“Gimana latihan beladirimu dengan Aldo?” tanya Disty, memasuki salah satu ruangan di rumahnya.
Hardi yang sedari tadi mengikuti Disty tersenyum kecut, memandangi kakinya yang seminggu terakhir ini terus disapu oleh Aldo waktu latihan. Tenaganya yang meningkat seolah jadi tak berguna, terkalahkan oleh kemampuan Aldo yang bisa menebak saat-saat keseimbangannya tak maksimal. “Yah, masih banyak yang perlu dilatih, Mbak.”
“Maaf ya kalo Aldo galak.” Disty tertawa kecil seraya menempelkan tangannya ke salah satu sisi dinding ruangan itu, membuat dahi Hardi mengernyit.
Beberapa detik setelahnya, garis-garis yang membentuk pintu berdaun dua muncul begitu saja di dinding itu. Hardi sampai terlongong-longong dibuatnya. Saat kedua daun pintu itu bergeser membuka, Hardi sampai sedikit melompat saking terkejutnya.
Disty melewati pintu itu, berdiri di sebuah ruangan kecil berdinding logam yang tidak dicat, mirip sekali dengan lift.
“Yuk,” ajak Disty, melihat Hardi yang masih melongo sambil mengamati ruangan itu.
Dengan hati-hati, Hardi masuk. Disty memencet satu-satunya tombol yang ada di situ, membuat pintu di dinding itu menutup kembali.
“Ki… Kita mau kemana?” tanya Hardi saat dirinya merasakan ruangan itu bergerak turun.
“Ke command room. Nanti juga kamu bisa dapet akses ke sana,” ucap Disty, tersenyum penuh arti.
Rasa antusias Hardi seketika membuncah. Senyumnya langsung mengembang. Bayangan tentang markas gua Batman lengkap dengan gadget-gadget super canggih langsung mendatangi kepalanya.
Tak berapa lama, lift itu berhenti. Hardi bersiap-siap dengan kejutan menarik lain yang akan didapatkannya.
Tapi begitu pintu lift itu terbuka, Hardi justru merasa ujung bibirnya seperti baru keseleo.
Ruang kerja mirip kantor dengan lantai keramik tentu sangat jauh dari ekspektasinya. Boro-boro gadget super canggih, yang ada hanyalah layar-layar LCD di satu sisi dinding, meja kerja dengan tiga layar komputer di sisi yang lain, serta seperangkat sofa dan meja kaca di tengah ruangan.
Yang luar biasa cuma luasnya. Hardi yakin anak satu kelas bisa masuk ke ruangan itu.
“Di sana kamar mandi,” terang Disty sambil menunjuk salah satu pintu plastik pasaran berwarna pink di sudut ruangan. “Sebelahnya ruang ganti, terus…”
Melihat Hardi yang lagi-lagi cuma melongo, Disty mengernyitkan dahi. “Kenapa, Har?”
“Ba… bagus…,” jawab Hardi, mulai berjalan masuk, tak sanggup menanggapi dengan kalimat lain.
“Ada kulkas juga.” Disty berpindah ke pojok lain ruangan dan membuka lemari pendingin besar di sana. “Kalau tubuhmu memar-memar, atau haus waktu abis berantem, kamu bisa ambil apa yang kamu butuhin.”
Dengan gerakan kaku, Hardi menengok ke arah kulkas itu. Hardi pernah melihatnya di sebuah brosur toko elektronik.
Masih belum menyerah untuk menemukan hal luar biasa yang lain, Hardi beralih ke meja kerja. Aldo yang tengah menempati meja itu cuma memandangnya sinis.
Hardi mengamati sebuah sebuah benda berbentuk persegi hitam di atas meja kerja. Melihat benda itu dilengkapi kabel-kabel yang tercolok ke komputer, harapannya kembali tumbuh. Ya, mana mungkin manusia dari dunia lain hanya menggunakan perangkat dari bumi saja.
“Kalau ini apa?” tanyanya sambil menunjuk benda itu.
“Kamu belum pernah lihat printer?” jawab Aldo, yang anehnya terlihat jengkel.
Hardi cuma bisa menerima kenyataan. Barangkali imajinasinya terlalu tinggi.
“Rencananya aku mau pasang manekin di sini, biar kostummu nanti kalau udah jadi bisa dipajang,” jawab Disty sambil berjalan menuju salah satu sudut ruangan di samping layar-layar LCD. ”Oh iya, terus…”
Dengan lincah, Disty berpindah ke salah satu pintu selain pintu kamar mandi dan ruang ganti. Berbeda dengan dua pintu itu, pintu ketiga ini berwarna putih, sama-sama mengkilat tapi terkesan bukan terbuat dari plastik.
“Dan ini adalah partnermu yang lain,” ucap Disty sambil tersenyum, lalu membuka pintu itu dengan kunci yang tampak begitu normal.
Aldo bangkit dan mengampiri pintu itu, sementara Hardi cuma berdiri, bertanya-tanya siapa lagi anggota yang ikut dalam klub aneh ini.
