Pria Sialan

Marsha keluar dari hotel dengan wajah lelah. Ini sudah hotel yang kedelapan yang Marsha dan Marco datangi dan lagi-lagi kamar hotelnya penuh. Tidak ada satu pun kamar yang kosong. Dengan langkah lesu, Marsha memasuki mobil dan bersandar pada kursi mobil. Ia sudah benar-benar lelah dan sangat mengantuk. Ini sudah sangat larut malam tapi mereka masih belum menemukan kamar yang kosong.

Ini semua gara-gara Marco. Kalau saja Marco mem-booking kamar hotelnya terlebih dulu sebelum memutuskan bulan madu pasti jadinya tidak akan seperti ini. Hotel menjelang malam tahun baru apa lagi di tempat-tempat wisata alam tentu saja penuh. Kenapa Marco tidak memikirkan hal seperti itu? Umpat Marsha.

“Jadi bagaimana?” tanya Marco yang juga sama terlihat lelahnya dengan Marsha.

Sejujurnya Marsha tahu bahwa Marco yang lebih lelah karena ia yang mengemudi sejak awal.

Marsha menghembuskan napasnya panjang lalu menatap Marco. “Apa yang bagaimana? Kauingin tidur di mobil?”

Marco menggidikan bahunya.

Jika tenaga Marsha masih terisi penuh, sudah pasti Marsha akan berteriak memaki Marco. Dengan santainya Marco hanya merespon tidak peduli. Kalau tahu begini, Marsha lebih memilih bersantai di rumahnya saja dari pada harus liburan menderita seperti ini.

Marsha menatap lurus ke depan, ia melihat ada tulisan ‘Wisma Melati’ yang menyala remang-remang. Ia ingin menyarankan Marco untuk ke sana, tapi Marsha ragu jika Marco ingin, secara Marco adalah tipe lelaki berkelas atas yang tentunya dia lebih suka tidur si hotel berbintang dari pada di wisma yang ukuran kamarnya hanya 3×3 meter saja.

“Di situ,” Marsha menunjuk lurus pada Wisma tersebut yang lampunya kedap-kedip seperti rumah hantu. “Ada Wisma,” lanjut Marsha setengah ragu.

Tanpa berpikir panjang, Marco langsung menghidupkan mesin mobilnya lalu melaju pelan ke arah Wisma Melati. Sesampainya, Marsha turun terlebih dahulu dan masuk ke lobby sedangkan Marco memakirkan mobilnya.

Terdapat resepsionis wanita yang sedang berdiri di meja. Dia tersenyum ramah saat Marsha terus berjalan mendekatinya. Kali ini Marsha berharap ada kamar kosong, kalau tidak entah penginapan mana lagi yang harus Marsha dan Marco cari atau mereka akan sangat amat terpaksa bermalam di dalam mobil.

“Ada yang bisa saya bantu Nona?” tanyanya dengan ramah.

“Dua kamar,” ucap Marsha tanpa basa-basi. Marsha sudah sangat lelah dan ingin cepat-cepat menghempaskan tubuhnya ke ranjang.

“Tunggu sebentar,” balasnya. Wanita itu beralih pada komputer yang berada di meja panjangnya, mengecek kamar kosong. “Hanya tinggal satu kamar, Nona.”

Marco tiba-tiba saja sudah berada di samping Marsha, memperhatikan Marsha dan resepsionis itu bergantian. Tatapannya penuh harap dan bertanya apakah masih ada kamar kosong yang tersisa atau tidak.

“A-a-anda Ma-marco Reynand?” tanya resepsionis itu terbata-bata. Dia menatap Marco dengan tatapan memuja. Lihat saja, mata wanita itu bersinar-sinar saat menyadari kehadiran Marco dan juga menjadi salah tingkah.

Marco hanya membalasnya dengan anggukan dan seulas senyuman tipis.

“Be-berarti Nona ini istri Anda?” tanyanya lagi.

Lagi, Marco mengangguk dan masih tersenyum tipis.

Marsha terus saja menatap resepsionis itu tajam. Ia mulai kesal karena resepsionis di depannya sudah mulai tidak profesional sebagai mana semestinya. Tidak kah resepsionis itu lihat bahwa dirinya sudah sangat lelah?

