“Ibu!” Hardi berlarian di rumahnya, melongok ke ruang tamu, memeriksa kamar, dan mengecek kios permak. “Bapak! Raras! Kalian dimana?”
Tak menemukan seorang pun, Hardi melesat keluar. Ia bisa melihat motor-motor diparkir di fotokopian sebelah. Warung nasi di seberang jalan juga buka. Namun, ia masih saja tak bertemu siapa-siapa.
Tiba-tiba, di dalam diri Hardi muncul dorongan untuk berbalik ke belakang. Tak ada yang memerintah atau memaksanya, ia hanya ingin berbalik. Maka, ia pun memutar tubuhnya, mengarahkan pandangannya ke depan pintu rumahnya sendiri. Ia langsung terkesiap. Di sana, berdiri sesosok manusia yang setiap bagian tubuhnya hitam, layaknya bayangan.
Hardi cuma mematung, mengamati garis-garis retakan hijau yang mulai muncul di tubuh sosok itu.
***
Hardi tersentak dan membuka matanya. Yang terlihat olehnya pertama kali adalah langit-langit putih penuh ukiran yang asing.
Perlahan, ia bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur, mulai mengatur napasnya yang liar. Jelas sekali ruangan itu bukan kamarnya. Kasur yang ditempatinya terlalu lembut dan empuk saat diraba. Lagipula, ketika mengedarkan pandangan, ia menemukan meja rias, lemari kayu, dan meja kerja penuh ukiran yang jelas-jelas bukan miliknya.
Kepala Hardi mulai memanggil memori-memori tadi malam, ketika dirinya melawan monster keriput itu. Yang terakhir diingatnya adalah naik ke dalam mobil dengan tubuh nyeri.
Ia langsung terkesiap saat sadar nyeri-nyeri itu hampir lenyap, hanya tersisa sedikit di bagian bahu. Saking tak percayanya, ia pun meraba-raba tubuhnya, yang kini telah terbalut kaos abu-abu dan celana pendek. Heran, ia pun memeriksa busananya tersebut. Itu semua memang miliknya, tapi ia tak ingat telah berganti baju.
Mendadak, sensasi melayang menyerang kepalanya. Perutnya juga mengeluarkan bunyi gemuruh yang Hardi kira hanya bisa terjadi di film-film saja. Energinya seolah disedot habis. Ya, sejak dari rumah, ia belum makan apa pun. Kerongkongannya juga begitu kering.
Pintu kamar itu berderit terbuka. Disty pun masuk sembari menenteng kantong plastik putih ukuran sedang.
“Selamat siang, Hardi. Baru bangun?” sapa Disty dengan nada lembut dan senyum lebar.
Hardi melompat dan mengangkat kedua kakinya ke atas kasur. Ia lalu mengecek jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu.
“Aku tidur berapa lama, Mbak?” tanyanya gugup.
“Tenang, cuma semalaman, kok.” Disty menaruh kantong plastiknya ke meja lampu di dekat tempat tidur. Kemudian, ia mengeluarkan isinya: empat nasi bungkus dan satu botol air mineral ukuran besar. “Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi sekarang lebih baik kamu makan dulu. Dengan kekuatan kamu itu, kalori yang dibutuhkan tubuh kamu jadi jauh lebih besar. Sekarang kamu pasti ngerasa lemas. Maaf, tapi pembantunya belum aku suruh masuk, jadi nggak ada yang masak.”
Disty menghadap Hardi dan kembali tersenyum. Kendati aroma tumis dan nasi dari bungkusan-bungkusan itu begitu menggugah selera, Hardi cuma diam dengan sesekali melirik Disty. Berdua saja dengan seorang gadis di sebuah kamar dan ditawari makanan, Hardi jadi lebih ingin bersembunyi daripada mengisi perut.
Menyadari hal itu, Disty membentuk kata ‘aah’ tanpa suara dengan mulutnya. “Aku tinggal dulu, ya. Kalau udah selesai, kamu mandi aja dulu, semuanya udah aku siapin.”
Disty menunjuk pintu kamar mandi di sudut ruangan dan keluar dari kamar itu. Hardi menunggu sampai Disty menutup pintu, lalu menyambar botol air mineral dan menenggaknya banyak-banyak. Kemudian, ia mengambil satu bungkus nasi dan membukanya. Tanpa babibu, ia mulai melahap nasi dengan lauk tumis kangkung, tempe orek, dan telur balado itu menggunakan tangan, samasekali tak melirik sendok plastik yang telah disediakan. Begitu pun saat ia membuka nasi bungkus lain dengan lauk berbeda, ia terus makan dengan begitu ganas.
