[ 3 ] - Bosen. Tawuran Ah

Tiba waktunya memperkenalkan ektrakurikuler baru ini pada sekolah. Karena klub ini pada dasarnya adalah dari sekolah dan untuk sekolah, maka Pak Burhan sebagai penanggung jawab ekskul memberi keluangan waktu bagi dirinya untuk menemani keenam anggota Bimbingan Belajar melakukan perkenalan ekskul ke kelas-kelas mulai jam pelajaran kedua. Sayangnya, tak guru itu ketahui bahwa sehari sebelum mereka berbaris di depan kelas, enam manusia di laboraturium komputer yang telah bersih itu menemui perdebatan sengit hingga pukul tujuh malam.

“Jadi, gimana? Seenggaknya kalau organisasi formal harus ada Ketua Umum, Sekretaris, Bendahara, sisanya Kepala Divisi,” jelas Dewan.

“Kenapa harus?” tanya Badar.

“Ya, geng Warung Bambu ada enggak gue tanya?”

“Kagak. Kalau ada acara, baru kita susun kepanitiaan.”

Dewan menarik bibir kesal. “Ada yang anak organisasi enggak sih di sini?”

Ghifari mengacungkan tangan.

“Nah, di basket gimana?”

“Ada, tapi enggak terlalu ngerti sih. Gue cuma kapten tim, bukan petinggi ekskul.”

“Yaudah! Intinya lo ada yang mau usul enggak siapa aja yang ngisi jabatan ini? Biar besok, begitu kita perkenalan, seenggaknya ekskul ini udah cukup matang!”

Wira mengacungkan tangan. “Gue jadi bendahara.”

“Nice! Gitu kek dari tadi, lo semua!” Dewan mencatat. “Siapa sekretaris?”

“Pentul aja, Pentul,” usul Badar.

Keenam manusia itu tampak berpikir. Pentul? Tak ada satu pun dari mereka memiliki nama Pentul.

“Itu, si Tiara,” ia akhirnya menjelaskan.

Tiara berkerut kening. “Gue? Kok? Kenapa jadi Pentul?”

“Badan lo kecil, tapi pala lo gede, jadi kayak jarum pentul.”

Tiara nyaris ketawa, tetapi lebih memilih memukuli bahu Badar penuh emosi. “Sialan! Itu rambut gue yang ngembang! Bukan kepala gue yang gede!!”

“Ya, boleh lah. Tiara aja,” Ghifari mengiyakan.

Lalu tiba-tiba seluruh peserta diskusi menyetujui, bahkan Diman hampir menorehkan nama Tiara Destriani Siregar.

“Kenapa gue sih?!”

“Karena biasanya sekretaris itu cewe,” jelas Wira main gender.

“Ya enggak mesti lah! Bisa aja elo.”

“Kan gue udah bendahara.”

“Atau elo,” Tiara menunjuk Badar.

Badar hanya menaikkan alis menyebalkan.

“Atau el—” Tiara melirik ke arah Diman, tetapi laki-laki berwajah horor itu menatapnya penuh tatapan kematian, dan berakhir membuat Tiara mengalihkan pandangan. “Ergh, yaudah, gue.”

Dewan menuliskan nama Tiara pada akhirnya. “Sekarang Ketua Umum—”

“Lo.” Semua mulut menunjuk Dewan, termasuk Diman yang sejak tadi tak mengeluarkan suara.

Dewan menghela napas. “Udah gue duga kan. Yaudah, sepakat nih ya?”

“Sisanya jadi apa?” tanya Diman pada akhirnya.

“Kita urus itu nanti,” kata Dewan mengakhiri diskusi sebelum mereka semua beranjak pulang.

Dan keenam manusia itu kembali bertemu di sini. Di depan papan tulis kelas X MIPA 1, menghadap ke arah para murid, sementara Pak Burhan berdiri di dekat guru yang sedang mengajar, membiarkan keenam murid itu mengambil alih kelas.

“Selamat pagi,” Dewan memimpin.

Balasan ‘Pagi’ menghambur dari mulut para siswa kelas 10.

“Kami dari ekstrakurikuler baru, ingin memperkenalkan klub berbasis pendidikan ini pada teman-teman semua. Kami memiliki nama Bimbingan Belajar.” Dan Dewan terus menjelaskan perihal yang perlu diperkenalkan berkenaan dengan ekskul ini pada mereka. Teknis, program pertama, perkenalan anggota, dan sebagainya. Hingga tiba pada kalimat penutup perkenalan. “Jika ada yang berkenan atau tertarik, silakan hubungi kontak yang tertera di papan tulis. Kumpul perdana kami akan diadakan sepulang sekolah. Terima kasih.”

