Pak Burhan tak membual. Benar bahwa Tiara dan Dewan yang berhasil mencegah keributan di SMA Sayap Negara membawa mereka pada kelolosan nama mereka yang kini sudah terdaftar sebagai peserta Olimpiade Sains tingkat provinsi. Selain itu, nama Tiara langsung meroket di kalangan SMA Mandraguna.
Sepulang dari SMA Sayap Negara hari itu, Tiara segera dihujani tatapan beragam—yang tak pernah ia sukai—dan berakhir pada Kinan yang berseru heboh, bangga pada kawannya yang baru saja melakukan aksi heroik. Anaya juga menunjukkan kekagumannya, meski perempuan itu sih tetap kalem sebagaimana biasa.
Tak hanya nama Tiara, ekstrakurikuler Bimbingan Belajar juga jadi semakin dilirik dan kabar dari Wira, jumlah pendaftarnya bertambah. (Kumpul perdana diundur akibat kerusuhan tak terduga itu), tetapi Badar jadi tak memunculkan batang hidungnya di antara mereka.
Kepergian Tiara dan Dewan rupanya membuahkan sedikit kenakalan bagi mereka berdua. Setelah mendapat telepon dari Pak Burhan bahwa mereka mendapatkan ‘hadiah’ itu, mereka tak langsung kembali ke sekolah, melainkan melipir sejenak di warung soto ayam pinggir jalan.
Dewan yang tadi mendengar Tiara menjeritkan “… MAKAN SIANG GUE!! …” di tengah lautan laki-laki tawuran, segera ingat bahwa ia juga turut berperan mengganggu makan siang soto ayam gadis itu, maka demi menebus rasa bersalahnya, ia mentraktir perempuan itu makan soto ayam lagi, dan rupanya Tiara senang bukan main.
“Sumpah? Serius?! Makasih banget, Dewan! Gue laper banget, gila!!” tanggapnya.
“Hehe, kelihatan kok.”
Lalu mereka pun makan. Selepasnya, jalan-jalan sejenak di atas motor, mengelilingi kota. Baru ketika jam pulang sekolah, mereka kembali ke SMA Mandraguna.
Dasar licik.
Tiara, ditemani Kinan dan Anaya segera mengambil ranselnya di kelas untuk bergegas pulang ke rumah Anaya. Ya, ada PR yang mereka tak mau kerjakan sendiri-sendiri, dan karena jarak sekolah ke rumah Anaya bisa ditempuh jalan kaki, mereka segera memutuskan untuk mengerjakannya di rumah Anaya. Jarak rumah gadis itu yang dekat sudah puluhan kali jadi sasaran Kinan dan Tiara untuk main dan menginap.
Ketika Tiara, Kinan, dan Anaya hendak berjalan ke luar gerbang, mereka terjebak oleh kerumunan orang yang juga hendak keluar sekolah. Dan Tiara terpaksa berhenti oleh sepasang tatapan yang membidiknya. Dingin dan menusuk.
Tiara membeku.
Senior perempuan, dengan alis indah, mata tajam, hidung mancung, dan bibir bergincu merah muda memandangnya sengit dan penuh ancaman. Di belakangnya, berdiri dua perempuan lagi, menatap Tiara dengan tatapan serupa, namun kalah cantik dengan yang pertama menatapnya.
Lalu tatapan itu pergi.
Tiara meleleh sampai sedikit oleng.
“Eh, kenapa lo?” tanya Kinan.
Melihat gerakan mata Tiara, Kinan dan Anaya mengikuti arah Tiara menatap. Tiara tahu wajah itu. Tiara tahu senior itu. Tiara tahu ‘geng’ itu. Tiga putri sekolah yang adalah anggota Warung Bambu. Ratu dari mereka semua adalah Zelda. Perempuan supercantik yang tadi memandangnya bak psikopat. Pacar pemimpin Warung Bambu sekarang, si raja sekolah; Kurniawan Badar.
Sama seperti Badar yang punya reputasi buruk, Zelda punya predikat yang selalu tersemat di punggungnya; Si Cantik Bermata Ular. Konon tatapannya bisa mematikan lawan bicara atau lawan berantemnya, karena mengandung ‘bisa’ yang melumpuhkan.
Tiara paham, sih. Dia saja sampai oleng.
Tapi, Badar? Reputasi buruk? Apanya yang buruk dari Badar? Culun gitu.
“Ra?”
“Ah? Eng-enggak. Gue enggak apa-apa.”
Mendadak ponsel Tiara berdering. Panggilan dari Dewan. Tiara segera mengangkatnya.
“Halo?” sapa Tiara.
“Ti, kumpul Bimbel ayo.”
Tiara memutar bola mata kesal. “Kan diundur?!”
“Iya, ini mendadak.”
