Sambil duduk di tepian dipan kamarnya, Hardi meremas kostumnya yang baru jadi. Walau telah merangkai kain hitam, sabuk putih, dan gabus-gabus itu menjadi satu, hatinya tak dipenuhi kebanggaan. Padahal saat baru mengkonsepnya, ia sangat bersemangat membayangkan kostum yang lebih mirip seragam pasukan khusus itu.
Bukan berarti hasil karyanya itu jelek. Bahkan kostumnya itu menurutnya lebih bagus daripada bayangannya. Gabus-gabus khusus yang dipasang untuk melindungi dada, bahu, perut, dan bagian-bagian vital lainnya membuatnya terkesan lebih berotot dan gagah. Sedikit aksen putih yang diberikannya di pundak dan dada juga memberi rasa lain. Apalagi kalau kostumnya dialiri kekuatan dan membuat aksen putih itu menjadi hijau temaram.
Yang membuatnya merasa seperti itu adalah pengakuan Tyas tadi sore. Ia jadi tak bisa berkonsentrasi kepada indentitas barunya. Harapannya muncul dan tergerus habis di hari yang sama.
Waktu itu Hardi memang jarang mengunjungi Tyas, tentu saja gara-gara fobia bepergiannya. Namun, apakah karena itu perasaannya pantas digantung bertahun-tahun, hanya untuk diganjar kabar pengkhianatan seperti tadi? Bahkan Hardi sendiri tak tahu jawabannya.
Mendengar ketukan dari pintu kamarnya, Hardi pun berkata, “Masuk, nggak dikunci, kok.”
Disty melongok dan tersenyum, lalu masuk. Pandangannya langsung terpaku ke kostum di tangan Hardi. “Udah jadi itu?”
“Iya, barusan. Makasih udah mau beliin bahan-bahannya, Mbak.” Hardi memasukkan tangannya ke dalam bagian lengan kostum itu. Saat telapak tangannya sampai ke sarung tangan yang dijahit menjadi satu dengan kostum, jari manis dan jari kelingkingnya masuk bersamaan ke bagian jari manis kostum. “Tapi, agak susah masukin tangannya.”
Disty langsung terkekeh melihat hal itu.
“Waktu kamu tanya boleh apa nggak ngejahit sarung tangan itu, aku kira mau sekedar dihias, ternyata mau dijahit ke kostum, toh.” Disty duduk di pinggiran tempat tidur, bersebelahan dengan Hardi, yang langsung merasa merinding tanpa sebab jelas.
“Iya, kan biar kostum ini jadi bener-bener jadi pelindung. Katanya kan mengalirkan kekuatan harus ke benda yang satu kesatuan.” Masih tak berani menatap mata Disty, Hardi memilih untuk memandangi retakan-retakan hijau yang sudah muncul di sekujur kostum sejak ia memasukkan tangannya.
“Kan aku udah bilang, arti dari satu kesatuan itu nggak sekaku itu. Seperti motor yang setiap bagiannya bisa dilepas,” terang Disty, lantas memegangi sarung tangan di kostum itu. “Kamu bisa pasang kancing atau kretekan… Itu loh, yang bisa nempel itu, tahu kan?”
“Velcro?”
“Ya pokoknya itu, lah. Aku yakin kekuatan kamu tetep bisa nyebar walaupun sarung tangannya bisa dilepas. Alam bawah sadar kamu pasti tetap nganggep kostum ini masih satu kesatuan,” sambung Disty, mengamati jahitan di sarung tangan itu. “Kekuatan yang keluar otomatis ke sarung tangan ini emang yang nyerap vibrasi sama energi kinetis, sih.”
“Jadi topeng ini juga nggak harus dijahit, dong.” Hardi menunjukkan topeng yang bagian belakangnya dijahit sedikit ke kerah kostum.
Disty mengangguk sembari membelai topeng yang terbuat dari perpaduan kain dan masker motor. Semua bagiannya menutupi kepala, hanya menyisakan dua lubang untuk sepasang mata.
“Kamu kreatif ya… Ini apa? Hood? Seperti jaket hoodie?” tanya Disty saat menemukan tudung kepala dengan bagian dalam berwarna putih di kostum itu.
“Buat variasi aja sih, Mbak.” Hardi tak bisa berbohong kepada diri sendiri kalau ia ingin tampil gaya. Dan tudung kepala atau hood menurutnya pasti akan membuat busana apa pun menjadi keren.
“Kamu emang bener-bener kreatif, deh. Cara kamu ngebunuh monster di jalanan waktu itu menurutku jenius, loh. Apa emang kamu sehari-hari gitu, nyelesain masalah pake cara yang nggak kepikir sama orang lain?”
Hardi tersenyum kecut, sekaligus sedikit terkejut dengan pertanyaan seperti itu. “Nggak. Sehari-hari aku malah…”
Tak kunjung mendapat lanjutan jawaban, Disty tersenyum kembali. “Kamu bisa ngomong ke aku, kok. Aku kan udah janji, nggak akan nge-judge kamu.”
