkan. Marsha tentu saja akan betah tinggal di sini tapi jika malam hari rasanya Marsha tidak berani sendirian berada di rumah ini. Pada malam hari, halaman depan dan belakang bisa dibilang horror.
Sudah lama sekali Marsha tidak merasakan seperti ini, di mana ia bisa berpikir tenang tanpa memikirkan beban yang lain seperti sebelumnya.
Suara deru mesin mobil semakin terdengar di telinga Marsha. Ada mobil sport abu-abu gelap melaju dan berhenti di depan teras. Marsha penasaran dengan siapa yang datang. Dan pemilik mobil itu turun dengan tergesa-gesa seraya menghampirinya.
Marsha tergelonjak begitu tahu siapa yang datang. Orang yang sangat tidak asing lagi di hidup Marsha.
"Marsha, kau berhutang penjelasan padaku!"
Marsha masih tidak bisa berpikir jernih. Ia terlalu terkejut dengan apa yang ia lihat. Bagaimana bisa dia mengetahui Marsha berada di sini? Belum usai keterkejutan Marsha, ia kembali dikejutkan dengan seseorang yang baru keluar dari mobil sport itu. Mereka berdua kenapa bisa di sini?
"Marsha, jelaskan padaku kenapa kau bisa menikahi kakakku dan kau tidak mengabari kami sama sekali," desaknya.
Mulut Marsha menganga tidak percaya. Kakak? Marco adalah kakaknya Erico? Tapi selama bertahun-tahun setahu Marsha, Erico adalah anak tunggal. Erico terus saja mendesak Marsha untuk menceritakan kejadian sebenarnya dan bagaimana Marsha bisa bertemu dengan Marco. Dan Bella, ia hanya diam memperhatikan Erico yang dari tadi tidak sabaran.
Marsha pun menceritakan kejadian yang sebenarnya-ralat, menceritakan kebohongan. Erico atau pun Bella tidak boleh mengetahui yang sebenarnya. Selama Marsha menceritakan pada ke dua sahabatnya itu, sesekali mulut Erico mengamit seperti sedang membaca mantra sedangkan Bella hanya menunjukkan ekspresi tidak percayanya.
Marsha menghela napas panjang saat selesai menceritakan kebohongannya. Ia berharap kali ini ia pandai dalam berbohong atau tidak semuanya bisa menjadi rumit.
"Aku tahu kau berbohong," ujar Erico tidak percaya. Raut wajahnya terlihat gusar.
"Dia tidak berbohong," jawab suara yang tiba-tiba datang tak diundang.
Bukan Marsha yang menjawabnya malainkan Marco. Marsha dan kedua sahabatnya refleks menoleh pada Marco yang sedang menghampiri mereka. "Untuk apa kau kemari?" tanya Marco yang nadanya terdengar sangat tidak suka.
Jika Marco dan Erico kakak beradik, lalu kenapa mereka saling bersitatap penuh kebencian? Terutama Marco, pikir Marsha.
"Aku ingin mengunjungi sahabatku kak. Dari mana kau mengenal Marsha?" tanya Erico selidik. "Apa kausengaja ingin merebut semua yang kumiliki termasuk wanita yang kucintai?!"
Marsha tergelonjak. A-apa? Erico mencintainya? Marsha menatap Erico tidak percaya kemudian pandangannya beralih pada Marco. Marco tampak tercengang mendengar pengakuan dari Erico.
"Aku bahkan tidak tahu kalau kau dan Marsha saling mengenal. Jadi jangan menuduhku yang tidak-tidak. Sebaiknya kau keluar dari rumahku," usir Marco.
"Kau memang tidak pernah berubah kak. Kau selalu membenciku dan tidak pernah menganggapku kalau aku ini adikmu," ujar Erico. Ia mengepalkan kedua tangannya.
Marsha terkejut dalam diamnya. Kejutan hari ini bertubi-tubi datang padanya. Marsha tidak pernah menduga kalau Erico mempunyai kakak. Dan hubungan Erico dengan Marco membuat Marsha penasaran dengan apa yang terjadi di antara mereka. Kenapa sepertinya Marco sangat membenci Erico?
"Marsha seharusnya jika kau memang tidak mau menikah dengan Erwan, cari alternatif lain. Kau bisa memintaku untuk menikahimu bukan dengan kakakku!" katanya, membentak.
