Pahlawan

Hardi memandang keluar lewat jendela mobil travel yang sedang melaju, tak menggubris berita tentang monster ungu tadi malam dari radio. Kata-kata Disty beberapa saat yang lalu terus saja menjejali otaknya. Bahkan kata-kata itu sedikit menekan kekhawatirannya akan rekaman CCTV telanjangnya, kekuatan anehnya yang tak jelas asal-muasalnya itu, mimpi aneh tentang bayangan hitam, serta kemungkinan kalau dirinya akan kena damprat sang ayah di rumah.

Cuma aku yang bisa?

Ia memutar memori di otaknya, memanggil peristiwa yang terjadi belum lama ini. Saat itu, ada seorang remaja yang jatuh dari motor di dekat rumahnya. Karena jalanan sepi, Hardi menjadi orang pertama yang menolong remaja itu, memapahnya ke pinggir jalan. Tak lama sesudahnya, orang-orang mulai berkerumun. Dan Hardi? Ia mundur secara diam-diam, merasa kontribusinya sudah selesai.

Pikiran Hardi buyar gara-gara benturan kecil di kepalanya. Ia menoleh kepada anak laki-laki kecil di sampingnya. Anak yang tampaknya masih TK itu menunjukkan gigi-giginya yang ompong, mengacung-acungkankan pedang mainan plastik kepada Hardi.

“Rama! Jangan kayak gitu!” Seorang ibu muda menangkap tangan si anak, lalu tersenyum kepada Hardi. “Maafin anak saya ya, Mas.”

Hardi hanya mengangguk dan tersenyum. Dan setelah itu, tubuhnya terhentak ke depan dengan cukup keras. Mobil travelnya baru saja berhenti mendadak.

“Ada apa, Pak?” tanya seorang pria di kursi belakang.

“Nggak tahu, tapi kayaknya rame banget,” jawab sang supir travel.

Hardi menaikkan kepalanya sedikit, melongok ke jendela depan. Memang benar, ada banyak orang yang berlarian menuju ke arah yang berlawanan dari mobil travel. Tak hanya itu, beberapa motor juga tampak tergeletak di tengah jalan.

Hardi pun menahan napas. Tak hanya motor saja yang tegeletak, tubuh manusia juga berceceran di mana-mana, tak bergerak.

“Kyaaaa!!!” Seorang gadis di kursi depan berteriak.

Tubuh Hardi langsung bergetar hebat. Ia ingin berteriak seperti gadis itu. Bagaimana tidak, monster itu muncul lagi, kali ini berdiri di antara motor-motor dan tubuh-tubuh manusia, menggerakkan tentakel-tentakel dari punggungnya.

Dan salah satu tentakel itu menjerat kaki seseorang, lalu melemparkannya begitu saja.

Pranggg!!!

Seisi mobil travel berteriak-teriak saat tubuh orang itu menembus kaca depan mobil, menghantam sang supir yang langsung tak sadarkan diri. Hardi membuka pintu mobil dengan panik dan langsung lari keluar bersama penumpang lain.

“Mamaaaaa!!!”

Teriakan pilu anak itu langsung menghentikan lari Hardi. Ia menoleh ke belakang, mendapati anak kecil di mobil travel tadi tampak menarik-menarik ibunya yang terduduk di aspal. Si ibu memegangi kakinya yang berhak tinggi sambil meringis kesakitan.

“Kamu lari aja, Rama!” teriak si ibu, tapi anaknya tetap berada di sisinya, mulai menangis keras.

Hardi memeriksa keadaan di sekitarnya. Orang-orang berlarian, seperti tak memedulikan ibu itu, terlalu sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Ya, hanya Hardilah yang menaruh perhatian kepada mereka.

Cuma aku yang bisa.

Hardi memaksakan diri untuk mendekati ibu dan anak itu. “Ibu nggak apa-apa?”

“Tolong bawa anak saya! Saya nggak bisa lari!” Si ibu mendorong anaknya itu ke arah Hardi sambil menangis.

Hardi mengintip melalui pintu mobil yang terbuka. Kali ini si monster mengangkat sebuah motor dan lagi-lagi melemparkannya. Melihat motor itu terbang mendekat, Hardi menyentuh pintu mobil dan mengalirkan kekuatannya, memunculkan garis-garis retakan hijau di tangannya.

Bruakkk!!!

Motor itu langsung ringsek saat menghantam pintu mobil yang kini menghitam dan ikut dihiasi retakan-retakan hijau itu.

Hardi berjongkok di depan si anak yang kini cuma melongo. “Kamu masih bisa lari, kan?’

Awalnya si anak cuma diam, tapi begitu Hardi menggoyangkan tubuhnya, ia mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Hardi mengangkat tubuh si ibu.

“Ayo,” ajaknya kepada si anak.

Mereka mulai berlari. Hardi harus menyesuaikan kecepatannya dengan si anak, yang kakinya masih kecil. Kepalanya menengok kesana kemari.

“Ke sini!” perintah Hardi, lalu berbelok ke arah sebuah apotik di pinggir jalan. “Buka!”

Si anak yang kini memimpin di depan membuka pintu kaca apotik yang kosong itu. Hardi membawa si ibu masuk ke dalam dan mendudukannya ke belakang meja kasir.

“Ibu di sini saja dulu!” pinta Hardi. Tak menunggu jawaban, ia kembali beralih kepada si anak. “Jaga ibumu, ya.”

Hardi membuka laci kasir. Mencari-cari sebentar dan mengambil satu lembar kantong plastik berwarna putih.

“Mas ini siapa?” tanya sang ibu yang kini memeluk anaknya itu.

Hardi yang tengah melubangi kantong plastik dengan pulpen terdiam sejenak, sebelum akhirnya berucap, ”Orang biasa, Bu.”

Hardi memakai tas plastik itu sebagai topeng, tak memedulikan penampilannya yang mirip tokoh utama sinetron superhero Indonesia berbudget rendah. Yang penting identitasnya tak ketahuan.

“Makasih, Om,” ucap si anak lirih.

“Terimakasih ya, Mas,” tambah si ibu.

“Sama-sama,” jawab Hardi, menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, bahkan sedikit melompat-lompat, bermaksud lebih rileks, berusaha tak memedulikan suara-suara sirene, teriakan orang-orang, benturan, serta tembakan dari luar.

Sambil terus meyakinkan diri, ia berlari keluar menuju jalan, bersembunyi di balik sebuah mobil yang diparkir. Di sana, ia mengintip untuk mengamati keadaan. Monster itu tengah sibuk menghindari serbuan peluru dari senjata-senjata api para polisi yang bersembunyi. Walau ada beberapa tembakan yang mengenainya, monster itu hampir tak terpengaruh.

Hardi maju, dengan terus bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain, sekaligus memikirkan strategi. Ia memusatkan perhatian ke sekeliling. Dan di dekat pintu mobil travelnya tadi, ia menemukan sebuah benda yang sangat cocok digunakan sebagai senjata.

Ia mengambil pedang milik anak yang ditolongnya tadi dari aspal dan mengalirkan kekuatannya. Sedikit berbeda dari sebelumnya, mata pedang yang berwarna putih itu kini berubah menjadi hijau temaram seluruhnya, sementara gagangnya tetap menghitam.

Mendengar suara-suara teriakan manusia dan benturan yang bertambah banyak, Hardi mengintip kembali. Amukan monster itu semakin membabi-buta, tentakelnya bergerak kesana-kemari, menghantam apa pun yang ada di sekitarnya

“Mundur! Mundur!!!” seorang perwira polisi berteriak-berteriak, sambil sesekali melancarkan tembakan. Rekan-rekannya sudah banyak yang tergeletak.

Setelah memukul-mukul kakinya yang seolah enggan diajak berlari, Hardi keluar dan melesat mendekati monster itu.

“Heiii!!!!” teriaknya saat berhenti hanya beberapa meter dari si monster. Ia segera mengayunkan pedang mainannya ke depan, bermaksud mengancam.

Pluk!

Hardi memandangi mata pedangnya yang baru terlepas dan mendarat di aspal, meratapi kegagalan supernya. Si monster menghentikan amukannya, matanya kini tertuju tajam kepada Hardi. Begitu pula para polisi yang tengah mundur, mereka menyempatkan diri memandang heran kepada Hardi.

“Graaaa!!!”

“Lari woi!!!” pekik salah seorang polisi yang tengah memapah rekannya.

Baru mendongak, Hardi sudah harus menghindari satu serangan tentakel. Gagang pendangnya terlepas, tapi tanpa pikir panjang ia mengambilnya lagi, mengalirinya dengan kekuatan, lalu melemparkannya ke muka si monster, yang langsung hilang keseimbangan karena ledakan.

Nekat, Hardi berlari mendekat dan melancarkan tinjunya ke muka si monster. Monster itu langsung terhempas ke aspal. Hardi pun mengamati kepalannya dan si monster secara bergantian, heran sendiri.

Bug!

Kini giliran tubuh Hardi yang membentur aspal. Kakinya baru saja disapu tentakel monster itu. Masih belum sadar akan apa yang terjadi, Hardi merasakan sesuatunya serba terbalik dan tubuhnya seperti melayang, kaki kanannya serasa diikat dengan keras.