Lagi-lagi dorongan untuk mencurahkan semuanya timbul di hati Hardi. “Seringnya sih, kalau ngerjain sesuatu dalam tekanan atau ada kesalahan, aku malah bikin semuanya kacau.”
“Contohnya?”
“Dulu waktu aku KKN, kelompokku bikin acara mewarnai buat anak-anak TK. Muridnya lumayan banyak. Waktu itu aku disuruh ketua kelompok buat nge-print piagam semua anak. Soalnya yang nggak juara juga dapet. Dan waktu itu aku ngelakuin kesalahan. Piagam semua murid yang nggak juara malah di-print juara harapan tiga semua. Padahal waktu itu lagi ditungguin sama guru TK-nya.” Hardi menggaruk-garuk rambut, heran sendiri peristiwa itu masih terpatri di otaknya.
“Mana tinta print-nya mau habis lagi. Anggota lain yang seharusnya ngerjain tugas lain jadi harus ngebantuin aku. Ada yang beli tinta sama kertas piagam, ada yang ngobrol sama guru TK yang mulai emosi.”
“Kalau waktu itu kamu nggak ditungguin guru TK-nya, sama nggak harus ngikutin apa kata ketua kelompok, apa yang kamu lakuin biar piagam-piagam itu cepat selesai?”
“Yang juara aku print. Terus yang nggak juara aku print satu, tapi aku kosongin namanya. Habis itu aku fotokopi pake kertas piagam. Dan aku cuma tinggal ngepasin dan print nama mereka satu-persatu. Hemat tinta dan waktu daripada nge-print piagam penuh satu-satu.”
“Apa waktu itu kamu nggak ngusulin?”
“Yah, tadinya aku mau bilang... Tapi, biasanya usul aku nggak didengerin… Atau malah pada nggak paham.”
Disty manggut-manggut dengan senyum yang makin lebar. “Kamu tahu, aku bersyukur banget kamu yang dapet kekuatan itu.”
Hardi cuma mengernyitkan dahi, belum paham akan arah pembicaraan mereka ini.
Setelah itu, kesunyian mendatangi mereka. Dan Hardi jadi merasa mukanya diserang panas dan perutnya seolah diisi batu. Sudah berumur dua puluh tahunan, tapi belum juga lihai menghadapi wanita. Mengenaskan.
“Sekarang, kamu harus milih nama superhero kamu… Hmmm… Karena kekuatanmu ngeluarin warna hijau, gimana kalau zamrud? Tuh, kamu juga udah bikin logonya.” Disty menunjuk logo berbentuk batu mulia segi delapan di bagian dada kostum itu.
“Entar kayak nama band. Terus aku juga bukan superhero,” jawab Hardi dengan muka murung. Matanya memandangi logo putih yang nantinya akan berwarna hijau bila dialiri kekuatannya itu.
“Kamu kenapa?” tanya Disty, menyadari ekspresi Hardi.
“Nggak apa-apa, kok.”
“Kan aku udah bilang, santai saja kalau sama aku. Kamu bisa ngomong apa adanya.”
Sontak, Hardi sudah akan menceritakan pertemuannya dengan Tyas. Namun, ia langsung sadar ini adalah urusan yang terlalu pribadi. Terlebih, tanpa sebab jelas dirinya enggan menceritakan mantan kekasihnya kepada gadis berambut merah itu.
“Yah, aku cuma… Aku cuma pengen nguji kekuatanku. Apa nggak ada penjambretan atau perampokan bank… Mbak tahu maksudku, kan?” Hardi bermaksud mengalihkan haluan pembicaraan, tapi dirinya langsung menyesali kalimat yang ngawur dan tak jelas dari mulutnya itu.
Disty terkekeh. “Kalau ada tindak kejahatan, kita nggak bisa langsung tahu seperti di film-film. Kalaupun tahu, paling penjahatnya udah kabur, ditangkep, atau digebukin massa. Perampokan bank juga jarang banget terjadi di kota ini… Di negara ini malah. Lagian, kekuatanmu itu bukan untuk yang seperti itu. Kejahatan kecil biarkan jadi urusan polisi…”
Tiba-tiba Aldo merangsek masuk tanpa memberi peringatan. “Monster itu muncul lagi!”
Disty melirik ke arah Hardi dengan senyum yang kembali terentang. “Oke. Kamu udah siap pake kostum baru kamu kan, Har?”
Tadi dirinya memang mengatakan ingin menguji kekuatannya, tapi sekarang malah Hardi ingin ke belakang saja, mengeluarkan apa pun yang membuat perutnya sakit dan kaku.
“Kamu harus segera pilih senjata,” usul Aldo tanpa ampun.
“Nggak perlu,” ucap Disty, menepuk pundak Hardi.
Dan kali ini akhirnya bayangan Tyas di kepala Hardi bisa mulai terkesampingkan oleh hal lain. Sayangnya, hal itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan.