Mengambil Hati Sang Mertua (2)

Marsha tahu bahwa ayahnya tidak suka jika itu menyangkut Marco. Ayahnya yang tadi sangat lahap makan, kini berhenti makan. Marco yang melihat itu pun langsung tersenyum jahat, ia menggeser kursinya ke samping ayah mertuanya lalu berkata, "Papa tidak berselera karena aku yang memasaknya?"

“Semua yang berhubungan denganmu tidak akan pernah kusukai,” jawab ayahnya dingin dengan tatapan tajam kepada Marco.

Marsha yang mendengar itu merasa tidak enak dan malu pada Marco karena ayahnya tidak bisa bersikap pura-pura baik. Marsha merasa harga dirinya sudah hilang.

“Pa, bisakah kita makan dengan damai?” wajah Marsha tampak pasrah.

Marco mengelus punggung tangan Marsha yang sedang memegang garpu kemudian ia tersenyum kecil. “Kenapa bisa begitu pa? kau belum mengenalku dengan baik, kenapa tidak menyukaiku?”

Marsha menengok sesaat pada Marco. Ia mengerutkan dahinya, heran dengan sikap Marco.

“Karena kau seharusnya tidak menikahi Marsha, tapi Erwan Hardan yang harusnya menikahinya.”

Marsha menghela panjang begitu mendengar nama yang paling tidak ingin dia dengar. Haruskah ayahnya menyebut nama itu di depan Marco? Kini rasa malu Marsha berkali-kali lipat. Apa yang diucapkan oleh ayahnya sudah membuktikan bahwa kelurganya sangat menggilai uang. Marco pasti mempunyai pikiran bahwa Marsha wanita matre, pikir Marsha dalam benaknya.

“Mereka tidak saling mencintai. Kenapa perlu dipaksa?” Marco masih bersikap tenang.

“Kenapa Nak Marco tidak menemui kami meminta ijin untuk menikahi putri kami?” tanya ibu Marsha.

“Apa bedanya ma? Papa pasti tetap akan memaksaku menikah dengan Erwan. Bukankah sebelum pernikahan itu, aku sudah mengatakan bahwa aku memiliki kekasih? Kalian tidak mau mendengarkanku,” sela Marsha.

Marsha sudah menduga hal ini. Setiap pertemuan dengan orang tuanya, pasti sulit untuk tidak perang mulut. Sebenarnya Marsha sudah sangat terbiasa dengan hal ini, tapi bertengkar di depan orang lain bukan kah sangat tidak tahu malu?

“Ehm. Saya rasa saya sudah menjelaskannya. Marsha melarang saya untuk menemui kalian berdua dan saya juga tidak tahu jika Marsha sudah dijodohkan sampai sudah ditentukan tanggal pernikahannya. Saya baru mengetahui itu di saat Marsha hampir saja menikah dengan orang yang bernama Erwan. Tentu saja mengetahui itu, saya tidak bisa diam saja melihat orang yang saya sayangi menikah dengan orang lain, terlebih lagi orang itu bukanlah orang yang Marsha sukai. Jadi saya memutuskan untuk menikahinya tanpa kalian, dan setelah itu baru saya urus ketidaksopanan saya karena menikahi putri anda tanpa ijin. Toh saya sudah sejak lama ingin menikahi putri Anda, tapi saya memang sedikit sibuk dengan pekerjaan saya. Itu juga menjadi alasan kenapa kami dulu jarang bertemu,” jelas Marco. “Jadi, bisakah kita berdamai? Saya berjanji akan menjadi menantu yang baik dan tentunya akan berusaha membahagiakan putri Anda yang sangat berharga.”

“Pilihan orang tua adalah yang terbaik untuk anaknya. Tetap saja, saya hanya merestui hubungan anakku dengan Erwan. Saya harap kalian cepat berpisah.” Ayah Marsha langsung memundurkan kursi rodanya dan pergi dari meja makan.

Marco bergegas berdiri dan mengejar ayah Marsha. Ia menahan kursi roda ayahnya dengan raut yang tak bisa ditebak kemudian menghadapkan kursi roda ayahnya ke hadapannya agar bisa saling tatap muka. “Jika boleh tau, apa yang membedakanku dengan Erwan sehingga Anda begitu menyukainya? Maksudku, kelebihannya dibandingkan diriku? Saya yakin, jika papa tau siapa saya pasti papa akan sangat menyukaiku. Jadi kenapa kita tak coba saling mengenal dahulu sebelum mengatakan ‘tidak menyukai’?”

“Dia punya segalanya, dan kau hanya modal tampang saja!” ujar ayah Marsha dengan nada yang cukup tinggi dan mata yang melotot.

Marco tertawa geli di dalam hatinya melihat tipe manusia yang memuakkan. Ia tidak percaya bahwa Marsha adalah anak dari orang yang ada di hadapannya.