Seakan menyadari tatapan Marsha, resepsionis tersebut berdeham dan secepat mungkin mengembalikan ekspresinya seperti sebelumnya. “Maafkan saya. Saya salah satu fans dari suami Anda,” ujarnya pelan sambil melirik Marco beberapa detik.

Marsha memaksakan senyumnya. “Tidak apa, aku sudah biasa,” dustanya. “Jadi… Hanya satu kamar yang tersisa?”

Dia mengangguk kemudian menatap Marsha dan Marco bergantian. “Maaf jika saya lancang. Bukankah kalian suami istri? Lalu...untuk apa memesan dua kamar?”

Marsha seketika menegang, tidak tahu harus menjawab apa. Dia merasa sedikit bodoh dan lupa bahwa Marco adalah publik figur yang tersohor. Berita tentang dirinya dan Marco pasti akan cepat bertebaran jika mereka sebagai pengantin baru tidur di kamar yang terpisah.

“Sepertinya istri saya lupa bahwa kita sudah menikah, karena biasanya sebelum kami menikah, kami suka berlibur dan Marsha selalu memesan dua kamar. Itu kebiasaannya. Jadi, tolong berikan kunci kamarnya. Kami sudah lelah,” ujar Marco menutupi ketegangan Marsha.

Resepsionis tersebut segera memberikan kunci kamarnya dan menjelaskan letak kamarnya yang berada di lantai dua paling ujung di sisi kanan.

"Selamat menikmati bulan madu Anda," ujar wanita itu pada Marco.

Marco mengangguk dan tersenyum.

Marsha dengan lesu mengekori Marco dari belakang. Ia sangat mengantuk dan sudah menguap beberapa kali.

Marco membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Marsha masuk terlebih dulu. Marsha begitu masuk langsung mengganti pakaian dan setelah itu menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke ranjang. Perjalanannya hari ini sehari penuh di dalam mobil benar-benar membuat punggung Marsha remuk. Marsha menarik selimutnya sampai menutupi wajahnya. Ketika Marsha setengah terlelap, ia merasakan ada yang bergerak di sisi ranjangnya. Sontak Marsha membuka matanya dan membuang selimutnya dari wajahnya. Marsha begitu terkejut saat Marco berbaring di sebelahnya.

Marsha bangkit dari tidurnya. “Kenapa kau tidur di sini?” tanya Marsha ketus. Sekamar dengan Marco saja sudah membuat hati Marsha cemas, apalagi tidur seranjang. Marsha cukup mengerti pria. Pria normal walaupun hanya tidur seranjang dengan seorang wanita, sudah bisa terangsang dan Marsha tidak ingin Marco terangsang.

Marco ikut beranjak dari tidurnya dan duduk. “Jika ada sofa aku akan tidur di sofa. Tapi nyatanya tidak ada. Kamar ini terlalu kecil.”

Mata Marsha menyapu setiap sudut ruangan yang memang kecil. Tidur di lantai pun rasanya tidak memungkinkan, karena jarak ranjang dengan dinding saja sudah bisa diukur dengan penggaris 100 cm di tambah lagi ukuran ranjangnya bukanlah ukuran King Size. Itu pertanda buruk, batin Marsha menjerit tidak enak.

“Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan,” tuduh Marsha.

“Aku tidak akan menyetubuhimu. Jadi jangan terlalu percaya diri,” ujar Marco dingin. Dia menatap tubuh Marsha yang dibaluti gaun tidur berbahan satin. “Terkecuali…kau yang memintanya. Akan kulakukan dengan senang hati.”

Marsha terbelalak. Kata-kata yang keluar dari mulut Marco membuatnya ingin menyumpalkan cabai sebanyak-banyaknya ke dalam mulut pria yang sedang bersamanya. Marsha akui Marco tampan tapi bukan berarti ketampanannya membuat Marsha menginginkan Marco di dalam dirinya. Tidak akan Marsha biarkan nafsu atau gairah menguasainya.

“Bunuh saja aku jika aku memintamu untuk bercinta denganku,” ujar Marsha dengan lantang.

"Aku tidak bercinta dengan wanita sembarangan,” kata Marco, menatap Marsha acuh.