Dan rutinitas tersebut mereka lakukan ke seluruh kelas yang ada di SMA Mandraguna, termasuk kelas dua belas, dalam rangka merekrut mereka sebagai pengajar.

Selepas perkenalan, mereka diperintahkan Pak Burhan untuk kembali mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas masing-masing.

Dalam waktu sekejap, Tiara yang sepanjang perkenalan Bimbingan Belajar berperan menuliskan nomor kontak di papan tulis, juga satu-satunya perempuan dari keenam pendiri ekskul tersebut, langsung dikenal oleh satu sekolah. Setidak-tidaknya, oleh kaum hawa yang menandainya dengan berbagai macam label dalam kepala mereka.

“Menang banyak tuh dia.”

“Wih, pasti pinter banget.”

“Pasti cuma mau dekat-dekat Ghifari atau Badar.”

“Kok … dia sih? Padahal enggak cantik-cantik amat.”

Tapi Tiara sama sekali tak menyadari sampai ia, Anaya, dan Kinan berderap menuju kantin. Nyaris semua pasang mata perempuan sekolah, membidiknya dengan macam-macam tatap. Kebanyakan tatapan tak suka, terutama senior.

Tiara duduk berhadapan dengan dua temannya selagi menu soto ayam Budhe dihidangkan. Ia memandang makanannya lamat-lamat, berusaha keras tak mengambil pusing anomali sekolah yang seketika menjadikan dirinya pusat perhatian.

“Ti? Kalau enggak mau, sotonya buat gue deh,” celetuk Kinan, yang langsung ditepuk pelan oleh Anaya. “Ya habis! Dilihat doang, bukannya dimakan.”

“Ada apa sih di muka gue?” tanya Tiara bisik-bisik.

“Muka lo baik-baik aja, Ra.”

“Terus kenapa semua orang ngeliatin gue?”

“Gue enggak,” tukas Kinan yang segera saja menyuap sendok pertama soto ayamnya.

“Lo ngerti lah maksud gue, Nan.”

Penuh kehati-hatian Kinan melihat sekeliling dan mendapati orang-orang sedang tak memandang ke arah Tiara, akan tetapi sebagian mencuri pandang. Kinan kembali ke makanannya dan mengangguk.

“Apa sih yang salah dari gue?”

“Pasti gara-gara posisi baru lo sebagai petinggi Bimbel. Biasa, cewek-cewek penggemar Badar dan Ghifari pasti iri berat.”

Mendadak nafsu makan Tiara menghilang. Tiara tahu Badar meski bandel, cowok itu punya barisan fans tersendiri yang tak kalah barbar dari sang idola, tapi Ghifari punya banyak penggemar? Entah mengapa berita itu membawa sedikit kerusakan di ulu hati Tiara, sebab tiba-tiba saja dada yang agak ke perutnya itu terasa sakit, lalu Tiara dilanda takut. Ia tak pernah ingin membuat permusuhan dengan sesama perempuan. Rumit urusannya.

Tiara memberanikan diri mengangkat kepala menghadap Anaya, tapi wajah Anaya memandang ke belakang Tiara dengan mimik janggal. Tiara bergidik, ia mengira Anaya sedang melihat hantu. Demi menebas rasa ngerinya, Tiara menoleh dan mendapati dirinya memekik sejadi-jadinya. Mangkuk soto ayam bergetar nyaris tumpah oleh entakan kaki Tiara yang membentur meja. Ia menoleh ke sosok di belakangnya seraya setengah memaki, “Dewan! Gue kaget!”

“Sori,” Dewan mengernyit menghadap Tiara dan Anaya bergantian. “Baru gue mau izin ke temen lo, habis kayaknya muka lo lagi enggak enak, agak takut manggilnya.” Dewan tersenyum pada Anaya.

Anaya tersenyum singkat.

“Kenapa?” tanya Tiara lemas.

“Gue butuh bantuan.”

“Apa?”

“Melipir sebentar, bisa?”

Tiara pamit pada kedua temannya sejenak. Kinan dan Anaya mengangguk.

“Ganteng, Nay,” bisik Kinan pada Anaya tanpa terdengar siapa pun.

Anaya mendecak. “Bagi lo sih, semua cowok juga ganteng.”

“Ish.”

Tiara menepi bersama Dewan.

“Pak Burhan minta kita kumpul lengkap sepulang sekolah, untuk kumpul perdana di depan anak-anak yang mendaftar. Dan setahu gue, Badar lagi enggak ada di sekolah,” jelas Dewan.

“Telepon lah.”

Dewan menggeleng. “Enggak bisa.”

“Kenapa?”

Dewan memandang sekeliling, meastikan tak satu pun sedang memperhatikan mereka, kemudian menarik lengan Tiara, mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. Lekas ia berbisik, “Badar lagi tawuran.”

***