Hanya dalam beberapa menit, bungkusan-bungkusan itu telah diremas dan dimasukkan ke kantong plastik. Hardi meminum airnya kembali dengan sesekali bersendawa. Ia lalu mengambil baju ganti dari tasnya yang entah sejak kapan tergeletak di dekat tempat tidur, berniat untuk mandi.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, Hardi kembali duduk di pinggiran dipan. Meski sudah kenyang dan bersih, ia tetap memikirkan kejadian yang menguras mental dan fisiknya tadi malam. Tak mau terjerumus ke dalam kejadian seperti itu lagi, Hardi mulai memikirkan cara untuk kabur.
Hardi memandang berkeliling kembali, berusaha memfamilierkan diri dengan keadaan. Dan saat itu ia baru sadar kalau ada kamera CCTV yang dipasang di salah satu sudut langit-langit.
Hardi memandangi kamera itu dengan mulut menganga. Gara-gara kebiasaan memakai baju di kamar setelah mandi, rekaman telanjangnya pasti sudah ada di tangan Disty. Hardi langsung memegangi kepalanya, yang kini kembali dipenuhi kemungkinan buruk. Sungguh mati dirinya kalau ia diancam dengan hal konyol seperti rekaman telanjang.
Saking sibuknya memikirkan cara untuk keluar dari bencana itu, Hardi sampai tersentak saat mendengar ketukan dari pintu kamar.
“Hardi? Boleh masuk?” sapa Disty dari luar.
“I.. Iya? Boleh,” jawab Hardi, yang rasa kagetnya belum sepenuhnya hilang.
Disty masuk dan kembali memajang senyum lebarnya. Hardi cuma bisa menunduk saat gadis itu berjalan mendekatinya, mengambil kursi dari meja rias, dan duduk di hadapannya.
“Sekarang, aku sudah siap jawab semua pertanyaan kamu,” ucapnya ringan.
Keinginan Hardi untuk bertanya tentang rekaman CCTV itu sudah begitu membuncah, tapi di saat yang sama ia ditekan rasa malu tak terkira. Jadi, masih sama seperti tadi, ia hanya diam sambil menunduk.
Disty menelengkan kepalanya saat melihat keringat dingin mulai muncul di kening Hardi. “Hmmm… Mungkin aku akan jawab apa yang mungkin ada di pikiranmu?”
Hardi bersiap-siap mendengar kabar buruk tentang rekaman CCTVnya.
“Mungkin sudah jelas mengenai kekuatanmu yang meningkatkan kekuatan materi dari benda padat. Kamu bisa menggunakannya sebagai perisai atau senjata. Bahkan bambu runcing pun bisa jadi senjata yang mematikan. Yang paling penting benda itu harus satu, bukan saklek harus satu, tapi satu kesatuan. Misalnya mobil, benda itu adalah satu kesatuan dari berbagai suku cadang, sehingga seluruh bagiannya bisa dialiri oleh kekuatanmu itu.”
Hardi melongo dan menatap wajah Disty, tapi dengan cepat ia menunduk lagi. Saking khawatirnya dengan video telanjangnya itu, ia sampai melupakan pertanyaan-pertanyaan yang lebih penting.
“Terus, kamu masih ingat tentang kekuatan yang bisa meledakkan benda padat sepuluh detik kemudian? Itu nggak berlaku kalau misalkan pada awalnya kamu menginginkan benda itu menjadi perisai atau senjata. Kamu harus melepaskannya terlebih dulu…”
Disty memegang botol air mineral yang telah kosong di meja lampu, tapi sedetik kemudian melepaskannya. “…kemudian memegangnya lagi dan memikirkan untuk meledakannya, atau tak usah memikirkan apa pun, karena mengalirkan kekuatan tanpa memikirkan kegunaannya pasti akan membuat benda itu meledak.”
Disty lalu mengangkat botol itu sedikit
“Tapi kalau kamu melempar atau menjatuhkan benda yang dialiri kekuatan ledakan itu, maka… poof!” Disty menjatuhkan botol itu ke meja. “Benda itu akan meledak kalau mengenai permukaan apa pun, tanpa harus menunggu sepuluh detik. Yah, kecuali kalau kamu masih memegangnya, benda itu nggak akan meledak apa pun yang terjadi.”