Wanita sembarangan? Dua kata itu sangatlah menyinggung Marsha. Ia merasa menjadi wanita murahan jika Marco mengatakan wanita sembarangan. Marsha berusaha mengatur dirinya agar tidak terbawa dengan emosinya. Mengeluarkan emosi akan sangat membuang tenaganya.

Marsha pun memilih tutup mulut. Ia mengambil bantal guling lalu diletakkannya di tengah ranjang sebagai pembatas antara dirinya dan Marco. Marsha berharap bahwa malam ini tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya.

“Apa ini pertama kalinya kau tidur seranjang dengan seorang pria?” tanya Marco saat punggung Marsha baru saja menyentuh ranjang.

Keringat dingin mulai merasuki tubuh Marsha. Dia merasa begitu gugup ketika mendengar pertanyaan Marco. Marsha pun segera memiringkan posisi tidurnya membelakangi Marco agar Marco tidak dapat merasakan kegugupan Marsha yang aneh.

“Itu privasiku, dan juga bukan urusanmu,” jawab Marsha datar.

Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Keheningan yang merajai mereka perlahan membawa Marsha ke alam berbeda.

*****

Marco menatap langit kamar yang terdapat sarang laba-laba di setiap sudutnya. Jujur saja ia merasa jijik sekali harus tidur di tempat seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, menjelang tahun baru tidak ada kamar yang kosong. Hanya ini satu-satunya yang tersisa. Besok pagi-pagi sekali ia bersumpah akan menyeret Marsha keluar dari tempat ini dan mencari penginapan yang sangat layak.

Marco heran dengan wanita yang baru ia kenal, Marsha. Marsha seolah tidak jijik dengan tempat yang sempit dan kumuh ini, padahal jika dilihat dari penampilan Marsha, Marco menduga Marsha sama denga wanita lainnya yang memuja kemewahan di atas segalanya tapi sepertinya Marsha tidak seperti apa yang Marco bayangkan. Atau Marsha hanya sedang berpura-pura? Bukankah wanita adalah ratu sandiwara terhebat di dunia? Marco tidak boleh tertipu. Dia sudah hafal dengan semua sikap para wanita. Marco hafal wanita itu seperti apa. Mereka para wanita serakah, sok kuasa, ratu drama, dan munafik.

Tiba-tiba saja Marco teringat akan kedatang Erico ke rumahnya. Adiknya yang sialan itu mengatakan bahwa dia bersahabat dengan Marsha. Pikiran buruk pun bermunculan. Apa ini cara Erico balas dendam terhadapnya? Tapi rasanya tidak mungkin. Walaupun Marco sangat membenci Erico, tapi dia sangatlah tahu sifat Erico. Erico tidak akan pernah punya niat balas dendam karena sebenarnya Marco tahu Erico adalah orang baik, dia hanyalah korban dari kekejaman nafsu ayahnya.

Paginya pada pukul 5, saat Marco membuka mata ia tidak menemukan Marsha di sampingnya. Dia hanya mendengar suara shower di dalam kamar mandi. Tidak lama kemudian Marsha keluar dengan handuk yang melilit dadanya sampai ke bawah pantatnya. Sebagai pria normal tentu Marco sudah terangsang dengan hanya melihat Marsha seperti itu. Hanya pria bodoh yang tidak terangsang melihat Marsha yang hanya memakai handuk mini saja.

Marco memejamkan matanya, pura-pura masih terlelap. Dapat ia rasakan Marsha bergerak ke sisi ranjangnya, dan selang waktu beberapa detik ia mendengar suara resleting dibuka. Marco tebak, Marsha pasti sedang mengambil pakaian di dalam koper kecil.

Tidak tahan membayangkan Marsha yang sedang memakai baju di sampingnya. Marco membuka matanya dan entah ini sebuah keberuntungan atau tidak, Marsha sedang menghadap tembok membelakanginya, meletakan koper di lantai. Marco pun mengalihkan pandangannya ke ranjang bekas Marsha tidur. Terdapat pakaian dalam Marsha dan dress berwarna merah maroon yang mungkin akan Marsha pakai. Ide untuk mengerjainya terlintas begitu saja, diambilnya bra Marsha yang tergeletak di ranjang lalu diumpati di bawah bantal Marco. Sebelum Marsha berbalik badan, Marco sudah berhasil kembali pura-pura terlelap.

