Menikah Secara Sah?

Marsha masih terdiam mengingat kejadian beberapa detik yang lalu. Tubuhnya dan mulutnya membeku bagaikan es, sangat sulit sekali untuk digerakkan. Marsha ingin sekali mendorong Marco menjauh dari atas tubuhnya tapi seperti yang dijelaskan tadi, ia sama sekali tidak dapat bergerak. Bahkan 30 detik setelah Marco masuk ke dalam kamar mandi, tubuhnya masih sulit untuk digerakkan. Marsha merasa dirinya sangat syok. Kejadian tadi merupakan pertama kalinya bagi Marsha, meskipun tidak saling menyentuh, hal tersebut sudah merupakan hal yang terintim yang Marsha rasakan.

Beberapa menit kemudian Marsha berusaha bangkit dari tidurnya. Otak dan tubuhnya sudah kembali bekerja normal. Ia merutuki dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa. Marco pasti berpikir bahwa dirinya adalah wanita murahan, pikir Marsha. Marsha pun segera memakai dressnya sebelum Marco melakukan hal di luar pikiran Marsha.

Suara decitan pintu kamar mandi dibuka. Marsha menelan ludahnya dan ia merasa sarafnya menegang. Ia tidak ingin menoleh ke belakang untuk menatap Marco. Ia masih merasa malu dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Marsha pun berpura-pura sibuk merapikan isi koper kecilnya.

"Apa yang kaulakukan?"

Suara Marco menambah ketegangan Marsha. Tidak bisa kah ia menghindar dari Marco beberapa saat? Harap Marsha.

"Kau buta?" balas Marsha tanpa menoleh ke arahnya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Marsha segera membukanya. Hidung Marsha sangat gesit menangkap aroma makanan. Perutnya sudah mulai lapar.

Seorang pelayan cantik dan umurnya yang terlihat lebih muda dari Marsha tersenyum manis sembari membawa nampan berisi dua porsi roti panggang.

"Permisi, saya ingin mengantarkan sa-"

Kalimat pelayan itu terhenti ketika mata pelayan itu beralih dari Marsha. Penasaran apa yang sedang dilihatnya, Marsha menatap ke arah pelayan itu menatap dan mata Marsha menangkap tubuh atletis Marco yang pinggangnya dilingkari oleh handuk. Marco sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Mengetahui apa yang diperhatikan sang pelayan, Marsha berdeham.

"Oh maafkan saya Nyonya. Saya tidak bermak-"

"Tak apa," potong Marsha sambil tersenyum kecut. Perutnya sudah sangat lapar. "Bisa kah kau berikan makanan itu? Aku cukup lapar," lanjut Marsha berusaha terdengar selembut mungkin.

Harus Marsha akui bentuk tubuh Marco memang diidam-idamkan setiap wanita jadi wajar saja jika pelayan itu tersanjung ketika melihat tubuh Marco. Tapi yang Marsha sesalkan adalah ketidak profesionalan sang pelayan.

Kaki sang pelayan hendak masuk ke dalam kamar tapi Marsha tahan dengan langsung mengambil alih nampan tersebut. "Terima kasih," ujar Marsha lalu menutup pintunya. Marsha tersenyum lebar membayangkan kekecewaan sang pelayan yang tidak bisa mencuri pandang terhadap Marco. Terdengar jahat memang, tapi itu demi kebaikannya sekaligus hiburan Marsha di pagi hari.

"Apa semua pelayan kelas hotel melati selalu seperti itu? Menjatuhkan harga dirinya di depanku," tanya Marco masih mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil di ambang pintu kamar mandi.

Marsha mendaratkan pantatnya ke ranjang dan meletakkan nampan di atas pahanya.

"Tidak. Mereka seperti itu karena melihat artis papan atas," jawab Marsha. Matanya fokus menatap roti panggang.

"Sepertinya kau sangat tahu mengenai hotel berkelas melati ini. Kau sering menginap di hotel melati?"

Marsha mengangguk.

"Apa setiap pasanganmu tidak memiliki uang sehingga membawamu ke hotel rendahan?"

