“Tabungan lo pasti habis buat beli moge gituan, ya?” tanya Tiara tak penting.
Sesampainya Tiara dan Dewan di SMA Sayap Negara, mereka segera turun dari motor dan berjalan tergesa-gesa menuju ruang kepala sekolah yang mereka tak tahu di mana letaknya. Ternyata mereka selamat sentosa sampai tujuan. Tiara sempat dibuat ketar-ketir selama perjalanan, karena Dewan betul-betul memangkas waktu yang semestinya tiga puluh menit baru sampai tujuan, jadi hanya lima belas menit, dan entah oleh apa, dunia sempat-sempatnya membercandai Tiara dengan tak memberikan kesempatan bagi mereka untuk diam sejenak di lampu merah, sebab setiap kali mereka tiba di perempatan, lampu berganti hijau, dan terus begitu.
Tak diragukan lagi, Dewan pasti atlet balap. Kalau bukan, Tiara pasti sudah masuk berita karena tewas di jalan.
“Maksud lo?” balas Dewan selagi mereka melangkah terburu mencari ruang berplang ‘R. KEPALA SEKOLAH’ sembari menghindari tatapan aneh dari siswa yang belum masuk kelas.
“Motor lo kenceng enggak kira-kira, kayak sekali gas, dua-tiga truk terlampaui.”
“Emang peribahasa.”
“Gak penting!”
Dewan terkekeh. “Moge maksud lo motor gede? Motor gede tuh enggak kayak gitu, bukan badannya yang gede, tapi cc-nya.”
“A-ah?”
“Ribet. Lagipula, motor kayak begitu dianggap biasa aja untuk komunitas pembalap. Kita lebih suka dan mengincar motor-motor unik untuk jadi kendaraan sehari-hari, kayak Vespa atau Harley. Kalau untuk motor balap, beda lagi, bahasannya udah masuk ke motor-motor yang kayak di MotoGP. Gue enggak mampu beli CBR itu kalau bukan hadiah dari uang yang dikumpul hasil lomba kecil-kecilan dulu.”
“Ah, iya deh enggak paham gue. Omong-omong ruang kepseknya di mana sih?”
“Tuh!” Dewan akhirnya menemukan plang bertuliskan ‘R. KEPALA SEKOLAH’
Kemudian mereka melewati sederet staf Tata Usaha dan meminta izin menemui kepala sekolah, atas nama siswa utusan Wakasek Kesiswaan SMA Mandraguna. Tiara menyerahkan surat yang sempat Pak Burhan berikan pada mereka, dan salah satu staf Tata Usaha segera memasuki ruang kepala sekolah. Dua menit kemudian, Dewan dan Tiara dipersilakan masuk.
Tiara kikuk abis. Ia tak terbiasa bicara pada petinggi sekolah dan orang-orang dewasa, maka ketika ditanyai oleh Kepala Sekolah bernama Bu Mega apakah kepentingan mereka, Tiara hanya bisa duduk manis seraya senyam-senyum canggung. Tiba-tiba saja kertas di genggamannya gemetaran, dan setelahnya, Dewan mengambil alih penuh perbincangan.
“Pak Burhan … ya, saya kenal. Ada apa kalian sampai kemari mendadak sekali? Untung saya sedang kosong,” jelas Bu Mega.
“Mungkin ini akan terdengar mengganggu dan bercanda, Bu,” jelas Dewan lihai dalam berbicara. Biasa, anak organisasi. “Tapi anak-anak sekolah kami dan sekolah ibu akan tawuran sekarang, dan kami datang dalam rangka mencegah—”
Tiba-tiba pecahan kaca dan pekik para siswi memecah kedamaian SMA Sayap Negara.
Kepala sekolah sempat tersentak kaget sejenak, tetapi kemudian melemaskan pundaknya dan memutar kedua bola matanya. Ketika gaduh mulai menyemarak, Bu Mega memandang dua tamu di hadapannya. “Ternyata kalian terlambat.” Bu Mega menghela napas. “Dan kekacauan ini terjadi lagi.”
