“Katanya kemarin lo beneran di-SP-3 sama Bu Yanti?” tanya Anaya, salah satu kawan terakrab Tiara selama satu tahun menempuh pendidikan di SMA Mandraguna yang wow itu.
Tiara mengangguk.
“Terus gimana?” tanya Kinan, kawan terakrab Tiara yang satu lagi. Mereka bertiga satu kelompok dalam MOPDB dahulu, dan berada di satu kelas yang sama hingga kelas sebelas. Tak menutup kemungkinan hingga kelas dua belas mereka akan tetap berada di kelas yang sama pula, sebab SMA Mandraguna tak menerapkan kelas acak untuk setiap tahun.
Anaya Benanda adalah yang tercantik dari mereka bertiga. Rambutnya memiliki poni samping nan apik yang ketika ia menoleh, akan berayun memesona—paling tidak, itu pendapat Tiara—sedangkan Kinanti Marsya Yuliani adalah tukang jajan berbadan gemuk yang selalu ingin kurus tanpa pernah mau olahraga satu kali pun. Sementara Tiara sendiri, memiliki tubuh sedang berotot kaki kencang (sebab ia doyan bermain bulutangkis), dengan rambut kecokelatan yang keriting dan mengembang nyaris seperti singa, berkult eksotis, dengan paras yang tak begitu cantik. Perangainya yang asik sekaligus galak seringkali membuatnya jadi bulan-bulanan anak kelas dengan sebutan singa betina, dan akhir-akhir ini namanya sedang naik daun akibat ekstrakurikuler yang mencegahnya dikeluarkan dari sekolah.
“Ya, gue enggak jadi dikeluarkan. Tapi dengan syarat harus membuat sebuah inovasi untuk pendidikan sekolah.” Tiara membuat gerakan tangan yang menyindir kata-kata terakhir dalam ucapannya.
“Dan ekskul itu yang jadi solusinya?” tanya Anaya lagi.
Tiara mengangguk.
“Terus katanya lo satu-satunya cewek di antara enam pendiri ekskul itu Ra?” Kinan menambahkan, sebola siomay masuk ke dalam mulutnya.
Tiara mengangguk lagi.
“Ada siapa aja?” tanya Anaya.
“Gue, Wira, Dewan, Ghifari, Badar, dan Diman.”
“Diman? Yang bisu itu?” Anaya belum berhenti.
“Oh! Kalian harus tahu. Ternyata Diman sama sekali enggak bisu, gue kaget. Dia ngomong anjir! Lancar banget kayak kereta. Mana serem lagi.”
“Sumpah?” Kinan menelan siomay lain, matanya berbinar kala benih-benih gosip menyemai di telinganya. Lalu ketiga manusia itu berakhir menggunjing Diman sebelum mencapai gerbang sekolah untuk pulang. Hingga tiba-tiba sosok yang mereka pergunjingkan melintas, dengan sorot mata setajam elang, membidik penuh horor melalui sepasang bola mata yang digelayuti kantong hitam di kelopak bawahnya dan membuat Diman lebih menyerupai pocong di film-film ketimbang panda.
Tiara menangkap tatapan sarat kematian itu dan bergidik seketika, ia berhenti bicara sementara Kinan terus menyerocos pada kata-kata yang mendadak terdengar lamban di telinganya, “Mana dia serem banget lagi, sorot matanya tuh kayak orang mati!”
Jantung Tiara berdegup kencang, segenap rasa panik menyergapnya bagai pencuri yang tertangkap basah.
“Tiara,” Diman memanggilnya dengan suara rendah dan dingin.
Tiara masih mematung.
“Mau ke mana?”
Tiara berkedip-kedip kikuk. Kinan segera tutup mulut bersama Anaya yang tampak terkejut mendengar Diman bersuara.
“M-mau pulang,” jelas Tiara.
“Enggak baca grup?” tanya dia, masih dengan wajah sedatar alas setrika.
Tiara mendadak dibuat malu dan segera mengecek grup ‘Bimbingan Belajar’ pada ponselnya. Ternyata Dewan baru saja mengumumkan bahwa hari ini mereka berenam ditugaskan Pak Burhan untuk bersih-bersih bekas lab komputer yang kelak akan menjadi sekre ekstrakurikuler mereka. “Oh ....”
Tiara segera pamit pada Anaya dan Kinan, lalu berjalan beriringan bersama Diman yang sangat amat canggung, dan Tiara tak nyaman. Sepanjang jalan menuju ruang bekas laboratorium komputer itu, Diman sama sekali tak bicara, tak memandang ke arah Tiara, bahkan Tiara curiga ia tak bernapas. Tetapi ... Tiara jadi merasa bersalah sebab Diman sama sekali tak menyinggung dosanya, sementara ia baru saja sembarangan menggunjing Diman.
