“Jangan duduk situ, sini aja!” Yoga menarik Hardi agar duduk membelakangi kasir di sebuah rumah makan spesialis bebek goreng.
“Kenapa emang?” tanya Hardi.
Yoga duduk di kursi yang tadi akan ditempati Hardi dan nyengir kuda. “Aku mau nonton tv.”
Merasa tak perlu membantah, Hardi duduk di kursi yang ditunjuk Yoga. Ia sedikit memutar tubuhnya agar bisa melihat televisi yang dipasang di dinding hijau rumah makan. Televisi itu menayangkan seorang pria berkacamata yang tengah diwawancarai.
“Bagaimana menurut Anda tentang orang yang melawan monster itu?” tanya sang reporter.
“Yah, kalau mau jadi superhero liat-liat, dong. Saya lihat kerusakan yang dibikin sama dia itu lumayan,” jawab si pria.
Hardi langsung memalingkan matanya dari televisi itu, sedikit mengedikkan alis.
Adegan berganti, sekarang yang diwawancarai adalah seorang siswa SMA berhijab. Sang reporter menanyakan pertanyaan yang sama persis.
“Saya dengar tentang cerita seorang yang ditolong sama orang itu. Menurut saya sih bagus kalau emang tujuannya baik. Tapi kalau bisa kostumnya ganti dong, jangan pake tas kresek.”
Mau tak mau Hardi menyunggingkan senyumnya. Setelah peristiwa itu, ia menghindari media, menjauhi kritik publik. Dalam hati ia sudah memaksa diri untuk tak memedulikan berita-berita negatif akan dirinya. Tapi kenyataannya dirinya peduli, pendapat orang lain memang bisa menjadi pedang untuk perasaannya.
“Kamu kenapa senyam-senyum sendiri?”
“Ah, nggak.”
“Selamat sore, Mas. Silahkan.” Seorang pelayan pria berpakaian hijau-hijau pun datang dan menyerahkan buku menu.
Dengan gerakan halus, Yoga memasukkan lipatan uang dua puluh ribuan ke saku si pelayan. “Sekarang lagi jadwalnya Wulan, kan? Nanti biar makanannya dia yang anter, ya?”
Si pelayan terkekeh pelan. “Siap, Mas.”
Sambil membuka-buka buku menu, Hardi menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Namun, ia memilih untuk tak menanggapi, berusaha maklum dengan kelakuan sang sepupu yang telah menjomblo sejak lulus kuliah itu.
“Kamu boleh pesen apa aja, anggep aja sebagai permintaan maaf aku,” ujar Yoga.
“Minta maaf apaan emang?” tanya Hardi, samasekali tak melihat sepupunya itu. Meski bisa menduga jawaban dari pertanyaannya itu, tapi hatinya tetap tergelitik.
“Yaah, minta maaf gara-gara aku maksa kamu biar kerja di tempatnya Mbak Disty.”
“Saya pesan bebek goreng super yang dada dua , nasinya empat, sama sambel koreknya tambah empat. Minumnya es susu coklat, air putih, sama jus alpukat ya, Mas,” cerocos Hardi tanpa ampun, membuat sang pelayan kewalahan menuliskan pesanan.
“Buset, itu semua mau kamu makan?”
Hardi menutup buku menu itu dan menggesernya kepada Yoga. Mau bagaimana lagi, porsi makannya sekarang memang sebanyak itu. Kalau Yoga tak mau membayar, ia rela merogoh kocek sendiri.
“Ini beneran mau kamu makan semua? Kalau beneran… Ya, nggak masalah, sih. Kalau nggak abis bisa dibawa pulang, kasih ke Mbak Disty.” Yoga meringis dan membuka buku menu itu. “Saya nasi goreng bebek sama es teh ya, Mas.”
Sang pelayan pergi setelah mencatat pesanan itu. Hardi menatap televisi kembali sambil berpangku tangan. Kali ini yang ditayangkan adalah liputan mengenai aliran kepercayaan berpakaian abu-abu.
Yoga menghela napas saat melihat sepupunya yang tak bersemangat itu. “Tapi beneran deh, aku bener-bener minta maaf.”
“Nggak papa, kok. Aku juga ngerasa seneng kerja di sana,” jawab Hardi jujur. Akhir-akhir ini dirinya memang mulai menerima kehidupan superhero itu, meski hatinya masih dihantui ketakutan dan keraguan.