Marsha terkesiap. Ini pertama kalinya Marsha dibentak oleh Erico. Sebelumnya Erico tidak pernah bicara dengan nada tinggi seperti tadi.
"Aku dan Marco memang murni ingin menikah. Kau tidak ingat saat aku mengatakan aku punya kekasih? Marco lah kekasihku tapi kau tidak percaya aku mempunyai kekasih," sergah Marsha.
Erico diam. Dahinya berkerut tampak berpikir. "Lucu sekali," komentarnya.
"Tidak ada yang lucu. Aku harap kau tidak mengganggu hubungan kami seperti ibumu. Tapi aku ragu, ibu dan anak sifatnya kan sama persis," balas Marco.
Erico memalingkan wajahnya kemudian ia kembali menatap Marsha dan Marco bergantian. "Aku tidak akan mengganggu hubungan kalian. Aku masih menghargaimu kak sebagai kakakku dan aku juga menghargai sahabatku yang sekarang menjadi kakak iparku."
Hati Marsha meleleh saat Erico mulai bicara dengan nada pelan tanpa suara yang meninggi. Melihat tatapan antara Erico dan Marco membuat jantung Marsha ingin copot. Ia antara takut dan kesal.
Marsha baru menyadari bahwa mereka sejak tadi berdiri di teras rumah dengan suasana yang cukup menegangkan. Akhirnya Marsha memutuskan untuk mempersilakan Bella dan Erico masuk ke dalam rumah. Sementara Marco, dia hanya menatap Marsha tidak suka saat menyuruh dua sahabatnya masuk ke dalam rumah Marco.
Marsha berjalan berdampingan dengan Marco, diikuti Bella dan Erico di belakangnya.
"Kau tidak ingin bergabung?" tanya Marsha pada Marco saat Marsha mendaratkan bokongnya pada sofa merah maroon yang empuk.
"Tidak. Nikmati saja quality time kalian. Aku tak ingin mengganggu," jawabnya sarkastik lalu ia melanjutkan langkahnya meninggalkan mereka bertiga dengan wajah masam.
Tidak sopan! Umpat Marsha.
Marsha tersenyum lebar pada sahabatnya. Memperlihatkan kebodohannya yang muncul begitu saja. "Maafkan suamiku." Marsha merutuki dirinya sendiri. Tidak rela mulutnya mengatakan bahwa Marco adalah suaminya. "Dia sedang sensitif. Tadi pagi kami ada sedikit pertengkaran kecil makanya seperti itu," lanjutku, berbohong.
Erico menyipitkan sebelah matanya. "Berhenti berbohong padaku. Dia memang seperti itu dari dulu. Aku heran kenapa kau bisa menikah dengannya. Apa jangan-jangan kau dipelet?" gerutu Erico.
"Aku sudah mengatakan bahwa Marco itu sebelumnya kekasihku dan kami memutuskan menikah. Hubungan kami dulu memang disembunyikan dari siapa pun," kata Marsha, lagi ia harus berbohong dan sepertinya ia akan menjadi pembohong yang cukup pintar.
"Erico sayang. Seharusnya kita ikut bahagia karena Marsha menikah dengan pria yang dicintai. Aku yakin Marsha melewatkan malam pertamanya dengan indah," timpal Bella, menyengir kuda. "Oh dan aku malah iri dengannya. Marsha menikah dengan aktor tampan yang bayarannya selangit!"
"Bahkan aku lebih yakin Marsha masih perawan," ujar Erico santai.
Marsha yang sedang meneguk air mineral, tersedak-sedak ketika mendengar perkataan Erico. Mulut Erico memang sulit dijaga, selalu saja mengucapkan perkataan diluar dugaan Marsha. Sedangkan Bella tertawa terpingkal-pingkal. Sikap Bella sangat berbanding terbalik dengan apa yang Marsha pikirkan. Apa Bella senang ternyata Erwannya tidak menjadi menikah? Marsha jadi penasaran bagaimana keadaan Erwan setelah pernikahan mereka batal.
"Dari pada kau membahas tentang keperawananku yang sudah hilang semalam...," ucapan Marsha terhenti begitu sadar dengan apa yang baru saja Marsha katakan. Kenapa mulut ini selalu refleks mengeluarkan kata-kata yang berbanding terbalik dengan pikirannya, rutuk Marsha. "lebih baik kau jelaskan padaku kenapa kau tidak pernah mengatakan padaku bahwa kau mempunyai kakak?" lanjutku, mengintrogasi.
