“Badar lagi tawuran.”
Mata Tiara melebar. Ia memandang Dewan tak percaya, memandang ke arah lain, ke wajah Dewan lagi. “Tunggu, lo tahu dari mana?”
“Justru karena sebelum ini, gue telepon dia. Dan sebelum ditutup, dia bilang enggak bisa, mau tawuran.”
Tiara memutar bola matanya kesal. “Kalau gitu bilang aja ke Pak Burhan kalau Badar lagi halangan.”
“Gue ragu sih. Lo ‘kan tahu Pak Burhan ….”
“Iya, tapi enggak ada salahnya dicoba. Dia mungkin aja punya indra keenam, tapi dia bukan Tuhan yang tahu segala hal.”
“Asik.”
Tiara melotot ke arah Dewan yang kembali mengubur cengiran di bibirnya. “Lo enggak jauh beda sama Badar. Ayo, ah!”
Tiara kembali ke meja makannya hanya untuk berpamitan pada Anaya dan Kinan yang terbengong melihat keburu-buruan teman mereka. Tiara menyerahkan soto ayamnya cuma-cuma pada Kinan, yang diterima dengan suka hati. Setelahnya, lekas ketua dan sekretaris ekstrakurikuler Bimbel itu berderap menghadap sang Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan.
Setibanya Dewan dan Tiara di depan ruang Wakasek, pintu ruangan yang terbuka menampakkan meja-meja kosong, namun memberi dengar kericuhan ringan di dalamnya. Dewan dan Tiara melongok ke dalam penuh kehati-hatian. Kemudian mereka menyaksikan para wakil kepala sekolah yang tengah berkumpul di satu titik; meja Pak Burhan. Wajah Pak Burhan kentara jelas, sedang menerima lemparan informasi dari wakasek bidang lain yang serta merta menjatuhkan mental Dewan dan Tiara.
“Pak, tiga belas siswa laki-laki sekolah kita kabur,” ujar Bu Nita, Wakasek bidang Kurikulum.
“Lima belas, Bu,” timpal Pak Waksito, Wakasek bidang Sarana dan Prasarana.
“Kabar dari Bang Narto, satpam kita, mereka menuju SMA Sayap Negara, dalam rangka tawuran!” tambah Bu Medina selaku guru Bimbingan Konseling yang entah mengapa sedang ada di ruang Wakasek.
Dewan dan Tiara saling tatap. Mereka tak bisa berbohong.
Tanpa suara, keduanya sepakat untuk segera angkat kaki, namun nahas, sial tetaplah sial. Suara Pak Burhan melanglang, memanggil kedua anak muridnya, “Dewan! Tiara! Kemari.”
Dewan dan Tiara memejamkan mata menahan umpatan. Tanpa mampu kabur maupun membantah, keduanya kemudian mempersiapkan mental dan memasuki ruang Wakasek. Guru-guru yang ada di dalamnya segera memandang dua siswa SMA Mandraguna itu dengan tatapan yang berbeda-beda. Tetapi satu kesamaan memancar dari pasang-pasang netra mereka; harapan.
“Ah, kebetulan kalian di sini,” Pak Burhan membuka perbincangan. Ia membetulkan posisi kacamatanya, kemudian memandang Tiara dan Dewan. “Kalian tentu sudah tahu berita soal anak-anak lelaki sekolah kita yang bertandang ke sekolah tetangga dalam rangka tawuran, dan Badar termasuk salah satunya?”
Dewan dan Tiara mengangguk.
Pak Burhan tersenyum mencurigakan. “Kalian urusi, ya?”
Dewan dan Tiara mematung. Bahkan para guru.
“M-maksud Bapak?”
“Kalian datang ke SMA Sayap Negara, lalu selesaikan urusan mereka. Datanglah sebagai utusan dari Wakasek Kesiswaan Mandraguna, lalu laporkan pada Wakasek di sana bahwa murid-murid mereka akan tawuran.”
Tiara hampir menganga. Pak Burhan memang … ajaib. “T-tapi, mereka—anak-anak itu—kan sudah berangkat duluan, Pak. Enggak mungkin saya dan Dewan bisa mencegah ….” Tiara sampai terhenti karena kehilangan kata-kata. Sebetulnya, lebih kepada: MANA ADA UTUSAN SEKOLAH DATANG UNTUK MENGHENTIKAN TAWURAN? Emang ini kerajaan, yang peperangan bisa dicegah oleh utusan?!
“Dewan punya rekam jejak sebagai juara lomba balap motor, kok.” Pak Burhan mengedipkan satu matanya pada Dewan. “Lagi pula, tenang saja.” Ia mengeluarkan daftar nama para calon peserta SMA Mandraguna untuk ditarik ke olimpiade sains tingkat kota. Ada nama Tiara dan Dewan di sana. “Kalau kalian berhasil, saya pastikan nama kalian lolos sampai ke tingkat Provinsi.”
