Dia Tahu

Satu minggu setelah bulan madu…

Marsha duduk di sudut restauran pribadi milik Erico. Matanya menatap kesal ke arah luar jendela. Para wartawan ramai di depan restauran menunggu Marsha keluar. Ia merasa tidak nyaman dengan hidupnya yang sekarang, diburu oleh banyak wartawan dan tentu saja beritanya dengan Marco menjadi trending membuat Marsha semakin tidak nyaman. Dimana-mana orang sibuk membicarakannya, terutama membicarakan Marco si publik figur. Mengira akan keluar dari masalah ternyata ia malah menambah masalah dengan menikahi Marco. Mungkin jika Marco bukanlah aktor tidak akan serumit ini, pikirnya. Belum lagi jika media tahu kalau dirinya dengan Marco hanya menikah di atas kertas, pasti akan sangat ramai dan banyak yang akan mencacinya.

Kesulitan pasti terlalu bersahabat dengan hidupku.

"Sha, Sha... Sha!"

Marsha tersentak mendengar seruan Erico yang mungkin saja sedari tadi telah memanggil namanya. Pikirannya terfokus dengan semua masalah yang ada.

"Apa?"

"Kau yakin baik-baik saja?" selidik Erico.

"Iya. Cuma sedikit risih wartawan dimana-mana."

"Bukan kah kau sudah tau resikonya jika menikahi seorang aktor?"

"Tidak kepikiran sampai situ," jawab Marsha tak bersemangat.

"Kautahu tidak, Erwan hampir membunuhku saat kau kabur dari pernikahannya. Dia mengira aku menculikmu dan bersekongkol denganmu. Dia benar-benar marah. Ayahmu yang galak juga hampir membunuhku. Kau tidak merasa bersalah padaku?"

Marsha terkekeh, "tidak sama sekali. Kau itu lebih kejam."

Erico memberi sentilan pada jidat Marsha. "Hee jaga bicara pada adik iparmu ini. Omong-omong kapan dan bagaimana kau bisa mengenal Marco? aku masih tidak percaya kau menikah dengan kakakku."

Batin Marsha menolak menjawab. "Percuma kujelaskan padamu. Kau tak mungkin percaya. Toh dulu aku sudah cerita tapi kau menganggapnya hanya candaan. Yang jelas sekarang aku ini istrinya Marco. Titik. Aku lelah dengan pertanyaan itu, seriously."

"Wajar aku bertanya. Aku ini sahabatmu sekaligus adik iparmu," balas Erico serius. "apa kau tahu Marco itu bagaimana dan siapa? well, aku harap kau mengenalnya betul. Jangan sampai kau menyesal dengan keputusanmu itu."

"Aku tahu dia siapa. Kau ini seperti tidak kenal aku saja. Aku tidak mungkin menikah dengan sembarang orang kan. Kau pun tahu impian pernikahanku itu ya menikah dengan pria yang kucintai and i love him," dustanya.

"Yasudah jika seperti itu. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu dan cepat beri aku keponakan ya." Erico tersenyum lebar.

"Mau berapa?" Marsha ikut tersenyum, meladeni candaan Erico.

"Ehm."

Suara dehaman itu refleks menghentikan obrolan Marsha dan Erico. Marsha menoleh ke arah sumber suara itu, yang sedang berdiri di samping mejanya. Ia terkejut mengetahui siapa dia. Erwan.

"Bisa kita bicara?" tanya Erwan tegas. Sorot matanya tajam menatap Marsha.

"Wow, sepertinya akan terjadi perang," ceplos Erico. "sebaiknya aku pergi. Kalian jika bicara jangan sampai menghancurkan restauran baruku ini ya"

Sebagai sahabat harusnya Erico menemaninya bukan pergi meninggalkannya dengan pria jahanam, gumam Marsha pada dirinya sendiri.

"Silakan bicara saja. Saya mendengarkan," ucap Marsha acuh.

Lagi-lagi Marsha dibuat terkejut, dengan tiba-tiba Erwan mencengkram pergelangan tangannya dan menyeretnya ke VIP room.

"Kau jangan macam-macam ya!" bentak Marsha. Ia sedikit merasa ketakutan dengan ekspresi Erwan yang serius.

Erwan melepaskan cengkramannya, mengunci ruangannya. Perlahan ia menghapus jarak antaranya dan Marsha. Marsha yang merasa tidak nyaman terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding. Sementara itu, Erwan mengunci Marsha dengan kedua tangannya pada dinding di sisi kepala Marsha. Jarak mereka begitu dekat sampai bisa merasakan deru nafasnya masing-masing.

