Marsha sebagai wanita merasa harga dirinya jatuh karena pria yang sedang bersamanya menghina masakannya habis-habisan tanpa berpikir lebih dulu. Tidak kah pria ini punya sedikit sopan santun? Setidaknya jangan membuang hasil masakannya begitu saja. Jika tidak mau memakannya jangan membuangnya, batin dalam dirinya berteriak buas.
Marsha memperhatikan Marco yang sedang mengiris bawang. Ia berinisiatif membantunya walaupun setengah hatinya masih kesal karena telurnya dibuang begitu saja dengan percuma.
"Sini biar aku yang mengiris bahannya." Marsha mengambil paksa pisau yang ada di tangan Marco, lalu mengirisnya dengan sembarang.
Memangnya dia bisa masak? Cih, paling-paling rasanya asin, umpat Marsha sambil mengiris.
"Jangankan memasak. Mengiris bawang saja kau tidak bisa dan sangat membuang waktuku," cemoohnya yang semakin membuat harga diri Marsha terasa jatuh dari langit ketujuh sampai ke dasar perut bumi. "Jika ingin mengirisnya untuk memasak nasi goreng, iris tipis-tipis jangan tebal-tebal," lanjutnya sambil mengomel. Marco mengambil pisau lain dan menunjukkan pada Marsha bagaimana cara mengiris bawang yang baik dan benar.
Marsha menganga lebar tidak percaya dengan pemandangan yang sedang ia lihat. Marco mengiris bawangnya dengan sangat cepat dan ahli seperti koki-koki profesional yang pernah ia lihat sebelumnya. Kini Marsha tidak merasa kesal tapi sangat malu karena yang seharusnya pandai dalam urusan dapur adalah wanita bukan pria. Rupanya keadaan berbalik hari ini.
Setelah selesai memasak. Marsha hanya bisa mematung menatap nasi goreng buatan Marco di mejanya. Nasi gorengnya terlihat sangat berkelas dan menggiurkan. Marsha sebisa mungkin terlihat biasa saja saat Marco duduk di hadapannya. Ia tidak ingin orang yang baru dikenalnya sekaligus suaminya menjatuhkan harga dirinya seperti tadi.
"Kau harus terbiasa dengan sikapku tadi. Aku paling sensitif jika tentang makanan," ujar Marco sebelum memasukan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
Marsha masih terdiam. Memandangi Marco dan nasi gorengnya bergantian.
"Makanlah. Nasi goreng itu rendah kolestrol tidak seperti telur buruk rupamu," cibirnya dengan santai dan melanjutkan makannya.
Lagi-lagi Marsha harus mendengar hinaan yang keluar dari mulut pedasnya. Marsha paling tidak bisa dihina. Sehabis ini ia bertekad untuk kursus memasak agar masakannya tidak dihina lagi. Marsha merasa sangat menyesal dulu tidak pernah memperhatinya mamanya memasak saat Marsha punya waktu luang.
"Jika sekali lagi kau menghina masakanku, aku berani menjamin, aku tidak akan betah tinggal satu atap denganmu Tuan Marco Reynand," ucap Marsha dengan hati gondok.
"Aku bilang kau harus terbiasa dengan itu. Sudahlah, cepat makan. Satu jam lagi kita akan pergi."
"Ke mana?"
"Bulan madu. Kita kan pengantin baru," ujarnya santai.
Marsha tergelonjak. Bulan madu? Bukannya pernikahan ini hanya di atas kertas? Untuk apa bulan madu? Marsha bertanya-tanya dalam hatinya. Ia mempunyai firasat bahwa pria yang sedang bersamanya ini akan melakukan hal yang buruk padanya.
"Singkirkan pikiran burukmu tentangku Nona Marsha. Wartawan pasti akan bertanya kenapa kita tidak bulan madu sebagai pengantin baru. Jadi itu semacam pelengkap saja. Anggap saja bulan madu bagi masyarakat adalah awal pengenalan bagi kita. Aku ingin mengenalmu karena kita tinggal satu atap dan juga agar kemistri di antara kita berdua terjalin dengan baik di depan publik," jelas Marco.