Tiara diam sejenak. Ia baru sadar. Ini bukan suara Dewan. “Ini bukan Dewan ya?”
“Ini Wira.”
“Dewan mana?”
“Di sini. Tapi enggak bisa ngomong.”
Jantung Tiara berdegup. Rasanya ada yang tak benar.
“Dia kacau. Digebukin anak Warung Bambu. Cepet dateng ke sekre. Udah ada gue, Ghifari, dan Diman.”
Tiara hampir menganga. “I-iya, gue ke sana.” Dan Tiara segera menutup telepon.
Rupanya, mimik panik Tiara terlalu kentara, karena Anaya segera menanyakan ada apa. Dan lagi-lagi Tiara harus meminta maaf karena ada urusan mendadak dengan ekstrakurikuler Bimbingan Belajar. Namun, ia tak bilang Dewan babak belur. Kinan dan Anaya tak bisa berbuat apa-apa selain kecewa dan melambaikan tangan. Selepas kedua kawan Tiara itu pergi ke rumah Anaya, Tiara segera berlari menuju bekas laboratorium komputer yang sekarang menjadi ruang sekretariat ekstrakurikuler mereka.
***
Tiara ngos-ngosan di depan pintu ruangan. Pandangannya menyapu sekeliling, dan segera menemukan empat laki-laki duduk di tempat yang berbeda-beda. Satu dari mereka berselonjor di ubin berkarpet, wajahnya merah-biru—bonyok. Satu laki-laki berkacamata berupaya menggerakkan minyak kayu putih di hidung si bonyok agar siuman.
Tiara masuk ruangan dan menutup pintu. Ia sempat mampir ke UKS sekolah untuk meminjam obat merah, alkohol, perban kasa, dan kapas. Jika kawan-kawannya tak membawa Dewan ke UKS, artinya kondisi ini memang dirahasiakan.
Tiara duduk di samping Dewan yang pingsan. Baru saja siang ini Tiara menyantap soto ayam dengannya, dengan wajah lelaki itu yang senantiasa jenaka dan berseri-seri, sekarang wajah itu sudah bengkak sana-sini, merah di dahi, biru di pipi, serta berdarah di ujung bibir.
“Dia pingsan?” tanya Tiara pelan.
Wira mengangguk.
“Bantu gue,” titah Tiara. “Pinggirin kursi-kursi rodanya.” Ghifari, Wira, dan Diman bergerak, sementara Tiara menahan tubuh dan kepala Dewan yang semula bersender ke salah satu kursi. “Tas dia mana? Selipin ke bawah kakinya.”
Ghifari mengambil tas Dewan, lalu menyelipkannya ke bawah kaki Dewan. Hingga posisi Dewan kini telentang dengan kaki sedikit terangkat ke atas.
“Oke, udah. Lo terus kasih aroma minyak kayu putih, Wir.”
Wira menurut.
Lalu Tiara memandang alat-alat P3K bingung. “Gue enggak ngerti lagi. Apanya dulu sih yang dipakai?”
“Alkohol, terus obat merah,” balas Wira. “Kok lo ngerti cara menangani orang pingsan, tapi enggak ngerti ngobatin luka?” tanya Wira kritis pada Tiara.
“Gue pernah lihat cara tim medis menangani temen ekskur Badminton gue yang pingsan. Tapi gue enggak pernah lihat orang luka diobati. Jadi, enggak tahu urutannya.”
“Lo harus tahu. Itu ‘kan dasar banget.”
Tiara tersinggung. “Emang kenapa sih kalau gue enggak tahu? Salah banget apa?”
“Gue cuma kasih tahu.”
Tiara memutar bola matanya dan mulai menyentuhkan alkohol pada memar dan baret-baret ringan di sekujur wajah Dewan. “Gimana caranya dia bisa kayak gini?”
Ghifari mengusap keringat di dahinya dengan lengan kausnya yang berwarna putih. “Gue iseng keluar kantin lewat pintu belakang, pengin jalan-jalan. Terus gue kaget ngeliat ada orang tergeletak pingsan. Pas gue lihat, Lah Dewan. Panik gue. Terus nelepon anak Bimbel.”
Tiara berhenti sejenak. “Terus darimana kalian tahu dia digebukin anak Warung Bambu?”
“Ya … itu enggak perlu dijelasin enggak sih? Elo yang bareng dia dan tahu semua kronologinya masa masih nanya?” lagi-lagi Wira menimpali.
“Ya kalau bukan gimana? Lo fitnah dong,” Tiara mulai kesal.
“Buktinya Badar ditelepon enggak datang,” balas Wira belum berhenti.
“Ya—dia kan habis tawuran!”
“Terus lo memaklumi dia karena habis tawuran, sementara temen lo—”
“Enggak kayak gitu!”
“Kayak gimana?”
“Suara lo berdua masuk mimpi gue, anjir ….”