Diman tidak termasuk tinggi untuk kalangan laki-laki, ujung kepalanya hanya sepantar ujung kepala Tiara yang memiliki tinggi 165 cm. Berharap perjalanan bersama malaikat maut itu segera berakhir, akhirnya mereka tiba juga di laboraturium komputer yang lama; ruangan luas dengan meja-meja panjang berbanjar ke belakang, satu meja utama berdiri di depan, di mana Dewan tampak tengah mengutak-atik CPU utama. Komputer-komputer yang semestinya berjajar di atas meja telah lenyap, dipindahkan ke laboraturium komputer baru, sederet rak sepatu menampang di depan pintu masuk, sehingga siswa tak diizinkan beralas kaki untuk menjejak lantai beralaskan karpet merah yang membuat ruangan itu tampak mewah.
“Wah, ini seriusan buat kita?” gugah Tiara kala ia membuka pintu, lalu terbatuk, disergap debu yang mengepul berat di ruangan ini.
“Buka lebar pintunya, Ti,” titah Dewan.
Ti? Siapa Ti? batin Tiara merasa asing dengan penggalan panggilan tersebut, tetapi ia tak membalas dan menuruti Dewan untuk membukakan pintu lebih luas, sehingga debu-debu di dalam mengalir ke luar.
Ruang perpustakaan di samping lab komputer menutup, seorang wanita tua yang mereka kenali bernama Bu Rusmiyati atau pendeknya Bu Rus, yang merupakan pustakawati Mandraguna, mengunci pintu dan melintasi enam siswa dengan senyuman cerah. “Yang semangat ya, Nak!” kemudian ia berlalu pergi. Menyusul di belakang pustakawati tersebut, seorang siswa laki-laki berkulit putih, berkacamata, dengan dua tumpuk buku dalam dekapannya memasuki laboraturium komputer. Dia adalah Wira.
Meletakkan buku dan ranselnya di atas rak sepatu, lalu mengenakan masker dan menghambur ke dalam bersama vaccum cleaner yang tersedia di ruangan tersebut. Tanpa diperintah, ia segera menyedot debu-debu di atas karpet.
“Yang lain ke mana?” tanya Dewan yang belum juga selesai dengan urusan CPU-nya, dan mendapati hanya mereka berempat yang hadir di kelas. “Telepon deh, Badar sama Ghifari.”
Tiara tak mau menelepon Badar, maka ia memilih untuk menelepon Ghifari.
“Aduh, kenapa enggak nyala-nyala CPU-nya sih?” keluh Dewan.
Diman datang menghampiri. “Coba, gue lihat.”
Akhirnya, Dewan meminta tolong Diman untuk mengurusi urusan komputer yang tak bisa ia rampungkan, sementara dirinya beralih menelepon ... “Ti, lo nelepon siapa?”
“Ghifari.”
“Yaudah, gue Badar.”
Dan Tiara menelepon Ghifari. Setelah nada dering beberapa saat, terdengar suara yang terengah-engah.
“Oy?” sapa Ghifari dari seberang.
Jantung Tiara berdegup, ia mendadak gugup. “Eh, Ghif. K-kumpul dulu di lab komputer lama, kita harus bersih-bersih.”
“Oh, gitu? Oke siap.”
Dan telepon ditutup.
Tiara meraih sapu dari dalam lemari barang, lalu mulai membersihkan sawang di langit-langit laboraturium yang mesti ia capai dengan kedua kakinya berada di atas meja. Setelahnya, barulah Badar dan Ghifari muncul. Keduanya telah menanggalkan kemeja, menyisa kaus dan celana SMA. Kaus Ghifari basah oleh peluh (barangkali ia bermain basket lagi), sementara Badar bersandar pada pintu dengan sebatang rokok yang sudah pendek bertengger di bibirnya. Ia mencabut, menyucuk ke lantai luar dan membuangnya ke tempat sampah.
Tiba-tiba layar besar di tengah ruangan menyala, proyektor yang tersambung dengan komputer utama telah melemparkan tampilan monitor dan membuat Dewan menepuk tangan dalam sukacita.
Ghifari telah menggenggam kemoceng, pun Badar yang tampak hendak memulai kerja bakti yang diawali dengan ia membuka kaus hitamnya.
“Eh! Eh! Apa-apaan lo?! Pake! Gila ya?” Tiara sontak meninggikan nada, suaranya melanglang sampai ke ujung-ujung ruangan, sebab ia masih berdiri paling tinggi dari yang lain: di atas meja.
Badar menahan gerakannya, dan terhenti di kaus yang setengah terbuka. “Kenapa?”
“Bau keringet lo, Bodoh!”
Tiba-tiba Badar menyeringai sangat licik, lalu ia menempelkan tangannya ke sela-sela ketiak, dan menunjukkan telapak tangannya yang telah terkontaminasi bubur ketek itu ke arah Tiara. “Nih, makan nih keringet!” Lalu ia mulai mengejar Tiara.
Tiara memekik dan segera berlari menghindar dari Badar yang sudah gila. Semua yang ada di ruangan tertawa, bahkan Wira. Tetapi tak berlaku bagi Diman yang mulutnya senantiasa terkatup seolah bicara yang tak perlu adalah perbuatan dosa baginya.
***