Wajah Marsha dan ibunya menegang, sementara Marco tertawa kecil. “Itu artinya saya memang lebih tampan dari pilihan papa? Dan papa perlu tahu, saya mempunyai beberapa hotel dan restaurant di beberapa negara. Lalu honorku sebagai aktor, dalam satu kali main film bisa mencapai puluhan milyar. Apakah itu masih kurang? Jika papa tidak percaya, saya bisa menunjukkan semua asetnya.”

Marco dengan sengaja mengucapkan hal yang mungkin menyakitkan jika lawan bicaranya tahu apa yang Marco maksud. Marco sekilas melirik wajah Marsha yang tampak sedang menahan amarahnya. Perkataannya tidak bermaksud untuk membuat Marsha marah, hanya saja ia tidak bisa menahan diri jika sudah bertemu tipe manusia seperti ayah Marsha.

“Terkait semua hal yang kau ceritakan, apa kau sanggup memberikan salah satunya padaku? Maksudku, setengah dari apa yang kau punya. Dengan begitu aku tidak akan memaksa Marsha dengan Erwan lagi.” Sebuah seringaian jahat muncul dari sudut bibir ayah Marsha.

Marco terbelalak.

“Pa!” seru Marsha dan ibunya bersamaan.

“Mengapa terdengar seperti Anda menjual putri Anda sendiri?” suara Marco hampir tak terdengar. Ia tidak yakin dengan apa yang dibicarakannya. Ini gila.

“Bukan menjual. Hanya kesepakatan. Kau tidak sanggup bukan?” tanya Ayah Marsha dengan remeh.

Hening.

Disela keheningan itu, Jari Marco berada di dagunya. Memikirkan beberapa pertimbangan.

Sementara itu, Marsha hanya diam memperhatikan ayahnya dan Marco. Ini sudah di luar batas. Amarahnya sejak tadi ia tahan. Ia bisa saja mengeluarkan semua amarahnya, tapi Marsha ingin tahu seberapa jauh tindakan gila ayahnya.

“Tentu saja. Saya bisa memberika setengahnya, bahkan lebih. Tapi saya juga memiliki syarat,” kata Marco.

“Apa?”

Dahi Marco berkerut melihat semangat ayah Marsha alias pak Tua itu.

“Setelah saya memberikan semuanya, jangan pernah meminta pada Marsha lagi-"

“Tidak akan.” potong Ayah Marsha cepat.

“Saya belum selesai bicara pa. Biarkan saya selesaikan ucapan saya terlebih dahulu, setelah itu papa boleh memutuskan. Pertama, papa tidak boleh meminta sepeserpun pada Marsha setelah saya memberikan setengah dari harta saya. Kedua, jangan pernah menemui Marsha lagi apapun yang terjadi. Ini juga berlaku untuk mama.”

“Kau gila?”

Marco menggeleng. “Saya 100% sadar apa yang kuucapkan. Hanya saja, saya ingin Marsha tidak disakiti dan tertekan lagi. Selama ini dia sudah terlalu banyak disakiti karena sifat keserakahan. Cukup ini yang terakhir baginya menerima luka. Jadi saya kembalikan pada papa. Setuju atau tidak? Jika tidak setuju, tentu saja saya tidak akan melarang Anda menemui istri saya.”

Marco sebenarnya sangat tidak yakin dengan apa yang telah ia tawarkan. Tapi mau tidak mau jika ayah Marsha menyetujui kesepakatan gila itu, Marco harus bertanggung jawab dengan rasa sakit yang dirasakan oleh Marsha. Karena Marco tau hal ini tidak lah mudah untuk dirinya.

“Pa, papa tidak akan menyetujuinya kan? Marsha itu anak kita.” Ibu Marsha menghampiri suaminya, mencoba meyakinkan.

Di sisi lain, Marsha masih diam membeku dengan ekspresi wajahnya yang kini kian memerah karena menahan amarah. Kedua tangannya terkepal erat.

“Nak Marco, seharusnya jangan katakan begitu pada papa mertuamu. Itu sama saja kamu memutuskan hubungan orang tua dan anak!” Ibu Marsha semakin panik melihat reaksinya suaminya yang sedang serius memikirkan penawaran dari Marco.

Apakah ini salahnya? Pikir Marco.

“Maafkan saya ma, saya sebenarnya tidak ingin melakukan hal ini. Saya hanya ingin Marsha berhenti berada di lingkungan yang membuatnya tertekan terus menerus. Lagipula mama masih bisa bertemu dengan Marsha jika papa tidak menyetujui tawaranku.” Marco tersenyum memaksa.

“Jadi, bagaimana pa? Papa sepakat apa tidak?” lanjut Marco ingin memastikan bahwa ia hanya berprasangka buruk terhadap ayahnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada orang tua yang tega tuk menjual anak kandungnya sendiri.