Semua kepala menoleh ke arah Dewan. Ternyata ia sudah bangun. Ketika ia hendak duduk, kepalanya kembali terkulai.
“Aduh, pusing.”
“Diem. Gue obatin.”
Setelah alkohol, Tiara berganti obat merah yang membuat Dewan berjengit-jengit.
Setelah Dewan bisa duduk, Tiara dan Wira yang sejak tadi berdebat akhirnya menemukan kejelasan. Dewan memang dipukuli anak-anak Warung Bambu. Dewan dianggap mencampuri urusan mereka, dan menjadikan mereka harus membayar sesuatu yang Dewan tak paham—akibat dianggap kalah tawuran. Padahal, Tiara bisa bilang ketimbang kalah, tawuran itu gagal kedua belah pihak. Tetapi Tiara tak benar-benar tahu.
“Ayo, kita lapor ke Pak Burhan!” gegas Tiara.
Dewan menahan tangan Tiara. “Enggak usah. Urusan beginian bukan urusan sekolah. Jangan bikin semakin rumit.”
“Ya terus elo gimana?! Anak Warung Bambu harus tanggung jawab lah!”
“Gampang.”
Sore itu, mereka pulang ke rumah masing-masing. Kecuali Tiara yang menyusul ke rumah Anaya, dan Dewan yang menumpang menginap di rumah Ghifari (Ghifari menawarkan rumahnya untuk diinapi, ia pula yang membawa motor Dewan sekalian mengantarnya.). Dewan tak ingin mengambil risiko ditanya-tanya orang tuanya. Ia lebih memilih berbohong pada kedua orang tuanya tentang kerja kelompok yang mengharuskannya menginap.
***
Malam itu, Tiara masih terjaga dan menemukan status seseorang sedang merekam remaja laki-laki dengan wajah tersensor emoticon tertawa. Terdengar Ghifari tertawa terkikik-kikik. Lalu teks di bawahnya tertulis: korban rebutan sembako.
Itu status Ghifari beberapa jam lalu, dan orang di dalam videonya mestilah Dewan.
Tiara tertawa. Ia membalas dengan mengetik: jahat lo, Ghif.
Tak ia sangka, pesannya dibaca, dan dibalas dengan cepat.
Ghifari: Wkwk.
Tiara: Ketawa lagi
Ghifari: Hehe
Ghifari: Blm tidur, Ti?
Tiara mendadak dibuat deg-degan membaca pesan terakhir yang dikirim Ghifari. Tiara mengecek jam di ponselnya. Pukul setengah satu malam.
Tiara: Belum. Klo gue tidur, ini lo chat sama siapa?
Ghifari: Wkwk.
Hening. Tiara menunggu. Udah? Wkwk doang?
Ghifari: (mengetik …)
Ghifari: Tidur sana. Udah malem.
Tiara tersenyum. Ia menggigir bibir bawahnya, dan hilang sudah kantuk dari matanya.
Tiara: Gak ngantuk. Lo sendiri kenapa enggak tidur?
Ghifari: Masih nonton NBA. Lagi seru
Tiara: Wah, streaming?
Ghifari: Enggak. Download dari Drive ekskul. Sebentar lagi kami tanding.
Tiara: Ih, gue juga!
Ghifari: Oh ya? Tanding apa?
Tiara: Badminton
Ghifari: Wah.. good luck, Ti.
Tiara: Bisa enggak jangan panggil gue Ti? Ti tuh ergh.. :/
Lama tak ada balasan. Tiara mulai cemberut. Matanya yang semula semangat mulai mengantuk, sampai satu notifikasi muncul lagi.
Ghifari: Ar.
Tiara: Gak gitu!
Ghifari: Ti.
Tiara: ish.
Ghifari: :P
Ghifari: (stiker pantat)
Tiara kesal, tetapi ia tertawa. Pipinya bersemu merah. Lalu ia menenggelamkan wajah panasnya ke balik selimut. Entah menyembunyikannya dari siapa.
Pantas saja Ghifari banyak penggemarnya. Ia orang yang sangat humble dan menyenangkan. Tipe laki-laki yang tak sadar dirinya seganteng itu!
Tiara: Ini semua gara2 Dewan!
Ghifari: Orangnya lagi bonyok dih, parah.
Tiara: Iya, maap
Ghifari: (stiker pantat)
Tiara tertawa lagi.
Tiara: Terobsesi banget lo sama kartun mamerin pantat?!
Ghifari: Lucu kan
Tiara: Pala lo!
Ghifari: Itu pantat, Ti, bukan pala gue ….
Tiara: WKWKWK
Dan perbincangan baru berhenti pukul tiga pagi.
Tiara puas. Ia jadi lebih dekat dengan Ghifari hanya gara-gara status: Dewan si korban rebutan sembako.
***