"Pada kami," ralat Bella cepat. Sekarang ekspresinya berubah serius.
Erico diam cukup lama. Beberapa kali mulutnya terbuka hendak bicara namun ia kembali menutup rapat-rapat mulutnya, sepertinya ia sedang memilih perkataan yang tepat atau bingung bagaimana cara menjelaskannya.
Marsha dan Bella menunggu penjelasan dengan sabar. Marsha terlalu penasaran dengan apa yang terjadi di antara Erico dan Marco. Biasanya Erico selalu menceritakan keluh kesahnya pada Marsha termasuk hal yang paling pribadi bahkan Marsha mengira Erico tidak mempunyai rahasia sama sekali di dalam hidupnya.
"Aku tidak masalah jika kau tidak mau menceritakannya. Tapi mungkin aku bisa membantu hubungan persaudaraan kalian jika kau mau bercerita sedikit," ujar Marsha memecahkan keheningan yang dibuat Erico. Marsha tidak yakin dengan apa yang baru ia lontarkan.
Erico akhirnya angkat bicara, "Dia yang tak lain suamimu adalah kakakku. Kami satu ayah tapi berbeda ibu. Usia kami terpaut 6 tahun. Sayangnya, Marco sangat membenciku karena ia mengira ibuku telah merebut ayahnya dan menghancurkan keluarga bahagianya. Padahal aku dan ibuku baru mengetahui bahwa ayahku mempunyai istri lain."
Marsha membeku. Ia jadi mengingat sesuatu yang membuat hatinya perih, sesuatu yang menjadi luka terpendamnya selama masa hidup Marsha. Apa semua laki-laki seperti itu? Selalu menjadikan wanita korban dan anaknya juga korban karena kesalahan pria? Tanya Marsha dalam benaknya.
"Saat ibuku meninggal dunia 13 tahun lalu, ayah mengajakku tinggal bersama Marco dan Tante Lena ibunya. Ibu Marco terkena gangguan jiwa karena tidak terima bawa ayahku menikah diam-diam dengan ibuku. Dan beberapa bulan setelahnya ibu Marco meninggal karena bunuh diri dan semenjak itu Marco membenciku dan tidak pernah menganggapku padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa," terang Erico. Raut di wajahnya tampak sedih sekali.
Marsha menelan ludahnya. Lubang di lukanya semakin menganga. Marsha cukup mengerti bagaimana perasaan Erico karena Marsha juga mengalami hal seperti itu.
"Jadi itu sebabnya aku tidak pernah mengatakan pada siapa pun. Kalian juga tahu selama bersekolah, aku menumpang pada bibiku setelah itu aku hidup sendiri tanpa keluarga," lanjutnya, tersenyum kesakitan.
Marsha menarik napas dalam-dalam, ia mencoba mencari ketenangan dalam pikirannya. Masalah Erico tidak jauh berbeda dengan Marsha dan masalah yang sama hampir saja menimpa Marsha dan Bella karena Erwan. Syukurnya Marsha berhasil kabur dari Erwan, kalau tidak, Marsha tidak tahu akan sedalam mana hancurnya perasaan Bella dan calon anaknya itu.
Erico menyenderkan kepalanya pada kepala sofa. Matanya menerawang ke atap rumah.
"Marco pasti akan menerimamu dan mengerti bahwa kau tidak tahu apa-apa. Kau hanya korban," kataku.
"Menerimaku?" Erico tertawa hambar. "Bertahun-tahun aku menjelaskan padanya dan dia tetap saja memandangku dengan penuh kebencian," sergah Erico.
"Ini semua masalah waktu. Aku berjanji padamu, Marco lambat laun akan menerimamu," janji Marsha penuh tekad pada Erico. Marsha sadar apa yang baru ia katakan. Marsha baru mengenal Marco dan bagaimana bisa Marsha membujuk Marco? Rasanya itu sulit mengingat cara Marco menatap Erico.
"Apa yang dikatakan Marsha benar. Ini semua masalah waktu, Rick," timpal Bella, menepuk pundak Erico di sebelahnya.
"Jangan urusi masalahku, Sha. Lebih baik kau fokus dengan pernikahanmu. Ku doakan semoga hubungan kalian harmonis," ujar Erico. Ia menatap Marsha dan memamerkan giginya.
Marsha memaksakan senyumnya. Seandainya mereka tahu apa yang terjadi sebenarnya, batin Marsha.