“Dia nggak main kasar kan?”
“Hah!?” Hardi langsung melonjak kaget. Melihat Yoga yang lagi-lagi nyengir kuda, Hardi pun menepok jidatnya. “Kamu kira aku kerja jadi gigolo apa?”
Bukannya menjawab, Yoga malah mengangkat bahu dan mencibir. Hardi mencondongkan tubuhnya ke arah si sepupu.
“Kerjaanku cuma jadi asisten. Aku cuma bertugas ngawasin pembantu-pembantu yang ada di situ,” jawab Hardi, mengingat-ingat kata-kata yang diberikan Disty kepadanya. “Kalau aku jadi gigolo, aku pasti udah bawa mobil! Mbak Disty itu kaya banget, liat aja rumahnya.”
Yoga manggut-manggut. “Tapi kamu belum jawab, kamu mau maafin aku nggak, nih?”
“Aku nyaman kerja di sana, kok. Mbak Disty baik,” jawab Hardi, berusaha sesantai mungkin. “Oke, kamu aku maafin, tapi aku mau tahu, kenapa kamu mau disuruh buat nganterin aku ke mbak Disty?”
“Sebenernya…” Yoga menggerak-gerakkan mulutnya, tanda kalau dirinya risau. “Aku baru nubrukkin mobil kantor ke mobil lain. Aku harus bikin dua mobil itu beres. Jadi, aku butuh uang banyak… Kata mbak Disty dia bisa kasih aku uang, tapi syaratnya ya itu… Kamu ngerti, kan? Urusannya juga udah sama polisi, cuy! Kalau kamu yang ada di posisiku, apa nggak kamitotolen[1]!?”
“Ya, ya, ya, oke, oke,” balas Hardi malas-malasan.
Yoga menyenderkan tubuhnya dan menghela napas, hampir berbarengan dengan suara langkah kaki pelayan wanita yang mendekat.
“Mas Yoga, ini pesanannya, satu nasi goreng bebek, dua bebek…”
Paru-paru Hardi seolah berhenti bekerja saat matanya bertatapan dengan mata si pelayan. Si pelayan sendiri langsung mendelik dan piring berisi bebek goreng yang akan ditaruhnya ke meja pun oleng. Secara refleks Hardi menangkap tangan si pelayan. Hardi langsung merasakan kehalusan dan kehangatan kulit yang familier di tangannya. Sefamilier dengan fitur-fitur wajah berkulit kuning langsat si pelayan, terutama dengan tahi lalat di bawah sudut mata kiri.
“Tyas?” tanya Hardi.
Wulan dan Tyas. Semuanya ada di dalam Wulaningtyas, nama kekasih Hardi yang sejak dulu tak memberi kabar itu.
“Nama saya Wulan, Mas.” Tyas langsung menarik tangannya dan menaruh pesanan ke meja, sementara Hardi terus saja mengamati gadis itu dari atas ke bawah, sama sekali tak bisa berkata-kata.
Nyaris tak ada yang berubah dari gadis itu, selain rambutnya yang dipotong bob dan tingginya yang bertambah.
“Woi!” Yoga menggoyang-goyangkan Hardi, yang melongo dan memandangi Tyas berlari-lari meninggalkan meja mereka. “Malah bengong, emangnya kamu nggak mau ngomong apa-apa sama dia?”
Dengan gerakan seperti robot, Hardi menoleh kepada Yoga. Tak lama kemudian, ia menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menyadarkan diri dari pesona mantan kekasihnya itu.
“Nggak… Barangkali dia udah punya kehidupan lain,” jawab Hardi, buru-buru menyeruput es teh. “Eh ini punya kamu, ya?”
Yoga terkikik-kikik geli melihat Hardi, yang seperti monyet diinjak ekornya.
“Apa kamu tahu dia kerja di sini?” Hardi mencondongkan tubuhnya lagi, sampai-sampai membuat piring-piring bergoyang gara-gara mejanya ia tubruk.
“Aku kebetulan liat dia waktu aku lagi makan sama temen-temen kantor di sini. Dia yang nyapa duluan.”