"Oh baiklah," akhirnya Marsha mengiyakan. Lagi pula ia butuh liburan setelah dengan apa yang terjadi di hari sebelum-belumnya. Dan Marsha pun memakan nasi gorengnya. Tidak bisa dipungkiri Nasi goreng buatan Marco sangatlah lezat, Marsha jadi ingin menambah lagi tapi ia harus menahan dirinya atau tidak, akan ada ucapan pedas lagi yang keluar dari mulut Marco. Marsha jadi penasaran dengan diri Marco, kenapa Marco bisa pintar memasak seenak tadi dan Marsha tidak akan menyia-nyiakan tahap pengenalan mereka nanti. Ia akan bertanya tentang hubungan Marco dan Erico.
"Marco," panggil Marsha ketika Marco baru selangkah bergerak.
"Ada apa?"
"Kau bilang kauingin mengenalku kan? Aku juga. Jadi kau tidak keberatan kan jika aku punya banyak pertanyaan saat bulan madu kita?"
Marco mengangguk lembut. "Apa pun. Aku juga punya banyak pertanyaan. Jadi bersiaplah."
"Satu lagi," kata Marsha cepat sebelum Marco membalikkan tumitnya. "Kita tidak tidur satu kamar kan?"
"Kita tidak akan tidur satu ranjang," jawabnya, kemudian ia membalikkan tumitnya.
Marsha mengelus dadanya lega. Oke Sha, semua ini akan berjalan dengan baik. Setidaknya kau tidak jadi menikah dengan si brengsek Erwan, kau hanya menikah dengan orang asing yang sudah sedikit menguntungkanmu.
******
Marsha menjulurkan tangannya ke luar pintu mobil yang tidak beratap, merasakan angin menerpa dirinya. Mobil milik Marco berpacu di atas pasir putih.
Suara deburan ombak menjadi suara yang paling indah di telinga Marsha. Sudah sangat lama sekali Marsha tidak mendengar suara ombak.
Mobil Marco berhenti di dekat bibir pantai. Pantainya sangat sepi, hanya ada Marsha dan Marco. Pantai ini bukanlah tujuan utama untuk berbulan madu, Marco mengatakan pada Marsha bahwa ia hanya ingin singgah saja menikmati matahari terbenam dan akan melanjutkan perjalanan lagi yang akan menempuh waktu lima atau enam jam lagi.
Marsha dan Marco berdiri bersandar di moncong mobil. Mereka menatap ke ujung laut menikmati senja menghilang secara perlahan.
"Jadi ceritakan tentang wanita semalam," ujar Marsha tanpa menoleh pada Marco yang sedang berada di sampingnya.
"Jadi kauingin memulai pengenalannya sekarang?"
Marsha menoleh pada Marco dan mendapati Marco sedang tersenyum simpul. Untuk apa Marco tersenyum? Tanya Marsha di benaknya.
"Mumpung aku ingat. Ketika aku sedang liburan, aku bisa lupa segalanya bahkan aku bisa melupakan diriku sendiri," jawab Marsha dengan jujur. Dulu saat Marsha sedang berlibur di Bangka Belitung, ia melakukan hal yang sangat memalukan karena keantusiasannya terhadap pantai. Marsha melupakan dirinya sendiri, ia keluar dari hotel dengan memakai kimono tidur dan Marsha baru menyadari itu saat di parkiran ketika orang-orang menertawainya.
"Bagaimana kau bisa melupakan dirimu? Aku baru dengar ada manusia yang melupakan dirinya sendiri."
Tidak mungkin Marsha menceritakan kebodohannya pada Marco. Bisa-bisa Marco terus meledek atau menghinanya.
"Tidak penting. Jawab pertanyaanku yang tadi."
Marco pun mulai menceritakan tentang semuanya. Awal mula ia bertemu dengan Karina sampai kenapa ia meninggalkan Karina. Marsha hanya bisa menggerakan bibirnya saja. Ia merasa kasihan pada Karina sekaligus kesal saat Marco menjelaskannya. Karina adalah anak sebatang kara, ibu dan ayahnya tewas dalam kecelakaan mobil. Marco bertemu dengan Karina di jalanan. Karena kasihan Marco pun membawa Karina dan memberinya biaya hidup dan Marco bercerita ia sendiri tidak tahu kenapa bisa menjalin hubungan dengan Karina. Awalnya Marco mengira bahwa Marco memang mencintai Karina, tapi lambat laun Marco sadar bahwa ia tidak memiliki perasaan pada Karina, hanya sebatas rasa kasihan saja dengan hidupnya yang tidak memiliki keluarga lagi. Meski pun ia tidak mencintai Karina tapi Marco tetap akan menikahinya, akan tetapi Marco menemui Karina sedang asik bercumbu dengan pria lain dan itu membuat Marco muak jika harus hidup dengan orang yang tidak tahu balas budi.