"Jadi kalian kemari hanya ingin meminta penjelasan tentang pernikahanku?" tanya Marsha, mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak ingin larut dalam topik yang membuat lukanya semakin perih. Marsha juga tidak ingin melihat sahabatnya sedih karena terlalu larut dalam masalahnya.
"Saat aku baru selesai mandi, Erico langsung menyeretku pergi untuk menemuimu," gerutu Bella, memainkan kuku-kukunya yang berwarna merah nyala. "Erico memang pria gila."
"Aku shock mendapati kau menikah dengan Marco. Kupikir kau hanya kabur saja eh taunya malah menikah. Kautahu Marsha? Erwan sangat marah pada hari itu dan juga keluargamu. Mereka menyerangku menanyakan keberadaanmu padahal aku tidak tahu apa-apa. Kenapa hidupku penuh tuduhan," keluh Erico memasang tampang memelas.
Marsha seketika mematung. Ia bisa membayangkan bagaimana kemarahan keluarganya terutama papanya. Dan...mengenai Erwan, apa dia akan melakukan sesuatu yang buruk? Marsha melirik Bella. Bella terlihat berkeringat dingin dan sedikit pucat ketika mendengar nama Erwan.
"Kau memang pantas dituduh Co," timpal Bella, menutupi kegelisahannya sebaik mungkin.
Erico menoleh pada Bella, ia menatap Bella kesal. Marsha tahu kenapa Erico menatap Bella seperti itu. Itu karena Erico tidak suka dipanggil 'Co'.
"Bella, kita sudah berteman lama. Kautahu aku tidak suka dipanggil Co atau Coco. Aku merasa seperti penjaga konter atau barang elektronik!" bentak Erico.
Dalam hitungan detik Marsha dan Bella tertawa. Marsha jadi ingat kejadian mengapa Erico benci dipanggil coco dan orang konter hp. Itu karena Erico pernah bertengkar hebat saat berada di konter hp. Erico dituduh mencuri ponsel baru padahal Erico tidak sengaja memasukannya ke dalam tasnya.
"Terus saja kalian tertawa. Hah lucu sekali," Erico merengutkan bibirnya seperti anak kecil.
Marsha memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa. Begitu cepat rasanya melupakan masalah yang ada disaat kedua sahabat Marsha bersamanya dan membully salah satunya.
"Jangan terlalu membenci itu. Nanti bisa-bisa kau mendapat jodoh orang yang bekerja disitu," ejek Bella disela tawanya yang keras.
"Lebih baik aku jomblo seumur hidup!" balas Erico. Dia adalah orang satu-satunya yang tidak tertawa disaat kedua sahabatnya sedang tertawa.
"Jaga ucapanmu Rick. Ucapan adalah doa. Memang apa salahnya? Aku punya teman yang bekerja di konter hp. Ia cantik dan sangat pintar. Jangan karena masalah di konter kau jadi membenci semua orang," ujar Marsha, menasehati. Marsha menekan perutnya yang masih terasa sakit akibat tawanya beberapa waktu lalu.
Erico sedari tadi tidak berhenti memperhatikan Marsha. "Apa kakakku merebut keperawananmu sangat kasar hingga kau memegangi-"
Bella yang mendengar itu kembali tertawa sampai mengeluarkan air mata.
Marsha melempar bantal tepat ke arah wajah tampan Erico. "Shit, Eric! Mulutmu itu selalu saja ingin kurobek!" pekik Marsha.
Erico menyeringai lebar sambil mengambil bantal yang jatuh ke lantai.
Marsha tersenyum hangat. Setidaknya ia bisa melihat Bella tertawa walaupun hanya sebentar. Marsha tidak tahu apa yang terjadi pada Bella dan Erwan. Marsha harap Erwan tidak tahu bahwa dirinya bersahabat dengan Marsha, karena itu bisa saja berakibat buruk pada Bella.
"Aku ingin ke toilet. Di mana toiletnya?" tanya Erico.
"Belok kanan, lurus, naik ke atas terus kau belok kiri. Di situ toiletnya," kata Marsha sambil menunjuk arahnya dengan jarinya. Marsha mengulum senyumnya.
"Menanyakan toilet padamu seperti menanyakan alamat rumah," Erico menggeleng. Ia beranjak dari duduknya seraya melemparkan bantal sofa pada Marsha.