Yang dirasakan Hardi selanjutnya adalah benturan-benturan keras. Hardi tak tahu dirinya terlempar ke mana. Yang jelas, nyeri-nyeri kuat terus menyerang bagian-bagian tubuhnya. Dan begitu dirinya berguling di trotoar, ia cuma bisa mengerang kesakitan.

Lari saja!

Baru saja akan berdiri untuk mengikuti kata hatinya itu, Hardi melihat satu tubuh yang menelungkup di trotoar, tak begitu jauh darinya.

Bertubuh kecil dan berambut keriting, mirip sekali dengan ibunya.

Dengan begitu ragu, Hardi membalik tubuh wanita itu. Tentu saja itu bukan ibunya. Tapi ia tak bisa bernapas lega. Saat mengecek napas wanita yang terpejam itu dengan jarinya, ia tak merasakan apa pun.

Harus berapa lagi korban yang jatuh?

Terdorong urgensi untuk berbuat sesuatu, Hardi segera mendirikan motor bebek terdekat dan menaikinya. Setelah menghidupkan motor itu, ia fokus mengalirkan kekuatannya. Bagian depan motor itu pun sedikit terangkat saat Hardi memutar gas dalam-dalam.

Brakkkk!!!

Sesaat sebelum motor itu menabrak monster, Hardi melompat dan berguling. Ia langsung mengutuk dirinya sendiri saat merasa bahunya seperti akan lepas begitu membentur aspal

Masih berusaha bangkit, ia memperhatikan motor yang tersangkut di etalase kios fotokopi. Sambil berharap tak ada orang lain di sana, Hardi mulai menghitung dalam hati. Satu, dua, tiga….

Sayangnya, walau hitungan Hardi sudah mencapai belasan, motor itu tak meledak.

Lagipula, motor itu seharusnya meledak dari tadi ketika membentur etalase kios.

Hardi mundur saat monster itu keluar dari kios dengan agak sempoyongan. Hardi ingin memukul dirinya sendiri yang lupa kalau dua jenis kekuatannya itu tak bisa digunakan sekaligus.

Kembali menekan rasa ingin kaburnya, Hardi berlari menuju sebuah mobil SUV dan berusaha mengangkatnya, berniat untuk melemparkannya kepada si monster, tak lupa ia mengalirkan kekuatannya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan sampai mengerang seperti orang mengejan.

Dan mobil itu pun terangkat, tapi sayangnya cuma beberapa senti dari aspal.

Hardi merasa dirinya semakin tidak berguna.

“Graaaaa!!!”

Hardi menengok ke belakang. Ternyata monster itu tengah berlari ke arahnya. Hardi langsung berusaha memaksa otaknya bekerja lebih keras, padahal monster itu sudah begitu dekat.

Zappp!!!

Hardi menghindari tentakel yang menukik ke arahnya. Tentakel itu langsung menembus badan mobil dan tersangkut. Hardi segera berpindah ke sisi yang lain dan mendorong mobil itu sekuat tenaga, sesekali menghindari serangan tentakel yang menembus jendela kaca.

Hardi terus mendorong, sampai akhirnya mobil itu menggencet si monster ke sebuah minibus. Setelah mengaliri mobil itu dengan kekuatan, Hardi berlari meninggalkan si monster yang menggeliat-geliat.

Ia melompat melewati kap mobil yang lain, mengalirkan kekuatan hijaunya agar mobil itu menjadi perisai.

Duarrrrr!!!

Sedetik setelah Hardi bersembunyi, mobil yang menggencet monster itu meledak keras.

Hardi membungkuk, menutupi telinganya yang berdenging keras. Ia lalu melongok ke arah bekas ledakan itu. Matanya cuma bisa menangkap pemandangan penuh asap dan jilatan api, dihiasi kepingan-kepingan mobil dan motor dimana-mana.

Setelah sensasi menyakitkan di tangan dan dadanya hilang, Hardi bangkit dengan agak terhuyung, menjauhi api yang semakin membesar.

“Hardi!!!”

Mendengar suara yang seolah dari kejauhan itu, Hardi mengedarkan pandangan. Ketika pendengarannya sudah membaik, ia bisa mendengar panggilan namanya dengan lebih jelas. Itu suara Disty. Ia pun berlari mendekati sumber suara itu, yakni sebuah mobil hitam yang salah satu jendelanya terbuka.

“Masuk Har!” pekik si gadis berambut merah dari jendela itu.

Hardi langsung membuka pintu mobil dan masuk. Begitu melepas topeng plastik tak karuannya, ia duduk menggelosor saking letihnya, bersamaan dengan Aldo yang mulai melajukan mobil.