Hardi melotot. Otaknya sekarang macet, tak bisa merangkai kata-kata balasan. Maka dari itu, ia memilih untuk menumpahkan dua cobek kecil sambal korek ke nasinya, mencuil bebek gorengnya, lalu mulai makan dengan tangan. Semuanya dilakukan sambil memandang bengis sang sepupu.
Yoga menggosok-gosok rambutnya, tak percaya akan kelakuan pasif Hardi. “Denger, aku tahu kamu sayang banget sama dia, kan? Aku sering banget mergokin kamu ngeliatin foto dia di buku kenangan SMA. Kalian udah lama banget nggak saling ngasih kabar. Makanya, ada baiknya kamu nanya dia dulu, deh.”
“Nanya apa? Buat apa?”
Hardi pura-pura menaruh perhatiannya kepada nasi. Padahal ia sudah berhenti menunggu status di akun sosial media Tyas yang sudah tidak aktif, tapi sekarang dirinya justru dihadapkan dalam situasi seperti ini. Jantungnya sekarang memang berdebar-debar, sama seperti waktu SMA dulu, saat dirinya berpapasan dengan Tyas di lorong sekolah. Namun, otaknya benar-benar tak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk diberikan kepada gadis itu.
“Nih, kalau kamu malu sama orang-orang di sekitar sini, kamu bisa nemuin dia pas mau pulang nanti. Katanya pegawai di sini pulang lewat pintu belakang, soalnya motornya diparkir di deket sana.”
“Gimana kalau dia udah punya pacar lagi?” Akhirnya Hardi bisa melancarkan pertanyaan yang menyesakkan dadanya itu.
“Aku udah nyelidikin semuanya. Aku udah tanya teman-teman kerjanya. Dia itu nggak punya cowok lain, jadi bukan masalah. Beneran deh, aku berani jamin.”
Hardi menghentikan kegiatan makannya. Kata-kata Yoga barusan seperti air dingin yang mengguyur kepalanya, mengalirkan sensasi tak terkira ke seluruh tubuhnya, menumbuhkan secuil harapan dalam hatinya. Harapan yang akhir-akhir ini seolah terlempar ke dalam lubang gelap tanpa dasar.
“Kenapa kamu mau repot-repot ngelakuin semua ini, Yog? Apa untungnya buat kamu?” tanya Hardi, tak bisa menampik kecurigaannya.
“Aku ngerasa nggak pantes kalau minta maaf ke kamu pake modal traktiran. Kalau nggak ada alasan khusus, mana sudi aku pergi berduaan sama cowok. Sepupu sendiri lagi.”
Tak terpantik oleh candaan itu, Hardi menoleh ke arah kasir. Sayangnya, ia tak mendapati Tyas di sana.
“Jadi gimana? Kamu mau ambil kesempatan ini? Paling enggak minta nomor telepon, kek. Masalah alasan dia nggak pernah ngabarin, itu bisa ditanyain entaran, ” ucap Yoga sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya. Suaranya terdengar begitu bersemangat. “Lagian, kalian belum resmi putus, kan?
Hardi membisu sambil mengamati hidangannya. Selera makannya lenyap sudah. Di pikirannya bertarung dua pilihan: lari seperti yang sudah-sudah atau menghadapi ini dengan jantan. Ya, jantan seperti saat dirinya memilih tetap menggunakan kekuatan barunya ini.
Namun, bagaimana kalau gadis itu hanya akan memberinya kabar buruk? Hardi benar-benar ingin menemukan lemari dan menyembunyikan diri saja.
“Ingat apa kata-katamu sendiri waktu mau nembak Tyas?” tanya Yoga, setengah berbisik.
“Witing tresno jalaran soko sembrono[2]?”
***
Hardi berdiri dari jongkoknya, mondar-mandir melewati tempat sampah besar di lahan parkir khusus pegawai itu. Suara-suara yang memintanya untuk pergi saja begitu riuh mengganggu di dalam otaknya. Belum lagi jantungnya, yang seolah ingin meloncat sedari tadi.
Keadaan ini sama seperti ketika dirinya akan menyatakan rasa sukanya pada Tyas, bertahun-tahun yang lalu. Waktu itu dirinya bisa memaksa diri, menjadi jantan. Hal itu tak pernah disesalinya sedikit pun.
Maka dari itu ia tetap bertahan di sini.
Ia berjengit hebat saat pintu belakang dibuka dari dalam. Ia sudah akan bersembunyi di balik tempat sampah saat para pegawai keluar, saling berpamitan dan melangkah pelan.