Hardi mengamati botol itu. Keterangan Disty barusan membuatnya bisa lebih fokus. Masalah mengenai video CCTV itu bisa ia kesampingkan terlebih dahulu. Ya, ada hal yang lebih penting untuk diketahui. Ia tak tahu apa-apa mengenai kekuatan yang tak dinginkannya ini. Meski begitu, ia belum bisa rileks. Justru sekarang jantungnya terus saja berdentum sangat keras.
“Yah, walaupun kamu memikirkannya sebagai bom, benda itu tetap bisa menyerap vibrasi dan energi kinetis, tapi tidak sebaik kalau kamu fokus memikirkannya sebagai perisai atau senjata. Nah, dari tadi aku yang ngomong, sekarang apa kamu udah punya pertanyaan?
“Terus… Anu…” Hardi memberanikan diri bertanya, tapi karena rangkaian kata tak terbentuk di kepalanya, ia hanya bisa membentuk pistol di tangannya dan menunjukannya kepada Disty.
Disty tersenyum kembali. Masih seperti tadi, Hardi tak bisa memandang mata gadis itu dan hanya sanggup menunduk.
“Itu kekuatan yang menurutku paling berguna.” Gadis itu mengeluarkan ponsel layar sentuh dari saku bajunya dan mengangkatnya setinggi pipi.
“Bayangkan kalau performa hape ini meningkat, memorinya bertambah, prosesornya jadi tambah kenceng. Nah, kekuatan ketigamu itu bisa dengan mudah mengabulkannya. Tinggal berpikir untuk menggunakan benda ini saat mengalirkan kekuatanmu maka…” Disty menjentikkan jari. “…potensi dari mekanismenya akan meningkat drastis, benda apa pun itu.”
Tentu saja Hardi tak percaya akan penjelasan terakhir itu. Kekuatan seperti itu akan membuat semuanya menjadi mudah. Bukankah mekanisme benda dan bahan pembuatnya itu berbeda-beda? Apakah kekuatannya ini mengerti cara kerja benda-benda itu?
“Nggak mungkin...,” ceplos Hardi, hampir tanpa berpikir.
“Bahkan di duniaku kekuatan ini masih dianggap sebagai keajaiban, kok,” terang Disty seraya melepaskan gelang perak bermata batu mulia hijau dari tangannya. “Sampai sekarang, aku masih belum ngerti bagaimana caranya gelang seperti ini bisa ngasih kekuatan seperti itu ke kamu waktu kecil, lalu mengaktifkannya sekarang.”
“Ja… jadi sebenarnya kekuatanku ini apa?” Akhirnya Hardi bisa bertanya juga.
Untuk kesekian kalinya, Disty tersenyum lebar. “Sebagai bawahan, aku cuma diberitahu cara menggunakannya. Jadi, aku cuma bisa bilang, semakin banyak kamu membunuh monster itu, maka kekuatanmu akan bertambah hebat. Kamu ingat rasa sakit yang muncul di tangan kamu beberapa saat setelah monster itu kamu bunuh? Itu tandanya.”
Hardi bergidik saat mengingat sensasi rajaman jarum itu melewati tangan dan lengannya, menuju dada. “Apa maksudnya? Apa berarti aku menyerap kekuatan mereka?”
Disty cuma mengangkat bahu. Setelah itu, keduanya terdiam, terjebak dalam kesunyian yang kaku. Hardi masih berusaha mencerna keterangan-keterangan absurd Disty barusan. Membuat benda apa pun menjadi senjata atau perisai? Meledakannya dengan sentuhan? Meningkatkan potensinya? Semua itu masih terdengar seperti angan-angan bagi Hardi.
“Apa sudah cukup?” tanya Disty, membuyarkan pemikiran-pemikiran Hardi.
“Ah… Iya… Itu… Sebenarnya, Mbak darimana? Apa sebenarnya monster itu?”
“Dari tempat yang sangat jauh. Tempat dimana orang-orangnya bisa hidup ratusan tahun dan awet muda.” Gadis itu berdiri dan memakai gelangnya kembali. “Aku nggak akan menganggap kamu sebagai bawahan. Aku anggap kamu sebagai partner. Tapi aku rasa kamu hanya perlu tahu hal-hal yang kuanggap penting, paling nggak untuk saat ini. Nanti aku terangin pelan-pelan, biar kamu nggak bingung.”
Gambaran-gambaran sang ayah yang memberi perintah atau permintaan mulai berdatangan ke otak Hardi. Ya, seperti ayahnya, gadis yang tak jelas asal-usulnya ini meminta sesuatu kepadanya dan menganggap dirinya seakan telah setuju.