Mereka bertiga melewati pintu itu, memasuki sebuah ruangan. Hardi langsung menahan napas, tapi bukan karena ruangan yang mirip garasi lengkap dengan pintu besarnya itu lagi-lagi terlihat biasa. Kali ini ia menemukan sesuatu yang lain di tengah ruangan itu: sebuah motor trail hitam mengkilat, sangat gagah dengan body kit beraksen tajam.
Selama hidupnya, Hardi tak pernah melihat motor dengan model seperti itu di Indonesia.
“Motor ini… Apa pakai teknologi dunia Mbak Disty?” Hardi memberanikan diri bertanya, lagi-lagi harapannya muncul.
Disty mengelus pelan motor itu, memperhatikan setiap detailnya dengan pandangan antusias. “Nggak. Ini KLX 150, bisa dibeli di dealer terdekat.”
“Second,” tambah Aldo datar.
“Tapi body kit-nya custom, kita pesen sendiri, modelnya dari kita.”
Kata-kata itu seakan menghantami hati Hardi. Ia benar-benar mendapat pelajaran penting, jangan terlalu berharap dengan gadis berambut merah ini.
“Tapi dengan kekuatan kamu, performa motor ini pasti bisa ngalahin motor ber-cc besar sekalipun,” terang Disty, kembali mengelus motor itu. “Bahkan jalan tanpa bensin pun bisa. Mau dikunci juga nggak jadi masalah. Bahkan tanpa pegang kemudi kamu bisa mengendalikan motor ini dengan kekuatan kamu.”
“Untuk misil juga bisa. Makanya kita beli second. Biar biayanya murah,” celetuk Aldo tanpa ampun.
“Tapi ingat lepas tangan dulu waktu mau ganti jenis kekuatan. Soalnya…” Disty menghentikan kata-katanya saat menyadari wajah murung Hardi. “Kenapa, Har?”
“Ah... Nggak apa-apa, kok.” Karena rasa antusias dan kekecewaan yang datang beruntun, Hardi jadi melupakan sesuatu yang penting. Hal yang benar-benar bisa menghambatnya dalam melakukan pekerjaan ini.
Disty mengembangkan senyumnya yang biasa. “Kalau ada masalah, ngomong aja. Aku janji nggak akan men-judge kamu, kok.”
“Aku…” Hardi menelan ludah. Awalnya dia enggan mengatakan ketakutan irasionalnya itu. Tapi begitu mendengar Disty tak akan menghakiminya, dorongan kuat muncul di hatinya. “Sebenernya aku takut pergi jauh… Juga takut pergi ke tempat yang nggak dikenal… Sendirian…”
Suara Hardi semakin lama semakin memelan. Bagaimana kalau dirinya tersasar? Ingatan tentang jalannya sangat buruk. Hal itu memang terdengar sepele bagi orang-orang, tapi tidak untuk Hardi. Ia akan terlambat dan mengacaukan semuanya. Ia harus bertanggung jawab hanya karena tersasar. Dan kali ini dampaknya bukan hanya sekedar terlambat mengantarkan barang atau tak bisa pulang. Membayangkannya saja, Hardi mulai mual.
Aldo mendesah kesal. “Dasar manja…”
“Aldo!” potong Disty tegas. Ia lalu melebarkan senyumnya kepada Hardi, yang kini menunduk dan kembali berkeringat dingin. “Aku sudah mengantisipasinya, kok. Aku sudah tahu hal itu dari Yoga. Apa pun namanya fobia yang kamu miliki itu tak jadi masalah. Aku akan selalu berhubungan sama kamu waktu kamu lagi di jalan. Aku akan mantau kamu dari GPS. Ah… apa aku sudah bilang kalau alat komunikasi kita itu pake teknologi duniaku? Nggak akan ada yang bisa ngehalangin sinyalnya.”
Hardi langsung mengangkat mukanya, tentu bukan karena fakta bahwa ternyata memang ada teknologi asing yang akan dipakai. Kata-kata Disty barusan seperti membebaskan hatinya dari jeratan kencang. Jeratan yang selama ini mengurangi gerak bebasnya.
“Kalau perlu kita pergi ke psikiater…” Disty mengecek ponselnya yang baru saja berdering. “Kata satpam, Yoga udah dateng, tuh. Katanya kalian mau keluar?”
“Apa!?” Aldo langsung mendelik murka. “Dia tidak bisa pergi sembarangan begitu! Dan kenapa kamu belum bilang kalau staff rumah ini sudah masuk? Bukannya persiapan kita belum selesai?”
“Tenang, kalau liburnya terlalu lama, mereka malah tambah curiga. Aku mau bilang, tapi kamu ngurung diri di sini terus, Al. Lagian, bukannya lebih baik kalau Hardi sekali-sekali keluar cari angin?”
“Tapi…”
“Hardi, kamu pergi, gih. Pencet aja tombol di dekat lift itu buat buka pintunya.” Disty langsung menunjuk tombol yang dimaksud, sementara Aldo melenguh gara-gara kata-katanya dipotong.
Hardi mundur secara teratur, mengamati Disty dan Aldo yang saling beradu pandang. Disty terlihat santai, sedangkan ekspresi Aldo makin mengeras.
“Kalo gitu, aku pamit dulu,” ucap Hardi. Meski penasaran akan hubungan dua orang itu, ia tak mau turut campur dengan pertengkaran orang lain.