“Hardi?” Tyas yang berjalan paling belakang langsung mematung saat mendapati Hardi berdiri dan tersenyum janggal kepadanya.
“Ayo-ayo, bukan tontonan!” Pelayan yang tadi disuap Yoga langsung mengusir rekan-rekannya yang tampak penasaran dengan apa yang terjadi.
Beberapa saat berlalu, sebagian besar pegawai telah bertolak menggunakan motor, meninggalkan sang pelayan suruhan. Pelayan itu mengedipkan sebelah mata kepada Hardi dan ikut pergi, meninggalkan dua orang itu berdua saja.
Hardi berusaha merangkai kata-kata, sekaligus mengenyahkan pertanyaan mengenai biaya yang dikeluarkan Yoga untuk si pelayan dari otaknya. Di saat seperti ini, pikirannya malah kemana-mana.
“Kamu mau ngapain?” tanya Tyas penuh selidik.
Hardi menggeleng-gelengkan kepala, memutuskan untuk segera menyampaikan apa yang ada di pikirannya. “Aku cuma mau nanyain kabar kamu, soalnya sejak pertengahan kuliah kamu nggak bisa dihubungin. Aku udah nyoba ke kosan kamu sama temen, tapi katanya waktu itu kamu udah pindah. Temen-temen kamu ditanyain juga pada nggak tahu.”
Tyas menunduk dan memegangi keningnya. “Sori, sebenarnya waktu itu aku tahu, Har.”
“Apa!?” Perkataan Tyas langsung menohok hati Hardi. Jadi, Tyas tahu perjuangannya memaksa diri pergi jauh beberapa tahun lalu itu? Apakah gadis ini dulu menghindarinya? Apa dirinya tak dianggap lagi?
Gadis itu menghela napas panjang. “Aku harus cepat pulang, Har. Anakku udah nunggu.”
Tyas buru-buru berjalan, dan secara refleks Hardi menangkap tangannya, hanya untuk melepaskannya lagi. Hardi lalu ikut menunduk, kepalanya kini seolah begitu berat. Kata-kata Tyas itu begitu buruk, lebih buruk dari apa yang dibayangkannya.
“Ka… kamu udah nikah?” tanya Hardi, suaranya begitu kaku.
Perlahan, Tyas menghapus setetes cairan bening dari ujung matanya. “Nggak ada pernikahan, Har. Ini juga yang ngebuat aku nggak mau ngehubungin kamu…”
Kali ini dada Hardi seperti dihantam sesuatu yang panas. “Siapa yang ngelakuinnya!? Apa kamu…”
“Itu suka sama suka, Har!” potong Tyas, setengah histeris. “Makanya, aku itu… Aku… Aku ngekhianatin kamu…”
Energi di tubuh Hardi seolah dicabut seketika.
“Dan ayah anak itu menghilang, Har. Bahkan keluarganya ngaku nggak tahu dia ada dimana.” Tyas mulai terisak.
Seharusnya Hardi menenangkan gadis itu, memberinya rasa nyaman, berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, Hardi tak mampu. Semua kejutan ini terlalu berlebihan untuknya, menggerogoti perasaannya, begitu menyakitkan dan membuat lubang kosong yang dalam di hatinya.
“Dan anak itu… Sedari kecil nggak sehat, Har. Makanya aku terpaksa drop out. Gaji orangtuaku nggak akan cukup buat ngebiayain pengobatannya. Aku juga harus tinggal di sini gara-gara orangtuaku malu…” Tyas mengambil sejumput tisu dari tas cangklongnya, lalu mengusap matanya pelan-pelan. “Ah.. Kenapa aku cerita ini ke kamu, ya?”
Bahkan Hardi tak mampu mengangkat kepala untuk memandang mantan kekasihnya itu.
“Maaf,” ucap gadis itu lirih.
Setelah itu, Hardi hanya mendengar derap cepat kaki Tyas yang berjalan menjauh.
[1] Kamitotolen: ungkapan dalam bahasa Banyumas yang kurang lebih artinya tak bisa bicara saking paniknya.
[2] Yang benar adalah witing tresno jalaran soko kulino, sebuah ungkapan bahasa jawa yang artinya, “Cinta tumbuh karena terbiasa.”