Pertanyaan Marco sontak membuat Marsha mendidih. Seleranya hilang sudah mengenai sarapan. Apa yang Marco ucapkan sangat lah menyakiti hatinya. Ia menatap Marco dengan kesal. "Maaf? Seharusnya kau jaga ucapanmu itu tuan Marco Raynand. Apa kau pikir aku ini wanita murahan? Menginap di hotel murahan seperti ini bukan berarti aku pekerja seks atau pun menjual diriku. Itu karena aku menghemat biaya. Dan perlu kautahu, jika pun ada pria yang membayarku dengan seisi dunia tuk keperawananku, tidak akan kuberikan. Karena aku bukan lah wanita murahan."

Marsha langsung meninggalkan kamar. Ia membanting pintunya dengan kencang. Apa yang diucapkan Marco sangat lah tidak pantas. Terlebih mereka berdua baru saling mengenal beberapa hari. Marsha tak menyangka ada pria yang mengira dirinya adalah wanita murahan. Padahal tidak pernah ada pria yang berhasil menyentuhnya bahkan berciuman pun tidak pernah.

"Berengsek," maki Marsha menuruni anak tangga lobby yang terakhir.

Marsha pergi ke mini market di depan wisma. Ia memesan pop mie dan makan di teras mini market yang menyediakan tempat bersantai tuk sekedar makan dan minum. Darahnya masih terasa panas. Pertanyaan Marco yang mendedikasikan dirinya wanita murahan masih terngiang-ngiang di telinga Marsha.

Dua pop mie berhasil ia habiskan. Perasaan lapar dan kesal menjadi satu. Kedua perasaan itu membuat Marsha ingin makan banyak tapi makan mie berlebihan tidak lah baik untuk kesehatan. Akhirnya Marsha diam menatap mangkuk mie tersebut sambil membayangkan makanan lezat yang lain. Pagi-pagi seperti ini sangat jarang ada restauran atau tempat makan yang buka.

"Apologize me?" suara itu dibarengi dengan bunga berwarna ungu bercampur putih yang muncul di depan wajah Marsha.

Marsha menatap pria dari sela-sela bunga itu. Terlihat Marco memakai kaos polo putih dan topi cokelat lengkap dengan kaca mata hitamnya.

"Aku tahu ucapanku itu keterlaluan." Marco sedikit mendekatkan bunga itu ke wajah Marsha. Seperti memaksanya harus mengambil bunga tersebut dan memaafkannya.

Marsha hanya diam. Ia memalingkan wajahnya, masih sangat kesal dengan Marco. Bunga cantik itu tak akan mempan meluluhkan hatinya.

"Come on Marsha," paksanya yang terdengar pasrah. "Kuakui aku tipe pria yang sulit menjaga lisanku, seringkali menyakiti banyak orang bahkan tak sedikit sutrada yang membenciku karena pedasnya ucapanku ini."

Marsha masih bungkam.

"Bahkan dulu pernah ada wanita yang bunuh diri karena perkataanku yang sangat menyakitkan. I'm sorry 'bout what i said," lanjut Marco wajahnya tampak sangat bersalah.

Marsha menoleh pada Marco, cukup terkejut dengan pengakuan pria itu. "Jika ada kejadian seperti itu harusnya kau mencoba tuk berubah," komentarnya.

"I've tried. Tapi itu seperti sudah menjadi karakterku yang sulit diubah."

"Bisa kah kau berhenti berbicara bahasa inggris? Ini di Indonesia. Budayakan cinta Indonesia. Aku tahu mukamu muka dominan UK-Italie tapi sekarang kau di Indonesia," omel Marsha.

"Jadi... apakah permintaan maafku diterima? Tanganku sudah lelah memegang bunga ini."

"Tidak semudah itu. Kau harus berikan aku sarapan lezat dan setelah itu aku akan memaafkanmu," ujar Marsha, mengambil bunga tersebut lalu menghirup aroma bunga yang harum.

Marco menatap kedua mangkuk pop mie yang sudah habis lalu berlalih pada Marsha. "Dua pop mie belum cukup untuk wanita sepertimu? Aku kira kau salah satu wanita yang menjaga porsi makananmu."

"Moodyku membuat aku harus banyak makan," kata Marsha, menggidikan bahunya.

Mulut Marco membulat membentuk huruf O kemudian ia beranjak dari duduknya dan menarik tangan Marsha. "Di dekat sini ada tempat makan yang cukup lezat untuk sarapan, kita harus cepat atau tidak kita tidak akan kebagian apapun. Karena menu sarapan di sana cepat habis."

"Hmmm... keramaian," tutur Marsha melihat antrian yang cukup panjang saat sampai di tempat yang Marco maksud. "Aku tidak suka keramaian, terlebih lagi ketika bersama seorang publik figur. Paparazi dari tadi mengambil foto kita."