Wanita itu beranjak dari bangkunya dan berterima kasih pada Tiara dan Dewan atas itikad baik mereka. Lalu ia segera menyentuh gagang telepon dan menyapa lawan bicara di seberang. “Halo? Kantor polisi?”
Tiba-tiba saja Tiara merasa sebal. Memang bukan urusannya mau tawuran ini terjadi atau tidak, tetapi ia benci karena kerusuhan tak berbobot ini egois. Ini mengganggu urusan pribadi banyak orang, merepotkan semua pihak—sampai polisi-polisi segala—dan ujung-ujungnya cuma berakhir keluar uang karena mesti berobat ke rumah sakit untuk luka-luka konyol yang mereka buat sendiri.
Tiara seharusnya tak berada di sini dan mengurusi perihal sepele macam begini.
IA SEHARUSNYA BISA MAKAN SOTO SAMPAI SELESAI, ANJIR!
Tanpa mengajak Dewan dan pamit pada Bu Mega, Tiara keluar ruang kepala sekolah SMA Sayap Negara. Ia mengikat rambutnya dan menggulung lengannya seolah-olah hendak terjun turut tawuran. Wajah Badar terbayang di kepalanya, dan memang orang itulah yang mesti ia temui dan ‘ajak bicara’.
Melihat gelagat Tiara yang sembrono, Dewan cemas sampai mulas. Tiara pasti akan berbuat ceroboh. Perempuan memang secara alamiah lebih dekat dengan emosi ketimbang logika, dan Tiara sepertinya terlalu condong ke ‘emosi’ tanpa ada pertimbangan pada logika. Dewan pamit pada Bu Mega yang tak menggubris, sebab terlalu sibuk melapor polisi.
“Ti!” panggil Dewan tak berbalas.
Baru mereka ke luar pintu, koridor sekolah tetangga tersebut disesaki oleh siswa dan siswi yang menjauh dari arena.
“Tiara!”
Tetapi Tiara tetap berjalan menuju arena.
Dari yang tampak, agaknya arena utama tawuran tadinya tidak di lapangan besar SMA Sayap Negara, melainkan tanah lapang di luar sekolah yang terlapisi pagar tak tinggi. Bagai air bah, gerombolan anak laki-laki berseragam SMA, dengan senjata masing-masing terlihat tumpah ruah melangkahi pagar tanpa pola dan melanjutkan pertarungan di lapangan besar SMA Taruna.
“Badar berengsek!” Tiara memekik hanya terdengar Dewan. Lalu gadis itu maju tanpa ragu.
“Tiara! Jangan!—permisi, permisi.” Dewan menyelap dan menyelip jejalan siswa demi meraih Tiara yang entah bagaimana sudah melangkah ke tengah lapangan. Gesit juga dia. “Tiara! Lo bisa kenapa-kenapa! Lo enggak punya senjata!”
Seolah mendengar teriakan Dewan, Tiara menarik benda terdekatnya; pemukul bola kasti yang tampak teronggok setelah dilempar begitu saja ke jalanan oleh siswa yang sedang dalam pelajaran olahraga. Kerusuhan terpampang di depannya.
Guru-guru yang mulai menyadari aksi nekat siswa sekolah lain yang tiba-tiba ada di sekolahnya, segera meneriaki Tiara untuk mundur selama polisi belum tiba.
Sejujurnya Tiara takut, tetapi yang ingin ia temui bukan tawurannya, melainkan Si Badar. Tiara mencari-cari mana anak yang berambut gondrong dan punya muka iseng minta digebok. Ketemu!
“Awas!!” Tiara berteriak sekencang-kencangnya, berharap siswa-siswa yang tawuran mendengar dan mundur kebingungan. Berhasil. Mereka berhenti dan membuka jalan bagi Tiara dengan wajah bingung—lebih-lebih heran, tak habis pikir, seolah tengah bertanya: dia gila ya?