Diam-diam Marco menyipitkan matanya, ia tidak peduli jika Marsha sedang bertelanjang. Itu bukan mutlak kesalahannya tapi kesalahan Marsha. Lagi pula Marco hanya ingin mengecek apakah Marsha sedang mencari bra-nya yang hilang. Ternyata benar saja, terlihat Marsha sedang sibuk mengobarik-abrik sisi ranjangnya mencari sesuatu dan tanpa sengaja Marco menatap belahan dada Marsha, membuat Marco harus menelan ludahnya dalam-dalam. Tubuh Marsha tidak bisa dipungkiri bahwa tubuhnya itu benar-benar indah. Ingin sekali tangan Marco manarik handuk itu agar bisa melihat tubuh telanjang Marsha.

Shit Marco, tahan dirimu, umpat Marco.

Marco terus mengendalikan dirinya agar tidak menjadi pria brengsek walaupun dapat diakui dengan mengintip saja sudah termasuk kategori brengsek. Bisa dibayangkan akan semarah apa Marsha nanti jika tahu bahwa dirinya sedang memandangi tubuh Marsha.

“Mencari ini?” Marco pun menghentikan aktingnya yang berpura-pura terlelap. Ia sekarang masih berbaring tapi tangan kanannya melayang di udara memegang bra berenda hitam milik Marsha.

“Astaga!” Pekik Marsha. Marsha secepat kilat merangkak di ranjang, mengambil bra yang berada di tangan Marco. Betapa Marco berharap handuk yang sedang melilit tubuh Marsha terlepas dengan sendirinya.

Seharusnya Marsha berhasil mengambil bra-nya saat Marsha berada di atas tubuh Marco. Akan tetapi tidak tahu bagaimana caranya, Marco sudah berada di atas tubuh Marsha. Tangannya menjadi tumpuan berat badannya agar tidak terlalu menindih Marsha. Bisa dirasakan deru nafas di antara mereka saling beradu, padahal mereka belum melakukan apa pun.

Marco tersenyum tipis beberapa inci dari bibir Marsha. Ingin sekali menyesapi bibir yang jaraknya begitu dekat dengan bibirnya.

“Ma-ma-marco,” ucap Marsha terbata-bata. Suaranya begitu terdengar halus di telinga Marco.

Marco sangat bisa merasakan hembusan nafas Marsha menerpa wajahnya, ia juga bisa merasakan detak jantung Marsha yang begitu cepat.

Marco menggenggam kedua tangan Marsha di antara sisi kepalanya. Kepala Marco bergerak menyelinap ke lekuk leher Marsha. Tercium aroma Lavender yang menggiurkan untuk dihirupnya sampai habis. Wanita ini meningkatkan libidonya. Kepala Marco bergerak ke bawah dan berhenti tepat di belahan dada Marsha. Hanya tinggal melepaskan handuk milik Marsha, maka Marco bisa melihat seindah apa payudara Marsha di balik handuk sialan itu.

Tangan Marco bergerak ke bawah dan berhenti tepat di depan belahan dada, ingin membebaskan tubuh Marsha dari handuk tersebut. Namun seakan sadar dengan nafsunya yang hampir tidak terkendalikan, Marco mengabaikan belahan dada Marsha. Ia bergerak ke atas, kembali merasakan deru nafas Marsha dan tatapannya yang membunuh. Seulas senyum tipis pun menghiasi bibir Marco yang begitu dekat dengan bibir Marsha.

“Sekali lagi kau memakai handuk sialan ini di dekatku. Akan kupastikan kau tidak akan selamat dariku,” bisik Marco di sudut bibir Marsha. Kemudian Marco segera bangkit dari ranjang dan berdiri menatap Marsha yang masih syok karena perbuatannya.

“Ini bra-mu,” lanjut Marco menyunggingkan senyum jahilnya, lalu ia melempar bra itu pada Marsha, kemudian Marco melangkah masuk ke dalam kamar mandi cepat-cepat sebelum Marsha menyadari perbuatannya yang cukup kurang ajar dan sebelum Marsha menghabisinya.

“Brengsek,” desis Marsha pelan ketika Marco menutup pintu kamar mandinya.

“Aku mendengar itu, lady,” ujar Marco dari dalam kamar mandi.