Marsha melihat ke arah sebrang yang jaraknya kurang lebih 300 meter. Ada tempat makan sederhana. Akhirnya Marsha meminta Marco tuk makan di tempat itu. Awalnya Marco menolak tapi Marsha mengancamnya.

"Ibu, nasi pecel 2 ya!" Marsha menunjukkan kedua jari yang membentuk huruf V kepada seorang wanita paru baya yang memiliki warung makan sederhana itu.

Pemilik warung tersebut tersenyum lebar, rautnya terlihat sangat senang ada pelanggan yang membeli makanannya. Karena warung ini terlihat sepi makanya Marsha lebih memilih makan di tempat ini.

"Kutebak, orang sepertimu belum pernah makan nasi pecel, bukan kah begitu?" sindir Marsha.

"Nama makanannya saja aku baru dengar hari ini." Marco menggidikan bahunya.

"Tidak selalu makanan kelas atas terasa enak. Makanan merakyat terkadang lebih nikmat. Bahkan makanan yang tak lezat terasa lebih enak saat makan bersama rakyat."

"Sekarang kau lebih terdengar seperti putri presiden," komentar Marco.

Marsha mendengus.

"Oh ya asal kautahu, aku tidak suka bunga. Tadi itu karena ada paparazi yang sibuk mengambil gambar kita makanya aku ambil bunga itu,"

"Biasanya wanita sangat menyukai bunga."

"Tidak denganku. Dia terlalu cantik untuk dipetik lalu lambat laun mati. Bunga akan lebih cantik jika tetap berada di kebunnya." ujarnya. Marsha memandangi sekelilingnya yang mulai ramai, kerumunan orang beserta flash camera yang mulai mendekat ke arahnya dan juga Marco. "aku benci ini," keluh Marsha.

"Kau harus terbiasa," balas Marco sembari menggenggam tangan Marsha. Wajah Marsha terlihat panik dan pucat ketika para wartawan mendekat.

"Bagaimana Anda saling mengenal satu sama lain?"

"Apakah benar bahwa Karina Ollen bukan wanita yang ingin Anda nikahi?"

"Sudah berapa lama kalian saling mengenal dan akhirnya memutuskan untuk menikah?"

"Bagaimana dengan Karina Ollen?"

.

.

.

Dan pertanyaan yang bertubi-tubi membuat Marsha kesal. Marsha tidak suka keramaian ditambah lagi dengan wartawan. Sementara itu Marco menjawabnya dengan sabar dan penuh senyuman. Membicarakan dramanya yang penuh kebohongan.

Setelah puas dengan jawaban Marco, para wartawan pergi dan tempat kembali sepi. Hanya ada Marco, Marsha dan pemilik rumah makan. Marsha menghela lega. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi.

"Mengapa kau terlihat panik sekali saat wartawan tadi datang? Bukan kah kau seorang publik figur juga?" tanya Marco penasaran.

"Aku takut jika mereka tahu kalau kita nikah kontrak dan mereka tahu kalau aku harusnya menikahi si brengsek itu. Reputasiku bisa hancur bila itu terjadi," Marsha kemudian menyeruput teh hangatnya.

Marco yang mendengar kata 'berengsek' dari mulut manis Marsha sontak tersenyum kecil dan juga sedikit heran. Apakah Marsha begitu membenci Erwan? "Orang yang kau katakan brengsek itu tidak akan membiarkannya terjadi. Dia juga pasti memikirkan reputasinya. Aku pun begitu. Reputasi kita akan sangat hancur jika itu terjadi. Jadi kau tenang saja. Hal seperti itu tak akan terjadi."

"Sepintar apapun kita menyembunyikan sesuatu pasti akan tercium juga, Marco. Pernikahan kontrak ini pasti akan terbongkar," jelas Marsha. Saat ini ia merasa melakukan kesalahan terbesar. Harusnya Marsha hadapi saja Erwan tapi ia malah kabur dan masuk ke dalam masalah yang lebih besar.

"Kalau begitu, mari kita benar-benar menikah secara sah dalam agama," ujar Marco tanpa ada sedikit keraguan pun.

Marsha tercengang. Apa ia tidak salah dengar?

"Kau gila? We're just stranger, Marco." jawab Marsha masih tak percaya dengan ucapan Marco.