“Tenang aja, setelah istirahat sebentar tubuh kamu pasti seger lagi, kok.” Disty yang duduk di kursi depan menengok kepada Hardi yang ada di kursi belakang. “Hebat juga ide kamu make mobil buat ngeledakin monster itu, semakin besar dan padat bendanya, semakin besar juga ledakannya.”

Hardi membuka mulut, hanya untuk menutupnya lagi. Gambaran-gambaran orang tergeletak di aspal itu memaksanya terdiam. Belum lagi kerusakan yang disebabkan oleh ledakan dahsyat yang dibuatnya barusan. Dan tentunya ia tak akan lupa kegagalan-kegagalan memalukan yang dilakukannya saat melawan monster itu.

Namun, ia juga teringat akan ucapan terimakasih dari ibu dan anak yang diselamatkannya. Berkat jasanya, nyawa mereka tak melayang. Dan itu langsung memantik senyum di mulutnya.

“Jadi bagaimana? Kamu mau ngelanjutin ini? Kalau kamu mau, aku pasti akan bantu,” ucap Disty lembut.

“I… Iya.”

Disty langsung merekahkan senyumnya. “Karena kamu udah berjasa banget hari ini, aku bakalan ngasih kamu bonus. Tinggal minta aja, kalau sesuai dengan kemampuanku, apa pun pasti aku kasih. Mau itu motor, mobil…”

“Mesin jahit,” jawab Hardi spontan.

Disty menelengkan kepala dan mengerutkan dahi, sementara Hardi membuang muka, menyadari kalau permintaannya itu aneh dan bodoh. Tapi di sisi lain, ia segan untuk menariknya kembali, merasa tidak enak dengan maksud baik Disty.

“Oke,” balas Disty manggut-manggut, masih terlihat heran.

Hardi memejamkan mata, berusaha menghalau keraguan dan ketakutan yang masih belum hilang dari hatinya. Kalau selalu menghindar, kapan dirinya akan menjadi makhluk yang berguna?

***

Ken merayap di lantai, berusaha meraih ponselnya dari meja. Namun, karena kesadarannya belum pulih benar, tangannya tergelincir dan menyenggol ponselnya sampai jatuh. Sedikit mendesah, ia meraih ponsel itu dan bersandar di tembok.

Dengan tangan yang gemetaran, ia membuka aplikasi pendeteksi monster di ponsel hasil modifikasinya itu. Walau tak menemukan tanda-tanda apa pun di aplikasi itu, ia belum bisa bernapas lega. Ia membuka browser web dan mulai membuka salah satu situs berita, tak ingin melewatkan apa pun.

Judul utama situs itu langsung membuat darahnya seolah menggelegak. Seseorang berkekuatan aneh telah menghabisi monster yang muncul di salah satu ruas jalan.

Ia meremas ponsel itu, membuatnya remuk seketika. Kemudian, ia melemparkannya begitu saja ke meja lain di sudut kamar, tepat mengenai alat berbentuk pistol putih dengan jarum suntik yang terpasang di ujungnya.

Gara-gara serum laknat yang tadi ada di alat suntik itu, ia pingsan selama tiga jam, tak bisa melakukan apa-apa.

Sayangnya, tanpa serum itu, dirinya tak akan bisa melawan. Ia hanya manusia biasa dari dunia lain. Kelebihannya cuma waktu hidup yang jauh lebih panjang dari manusia Bumi. Rasa sakit luar biasa yang dideritanya tadi benar-benar sebanding dengan peningkatan kekuatan dan kecepatan yang baru didapatkannya.

Dia punya waktu sekitar tiga bulan Bumi untuk menyelesaikan semua ini, sebelum kemampuan serum itu memudar.

Merasa tubuhnya berangsur-angsur membaik, ia berdiri dan berjalan pincang menuju sudut lain ruangan, menghampiri bagian-bagian baju logam khusus yang ditata rapi di lantai.

Ia membungkuk dan mengambil helm merahnya. Saat mengenakan helm tanpa lubang mata itu, yang terlihat olehnya pertama kali hanyalah kegelapan. Tapi tak sampai tiga detik, helm itu aktif dan Ken jadi bisa melihat lagi. Ia langsung memfokuskan pikiran ke senjatanya: sepasang cakram yang juga berwarna merah, dilengkapi gerigi-gerigi tajam di tepiannya.

Ngiinggg!!! Zap!

Kedua cakram itu terbang dan dengan mudah Ken menangkapnya. Dengan pegangan yang terletak beberapa senti dari atas poros permukaan cakram, tangan Ken tak akan terkena gerigi-gerigi tajam yang kini berputar ganas itu, menyalakan cahaya oranye menyala layaknya besi yang ditempa.

Ken memutar lehernya. Suara dengungan yang ditimbulkan gerigi-gerigi itu selalu memaksa bulu kuduknya meremang.