"Kau pikir aku bodoh?" senyuman simpul muncul pada bibir tipis Erwan. Jika Marsha bergerak sedikit saja mungkin bibirnya akan menempel di bibir Erwan.

Kedua tangan Marsha mendorong dada Erwan agar menjauh tapi Erwan sama sekali tak bergerak, masih bertahan dengan posisinya.

"Bella bicara aku menghamilinya dan memukulinya, ya kan?" lanjut Erwan menahan amarah.

Sesaat sebelum menjawab pertanyaannya, Marsha menelan salivanya. Firasatnya buruk mengenai hal ini. "Aku tak mengerti. Bella siapa yang kau maksud? Sahabatku? Kau mengenalnya?" tanya Marsha berpura-pura.

"Jangan berlagak bodoh. Kautahu sekarang ini aku menikah dengan perempuan laknat itu."

Rahang Erwan mengeras. Marsha semakin bergidik ngeri.

"Hah. To the point saja. Apa maumu? Toh kau menikah dengan Bella atau tidak, itu bukan urusanku. Pernikahan kita pun tak akan terjadi karena pria yang ingin kunikahi sejak dulu adalah Marco. Jadi berhenti menggangguku, ok?"

"Cih. Kaupikir aku tak tahu tentang pernikahan kontrakmu? Aku penasaran jika keluargamu tahu akan hal ini." bibirnya tersenyum mencemooh.

Marsha melotot tak percaya. Erwan mengetahui rahasianya secepat itu. Ini tidak akan berjalan dengan baik.

"Kenapa diam?" lagi, Erwan tersenyum.

"Apa maumu Tuan Erwan Hardan? Berhenti mengganggu hidupku. Kita sudah punya jalan hidup masing-masing. Urus saja Bella. She loves you," tutur Marsha, berusaha tenang.

"Kau sahabat Bella tapi kau tidak mengenalnya dengan baik ya? Perempuan laknat itu menjebakku. Asal kautahu, dia hamil dengan pria lain dan dia yang melukai dirinya sendiri. Dia hanya mau hartaku. Aku sama sekali tidak pernah menyentuhnya."

Haruskah Marsha mempercayainya? tentu saja tidak. Marsha lebih dulu mengenal Bella dibandingkan Erwan, jadi ia tahu betul bagaimana sifat Bella yang sebenarnya. Yang harusnya disebut laknat adalah pria yang sedang berada di depannya, pikir Marsha.

"Simpan saja kebohonganmu itu." Marsha sekali lagi berusaha mendorong Erwan, ia ingin pergi dari hadapan pria brengsek.

Erwan mencengkram pergelagan tangan Marsha, menahan Marsha agar tidak pergi. "Kau memang keras kepala dan terlalu polos. Itu sebabnya aku sangat menyukaimu."

"Sudah selesai bicaranya? biarkan aku pergi, tolong," pasrah Marsha.

"Dengan satu syarat. Setiap aku ingin menemuimu, kau harus mau. Jika tidak, aku akan bongkar pernikahanmu kepada keluargamu dan mungkin juga... media?" ancam Erwan dengan raut wajah yang menunjukkan kemenangan.

Marsha mendesah kesal. "You are a real jerk, Erwan."

"It's because of you," balas Erwan.

***

Marsha tak berselera menyentuh makanannya. Ia daritadi hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya. Pikirannya terusik karena Erwan.

"Marsha, apa kau keberatan jika kita datang ke acara reality show? membahas hubungan kita."

Tangan Marsha berhenti memegang garpu. Ia menatap Marco yang duduk di hadapannya.

"Aku tidak ingin dan aku tidak suka," tolak Marsha tak bersemangat. Jika Marsha mengiyakan, maka semakin banyak yang mengetahui tentang dirinya dan semakin banyak pula orang-orang mencari kesalahannya. Terlebih jika tahu tentang pernikahan kontrak.

"Seberapa benci kau dengan dunia entertaiment?"

Marsha menggidikan bahu.

"Apa yang membuatmu bertahan menjadi aktor? Kehidupan pribadimu selalu di ekspos, banyak stalker, apa kau tidak risih dengan hal itu?" tanya Marsha penasaran.

"Sebenarnya bukan keinginanku menjadi aktor. Aku hanya terjebak dalam situasi dan disinilah aku. Dulu aku koki setelah itu takdir berkata lain. Tapi setelah kontrak filmku habis, aku akan pensiun dan pindah ke Nevada," jawab Marco santai sembari menyantap hidangan terakhirnya.

Tidak heran Marco jago masak dan tidak heran Marco sangat rewel jika menyangkut soal makanan. Ternyata dia adalah seorang koki.

"Kenapa pensiun?"