"Jika aku berada di posisi Karina, pasti aku tidak akan mengkhianati orang yang sudah menopang hidupku," komentar Marsha setelah Marco selesai bercerita. "Berapa kali kau melihatnya bercumbu?"
"Tiga atau empat kali. Yang parahnya adalah yang terakhir, dia bercumbu di lift tanpa rasa malu dan kesabaranku saat itu sudah habis. Parahnya setelah kita menikah, dia masih bercumbu dengan pria lain," jawab Marco, duduk di atas moncong mobilnya.
Marsha membiarkan angin senja menerpanya. Rambutnya yang terurai menari-nari karena tiupan angin pantai. Marsha sangat menikmati momen ini, momen di mana saat ini ia sedang menikmati matahari tenggelam secara live sekaligus mendengar cerita dari manusia di sebelahnya.
"Kau mencintainya," simpul Marsha.
"Tidak. Aku hanya kesal pada orang yang tidak tahu caranya berterima kasih," balas Marco cepat.
"Kau hanya tidak sadar siapa yang kau cintai." Marsha menatap Marco yang sudah memakai kacamata hitam. Untuk apa di jam segini ia memakai kacamata hitam?
"Aku sadar. Ketika kita mencintai seseorang, setiap melihatnya jantung kita akan berdegup dengan kencang. Nyatanya, jantungku tidak seperti itu saat melihat dia."
Marsha termenung. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Kapan terakhir kali jantungnya berdegup kencang saat melihat pria? Rasanya tidak pernah. Oh pernah, itu saat Marsha bertemu dengan Tom Cruise di New York. Marsha benar-benar tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, selama hidupnya Marsha terlalu sibuk mencari harta dan tahta untuk kebahagian keluarganya. Dekat dengan pria pun tidak pernah, hanya Erico yang selalu berada di sampingnya.
"Tapi kurasa Karina sangat mencintaimu. Ia terlihat sangat membenciku karena aku yang menikah dengamu bukan dia," kata Marsha, mengingat cara Karina menatapnya dengan tatapan benci.
"I don't care. Yang harus kaulakukan bantu aku agar dia berhenti mengejarku," ujar Marco datar.
Marsha mengumpat kesal. Hati pria yang berada disampingnya benar-benar hati batu yang mementingkan dirinya sendiri dari pada perasaan orang lain, ya walaupun Marsha sebenarnya juga kesal dengan pengkhianatan Karina. Marsha juga tidak suka orang yang seperti kacang lupa dengan kulitnya persis seperti Karina.
"Kau sepertinya ingin sekali dia enyah dari pandanganmu," ucap Marsha terkekeh.
Marco mengangguk. "Bagaimana denganmu? Apa alasanmu kabur dari pernikahanmu sendiri dan lebih memilih menikah denganku?" tanyanya, ia tersenyum kecil.
"Excuse me, kaubilang apa tadi? Aku lebih memilih menikah denganmu?" Marsha tergelak menghina. Apa pria ini tidak sadar ia telah memaksanya untuk menikah? Dan sekarang Marco bicara seolah-olah menikah dengannya adalah kemauan Marsha.
"Bukannya begitu ya? Kau lebih memilih menikah dengan aktor kaya, muda, dan tampan," jawabnya menyombongkan diri sambil melepaskan kacamatanya.
"Hah. Aku ingatkan lagi, kau menjebakku dengan kertas kosong sialan itu," gerutu Marsha yang mulai kesal.
Marco hanya tertawa menanggapimya. "Jadi ceritakan tentang kenapa kau tidak mau menikah dengannya?"
Marsha kembali mengingat-ingat pertemuan pertamanya dengan Erwan. Marsha pun menceritakannya dengan sejujur-jujurnya tanpa ada kebohongan. Sesekali Marsha melihat Marco menggeram kesal. Jangankan Marco yang kesal, Marsha lebih dari kesal.
"Jadi begitulah," ujar Marsha mengakhiri ceritanya.
"Pantas saja kau menjulukinya brengsek," komentar Marco.