“Awas! Awas lo!! Awas!” Begitu terus ia ulangi sampai beberapa suara dari jauh berteriak, ‘Woi! Cewek enggak usah ikut campur!’ tetapi Tiara menoleh ke arah sumber suara dengan wajah lebih garang dan teriakan lebih galak, “KALAU GITU JANGAN GANGGU MAKAN SIANG GUE, TOLOL!!” dan Tiara pun sampai di hadapan Badar masih dengan kegarangan yang sama. Sebelum yang bernama Badar menyadari keberadaannya, Tiara buru-buru mencuri start. “Heh, Bego!” Lalu satu hantaman pemukul bola kasti mendarat keras di kepala samping Badar.
Badar mengerang keras. “Siapa itu, Anjing?!”
“GUE, BIAWAK!”
Mendengar suara perempuan, Badar berbalik dan terkejut setengah mati. “Ti ... ti-ti—?”
“Ngomong jorok, gue pecahin biji lo pakai pemukul kasti!”
Tiba-tiba suasana hening, sampai-sampai terdengar suara tawa tertahan yang lebih mirip kentut. Ternyata Dewan mengikuti Tiara sampai ke batas arena, dan tawa tertahannya membuat semua partisipan tawuran menoleh ke arah Dewan. Dewan mati kutu, langsung ceming dan mengeluarkan dua jari. “Damai, Indonesiaku,” cicitnya.
“Lo, kalau mau tawuran, jangan bikin repot orang!” bentak Tiara persis ke wajah Badar yang melebihi tinggi wajahnya. “Makan siang gue enggak kemakan gara-gara elo dan temen-temen sok pahlawan lo ini! Lo pikir lo ngapain, hah?! Perang dunia?! Main game strategi?! Moblie Legend?! Terus jadi keren gitu? Enggak ada otak, lo semua! Gara-gara lo, gue jadi harus ke sini, padahal gue lagi istirahat!! Tanggung jawab! Mood gue RUSAAK!!!” Tiara menjerit nyaring melengking, sampai Badar harus tutup kuping.
Selagi tawuran terhenti, siswa dan siswi SMA Sayap Negara yang menepi di tiap-tiap koridor saling berbisik ribut, entah apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba sirene polisi yang kian mendekat mengiung. Badar dan kawan serta lawan tawurannya terkejut, penuh sigap mereka yang malas berurusan dengan aparat negara segera mengangguk ke tim mereka dan kabur meninggalkan lapangan SMA Sayap Negara—lewat dinding pembatas yang tak tinggi itu.
Badar tampak menautkan alis dan menelan kekesalan yang banyak pada Tiara, tetapi kemudian ia berlalu bersama anak-anak Warung Bambu, mungkin menuju sarang masing-masing.
Sebelum polisi betul-betul memasuki sekolah, riuh tepuk tangan pelan-pelan mengisi tiap-tiap koridor, bahkan sampai guru-guru. Tiara menoleh karena penasaran apa yang sedang terjadi. Tak ada yang terjadi. Hanya saja, semua orang menepuk tangan seraya memandang Tiara. Termasuk Dewan, yang baru tepuk tangan belakagan, disertai senyuman, dan juga menatap Tiara.
Semua orang menepuki Tiara.
Serius?
Mau tak mau, Tiara dibuat tersipu. Ia tersenyum malu dan mengangguk kaku ke arah orang-orang.
Yah, bisa dibilang misi Pak Burhan yang diemban padanya berhasil dilakukan. Tawuran memang terjadi, tapi tak sampai menyara bara sebagaimana yang pernah terjadi. Siap-siap daftar jadi peserta Olimpiade Sains tingkat Provinsi nih.
Yang tampak di mata Tiara hari ini memang menyenangkan. Tapi, itu cuma karena Tiara tak tahu apa yang menanti setelahnya.
***