Tentu saja menggiurkan, tetapi tetap tak masuk akal bagi Tiara.
“Sekarang, berangkat. Soal surat dispensasi, urusan saya. Run, Dewan, Run!” pekik Pak Burhan menyemangati, padahal ia mengutip dialog dari film fenomenal berjudul Forrest Gump.
Dewan dan Tiara memutar balik ragu-ragu.
Pak Burhan menggebrak meja. “Kalau lama, keburu tawuran!”
Dua siswa kelas sebelas itu segera tancap gas ke luar ruang Wakasek. Tanpa membawa barang apa-apa selain ponsel, mereka berjalan cepat ke arah parkiran.
“Lo beneran atlet balap motor?” tanya Tiara selagi mereka buru-buru.
Dewan mengangguk. “Pernah. Sekarang udah enggak.”
“Terus itu kata Pak Burhan, lo juara?”
Dewan mendecak. “Dia ngomongnya enggak lengkap!”
"Maksudnya?”
“Gue juara harapan, sama dengan enggak menang.”
“Dan lo berhenti jadi atlet balap?”
Dewan mengangguk.
“Kenapa?”
“Patah kaki. Kecelakaan pas lomba terakhir.”
Tiara mendadak menelan air liurnya sendiri. Ia pikir, ia akan selamat, karena ia akan dibawa ngebut oleh atlet balap. Tetapi pikiran itu sirna sekektika ketika tahu yang memboncenginya ialah atlet balap nonprofesional dan pernah patah kaki akibat kecelakaan balap motor alias bawa motor ngebut. Tiara kehilangan akal menimpali jawaban Dewan.
Di batas gerbang sekolah, seseorang memanggil Dewan. “Kak Dewan!”
Dewan dan Tiara terhenti. Tiara melihat adik kelas perempuan yang tampak akrab dengan Dewan juga berhenti di dekat pos satpam. “Kak—”
“Aduh, Bi. Maaf banget, saya lagi enggak bisa ngobrol. Ada urusan sekolah, dah!”
Dewan menepak bahu Tiara dan mengajaknya turut bergegas ke parkiran. Tiara berjalan, tetapi pandangannya masih mengarah pada adik kelas yang dipanggil ‘Bi’ oleh Dewan. Adik kelas itu mengangguk pasrah dan melambaikan tangan, “Dah ….” Sementara tangan lainnya menggantung kecewa. Sebatang cokelat tergenggam di antara jemarinya.
Tiara serta merta merasakan perih yang pasti dirasakan si Bi.
“Dewan. Dia mau ngasih cokelat ke elo!” bisik Tiara penuh tekanan.
“Gue tahu,” Dewan mencari-cari motornya. “Bidadari memang ngasih cokelat ke gue setiap minggu.”
Tiara melongo. Namanya Bidadari? Indah banget.
“Ya, berarti dia suka sama lo!”
“Gue juga tahu.”
“Terus?”
“Tapi gue enggak suka.”
Yah, itu sih yang sakit. Dan Tiara tak dapat berbuat apa-apa. Soal rasa, memang manusia bukan ahlinya.
Tiba-tiba, tampak anak kelas sebelas IPS-3 di luar sekolah, sedang berlari-lari kecil dipimpin oleh Pak Indra, si guru olahraga tukang tebar pesona. Masih agak muda dan memang tampan, Tapi … enggak sadar usia dan status dirinya sebagai duda.
Sementara Pak Indra berteriak-teriak menyemangati, ada selewat sosok yang yang mengalihkan perhatian Tiara sepenuhnya. Lalu sosok itu betul-betul lewat.
“Hai, Ti!” Ghifari tersenyum lebar menyapa Tiara.
Dada Tiara menghangat dan jantungnya meloncat-loncat kegirangan. Ia memandang Ghifari dan membalas dengan senyuman paling manis yang pernah ia lukis. Sementara para pengintai—alias penggemar rahasia Ghifari yang mengintip lewat jendela-jendela kelas—meremas dan mengunyah kertas di tangan mereka penuh kesumat.
Tin!
Klakson motor Dewan berbunyi. Tiara terlonjak lagi dan menoleh ke belakang. Honda CBR 250RR berdiri tangguh bersama penunggangnya yang mengenakan helm tertutup.
Si penunggang membuka kaca helm, menampakkan hanya kedua mata dan tulang hidungnya. “Naik!” titah Dewan teredam helm.
Tiara naik. Tanpa lupa berdoa. Siapa tahu kakinya patah di jalan.
***