Marsha dan Bella hanya bisa terkekeh bersamaan. Setelah Marsha memastikan Erico tidak ada di ruang yang sama dengan dirinya dan Bella. Marsha berpindah posisi duduk di sebelah Bella.
Marsha memperhatikan sekelilingnya, memastikan tidak ada yang melihat atau mendengar apa yang akan Marsha bicarakan pada Bella.
"Bagaimana Erwan?" tanya Marsha setengah berbisik.
"Dia...dia terlihat sangat marah sekali. Aku tidak berani mendekatinya," jawab Bella ragu-ragu.
"Tapi dia tidak tahu kan kita tidak saling mengenal?"
Bella menggeleng sambil tersenyum tipis. "Sejauh ini belum."
"Apa Erwan sudah tahu aku sudah menikah? Dan bagaimana reaksi ayahku?" tanya Marsha cemas.
"Tentu tahu. Beritamu ada di mana-mana Sha. Dan ayahmu...aku tidak tahu reaksinya seperti apa. Tapi, ada kabar gembira yang ingin kusampaikan padamu."
Marsha mengerutkan dahinya. Kabar gembira apa? Tanya Marsha dalam hatinya. Kabar gembira di antara kabar buruk?
"Kabar gembira mengenai Erwan?" tanya Marsha heran.
Bella mengangguk, senyumnya mengembang. Marsha semakin dibuat bingung dengan Bella. "Apa?"
"Karena kau kabur dari pernikahanmu, Erwan menikahiku secara resmi di depan publik. Ya meskipun dia merasa terpaksa. Tapi setidaknya status pernikahanku sah di mata hukum dan publik," ujar Bella, meremas tangan Marsha.
Marsha tersenyum senang. Itu berarti Erwan tidak bisa berbuat hal buruk pada dirinya dan Bella. Selesai sudah urusannya dengan Erwan. Erwan tidak akan berani menyeret Marsha lagi jika keduanya sudah terikat pernikahan dengan orang lain.
"Baguslah kalau gitu. Tapi Bell... Jika Erwan melakukan KDRT padamu lagi, kau tidak boleh diam saja. Kita sebagai wanita tidak boleh lemah." Marsha memeluk Bella. Ia sangat senang sahabatnya sudah mendapatkan haknya yang semestinya.
"Aku akan berusaha menjadi wanita kuat. Terima kasih Sha. Kau memang super womanku." Bella balas memeluk Marsha.
Marsha melepaskan pelukannya. Bibirnya tidak berhenti tersenyum. Setidaknya anakmu tidak akan menjadi korban, gumam Marsha.
"Btw kenapa Erico lama sekali?" tanya Bella.
"Ssst...," jari telunjuk Marsha berada di bibirnya. "Aku mencampurkan minumannya dengan obat pencuci perut," bisik Marsha, ia berusaha menaham tawanya.
Bella melotot sempurna. "Astaga Marsha. Kau ini jahat!" lalu Bella tertawa diikuti dengan Marsha.
****
Marsha melangkah dengan kesal. Ia merutuki rumah besar bak istana yang sekarang ia tinggali.
"Memangnya tidak ada pembantu sampai-sampai malam begini aku harus membukakan pintu untuk orang yang pasti tidak kukenal," gerutu Marsha.
Marsha pun membuka pintu besar rumah milik Marco dengan kedua tangannya. Dari tadi bunyi bel mempekakan telinga Marsha saat Marsha sedang tertidur pulas.
Saat dibukanya pintu, Marsha menatap sosok wanita cantik berbalut dress merah nyala dan di belakang wanita itu ada dua penjaga rumah yang sepertinya sedang kualahan. Marsha memicingkan matanya.
"Maaf nyonya, tadi saya sudah melarang wanita ini masuk tapi dia memaksa," ujar salah satu dari peia yang berada di belakang wanita itu.
Marsha hanya mengangguk. Ia begitu heran dengan wanita yang menurutnya tidak tahu malu.
"Marco Reynand!"
Marsha terkesiap. Kesadarannya sudah kembali sepenuhnya ke dunia nyata. Suara wanita yang ada di hadapannya sangat luar biasa mempekakan telinga Marsha.
"Maaf, Anda siapa?" tanya Marsha selembut mungkin meskipun dalam lubuk hatinya ia begitu jengkel.
"Aku Karina Ollen."
Marsha menyipitkan matanya. Ia merasa pernah mendengar nama Karina Ollen tapi ia lupa di mana.