"Aku ingin hidup tenang, itu saja."

"Tapi-"

Drrrt... drrrttt

Getaran ponsel Marsha membuat tak melanjutkan obrolannya. Ia mengambil ponsel dan menatap layar ponselnya itu. Ayahnya menelpon. Detik itu juga tangan Marsha bergemetar. Bulu-bulu halus seketika merinding.

Apakah Erwan memberitahu mereka?

Marsha menghela panjang. Mempersiapkan diri untuk menerima makian dari keluarga bahkan Marsha sudah siap jika mereka memutus hubungan darah. Ini adalah masalah besar.

"Kau bisa mengirim uang 200 juta? Ayah harus membayar hutang," ujar ayahnya.

Marsha menganga. Beginikah keluarga? Ayahnya selalu saja menganggap Marsha sebagai bank berjalan, bukan menganggap anaknya. Bukannya menanyakan kabar atau apa tapi setelah sekian lama menelpon hanya untuk meminta uang.

"Aku tak punya uang sebanyak itu. Di ATM hanya ada 8 juta," jawab Marsha pelan, sesekali melirik ke arah Marco yang dari tadi menatapnya.

"Minta suamimu. Bukan kah dia kaya? jika kau menikah dengan Erwan, ayah tak akan mungkin dikejar hutang seperti ini! tut.."

telponnya dimatikan.

Marsha menatap layar ponselnya shock. Ia ingin tertawa dan di sisi lain ia juga ingin menangis.

"Bahkan jika ku jual organ tubuhku untuk memenuhi semua kebutuhan mereka, mereka tidak akan peduli." Marsha bicara pada dirinya sendiri. Ia menahan air matanya, berusaha kuat.

"Hidup terkadang berat ya?" Marco mengusap puncak kepala Marsha.

Marsha tidak sadar kapan Marco berada disisinya, yang ia sadar tangan besarnya berada di puncak kepala Marsha. Ini pertama kalinya bagi Marsha dan anehnya Marsha merasa nyaman.

"Aku akan transfer uangnya pada ayahmu. Besok mari ke rumah keluargamu," kata Marco tersenyum hangat.

"Tidak perlu transfer ke ayahku. Biarkan saja, nanti besok-besok dia pasti minta lebih," jawab Marsha cepat.

"Biar saja, hartaku banyak. Tujuh turunan mungkin tak akan habis," ungkap Marco dilanjutkan dengan tawanya.

Merasa ada yang aneh, Marsha menjauh dari Marco dan berkata, "apa kau punya kepribadian ganda? maksudku, kau itu kadang menjengkelkan dan kadang juga baik."

Wajah Marco langsung berubah menjadi tidak mengenakkan. "Sepertinya kau tidak bisa dibaikan sedikit. Apa wajah tampanku terlihat seperti mempunyai kepribadian ganda?"

"Wajah tampan tidak menjamin kepribadian, Tuan Marco." Marsha menyeringai.

"Sudahlah. Aku memang tidak cocok bersikap baik. Kau habiskan saja makananmu itu. Nanti sakit dan dikiranya suamimu tidak merawatmu dengan baik," ungkapnya sedikit merasa kesal.

Suami. Kalimat itu menyadarkan Marsha bahwa ia sudah menikah. Marsha hampir lupa akan itu.

Marsha sebenarnya ingin mengatakan pada Marco perihal Erwan yang tahu rahasianya itu tapi sepertinya waktunya kurang tepat.

"Suami macam apa-"

Ucapan Marsha terpotong saat Marco menangkup wajahnya dan mendekatkan bibirnya pada Marsha.

"Apa kau sedang menggodaku?" bisik Marco tepat di depan bibir Marsha. Jarak antar bibir mereka mungkin hanya 1 inci.

Jantung Marsha berdegup kencang. Ia menelan salivanya, menyembunyikan kegugupannya. Otaknya tak bisa mencerna maksud dari pertanyaan Marco. Marsha masih shock.

"Kancingkan piyamamu itu setiap di dekatku. Kancingkan rapat-rapat. Aku pria normal. Jangan salahkan aku jika lepas kendali. Aku dari tadi menahan tau."

Marco langsung enyah dari hadapan Marsha. Tangannya mengacak rambutnya seperti orang frustasi.

Lama terdiam, Marsha menatap bagian dadanya. Tiga kancing bagian atas terbuka. Ia baru menyadari hal itu. Marsha merasa begitu malu. Pipinya merona merah menyadari kebodohannya.

Bodoh. Bodoh, kutuknya pada dirinya sendiri. Marsha tidak ingin Marco berpikiran seperti itu. Marsha takut Marco mengira bahwa dirinya wanita murahan.