“Tentu saja kamu akan dilatih oleh aku dan Aldo. Kemarin malem itu karena mendesak saja…”
“Maaf, tapi aku nggak bisa ngelanjutin ini semua, Mbak. Aku mau pulang,” potong Hardi sambil mengepalkan kedua tangannya.
Ya, dirinya tak meminta kekuatan ini. Ia juga tidak terjun ke keadaan gila seperti kemarin dengan sukarela. Ia memang menyukai pahlawan super. Bahkan sampai menciptakannya dalam tulisan. Namun, kehidupan itu bukanlah dirinya.
Disty memejamkan matanya dan mengangguk-angguk pelan. “Oke, aku nggak akan memaksa. Lagipula, ini harus berasal dari dirimu. Hanya satu yang harus kamu tahu, cuma kamu yang bisa ngelakuin ini, Har.”
“Makasih buat semuanya, buat makanannya…”
“Aku akan panggilkan travel kalau gitu. Biayanya biar aku yang tanggung,” potong Disty, segera berbalik dan berjalan.
“Sekali lagi makasih,” timpal Hardi pendek, tak mampu merangkai kata yang lebih baik.
Saat akan membuka pintu kamar, Disty berhenti. “Tadi malam, waktu kamu bisa lari dari monster itu, kamu malah balik. Boleh aku tanya kenapa?”
Hardi hanya terdiam karena ia sendiri tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaan itu di kepalanya.
Tak kunjung mendapat tanggapan, Disty pun mendesah. “Aku ingin kamu bawa sarung tangan khusus yang aku kasih ke kamu tadi malam. Siapa tahu kamu berubah pikiran.”
Disty keluar dan menutup pintu, tapi Hardi tetap saja membisu.
***
Disty merangsek masuk ke ruang kerjanya dan duduk di sofa, memandangi layar-layar LCD yang terpajang di dinding. Semuanya menampilkan berbagai sudut rumah, termasuk kamar Hardi.
Aldo yang tengah mengerjakan sesuatu di komputer bangkit dan menghampiri gadis itu, tangannya memegang beberapa bundelan kertas.
“Bagaimana?” tanyanya lugas.
“Sudah kuduga dia akan menolak,” jawab Disty santai, lagi-lagi menyunggingkan senyum. Matanya masih saja terpaku ke layar yang menampilkan Hardi tengah berbaring di kasur.
Aldo ikut mengamati layar itu sejenak, kemudian menyerahkan kumpulan kertas di tangannya kepada Disty. “Apa kita perlu menggunakan mereka?”
Disty memeriksa kumpulan kertas itu satu-persatu. Semuanya merupakan dokumen yang diklip dengan foto seseorang. Yang pertama adalah foto selfie seorang gadis, yang kedua foto seorang pria paruh baya dengan peci, lalu yang ketiga merupakan foto seorang ibu dengan dandanan sedikit menor.
“Ini fotonya ambil darimana? FB?” tanya Disty, cuma melihat sekilas dokumen-dokumen yang lain.
“Iya, adik Hardi cukup aktif di media sosial. Foto bapak dan ayah diambil waktu ada perkawinan kerabat, mereka jadi semacam penerima tamu. Untuk datanya sudah aku update dari orang yang kusebar di sana. Ada juga kerabat yang sebelumnya belum diintai,” terang Aldo.
Disty hanya manggut-manggut dan mulai membaca dokumen mengenai Raras, adik kandung Hardi.
“Jadi bagaimana?” tanya Aldo, mulai jengah karena Disty tak kunjung menanggapi pertanyaaannya
“Bagaimana apanya?”
“Tentang menggunakan keluarga Hardi untuk menganca…”
Disty berdiri sebelum Aldo selesai bicara. “Aku kan sudah sering bilang, kita harus melakukan ini dengan sabar.”
Aldo melenguh. “Kita sudah menunggu terlalu lama. Setelah sekian tahun, setelah memeriksa kandidat-kandidat yang gagal, akhirnya kita bisa menemukan orang yang bibit kekuatannya bisa tumbuh sempurna.”
“Shhh…” Disty menatap mata Aldo. Tangannya bergerak lembut menuju pipi pria itu. “Aku sangat yakin dia akan kembali, Al. Dia punya potensi besar. Potensi untuk menjadi pahlawan. Aku sudah melihatnya tadi malam. Kamu juga lihat, kan?”
“Pahlawan, ya?” Aldo tertawa getir, menampik tangan Disty dan berbalik pergi. “Kalau sampai gagal, maka aku akan menggunakan keluarganya. Suka atau tidak suka.”
Disty menghela napas panjang. “Percayalah, cara ini adalah yang terbaik.”