[ 7 ] - Rumor Si Raja Sekolah

Kumpul perdana Bimbingan Belajar diputuskan jatuh pada hari ini. Dalam keadaan Dewan masih agak bonyok, dan tanpa Badar—tak ada yang betul-betul mau memaksa dia untuk hadir dan bertahan di Bimbingan Belajar.

Hari itu sepulang sekolah, ruang bekas laboraturium komputer dijejali banyak siswa. Mulai dari kelas sepuluh, sebelas, sampai dua belas. Mereka didominasi perempuan, namun bukan berarti yang laki-laki tak banyak.

Dewan baru selesai rapat OSIS (anak itu ternyata anggota Sekbid Hubungan Internal). Ia terlambat beberapa menit untuk kemudian masuk gerasak-gerusuk, dan melepas almamater OSISnya. Tiara sudah duduk di meja tinggi, di hadapan semua calon anggota Bimbel.

Melewati satu hari, rupanya luka-luka di wajah Dewan tak lenyap begitu saja. Hal itu kontan membuat para calon anggota menoleh ke arahnya penuh tanya.

“Absen udah jalan?” tanya Dewan selaku ketua.

“Baru selesai dibuat,” balas Tiara selaku sekretaris.

“Langsung diedar aja.”

Tiara baru akan berdiri mengedarkan, tetapi Ghifari yang mendengar petunjuk dari sang ketua segera menghampiri Tiara.

“Biar gue,” ujar Ghifari seraya menarik lembaran kertas dengan tabel hasil tulis tangan Tiara.

“Eh, kan gue sekretarisnya,” bisik Tiara.

“Ya justru itu, biar lo bisa fokus tulis yang penting-penting dari pertemuan ini.” Ghifari berjeda. “Aduh, gimana sih Ti,” ejeknya disertai tawa pelan.

Tiara melotot. “Berisik ya!” balas Tiara turut berbisik.

Ghifari berhenti berjalan, lalu membelakangi Tiara dan nyaris menepok pantatnya sendiri, meniru stiker andalan yang ia beri semalam.

Tiara memukul bahu Ghifari menahan tawa, ia semakin melotot tak habis pikir dibuatnya. Sementara Ghifari hanya melempar cengir dan berjalan menjauh masih dengan rekahan senyum yang hangat itu.

Tiara masih memperhatikan Ghifari kala lelaki itu menyerahkan absensi pada baris meja pertama. Perempuan yang menerimanya saja segera salah tingkah.

Ghifari berjalan terus hingga dinding belakang kelas, kemudian bersandar di sana. Meletakkan kedua telapak tangan ke dalam saku, lalu terpejam. Ia tidur.

Tiara menunduk. Menahan tawa dan gemas. Ia tak tahu Ghifari yang dibicarakan orang-orang betul-betul semenarik ini.

“Tiara?” suara Dewan masuk ke telinga Tiara.

“H-Hah?!” Tiara terkejut dan gelagapan.

Dari kejauhan, Wira si sipit berkacamata memandanginya. Satu alis matanya naik; kesal.

“Tolong ditulis.”

Tiara diam sejenak. “Apanya?”

Dewan berkerut kening heran. “Kontak yang bisa dihubungi.”

“Oh.” Tiara segera menuliskannya di buku tulis tempat ia mencatat notulensi pertemuan.

“Ti,” panggil Dewan lagi.

Tiara menoleh.

“Di papan tulis.” Ia menunjuk papan tulis seolah Tiara adalah orang bodoh yang tak paham bahasa.

Agaknya, Dewan telah mengatakan itu dengan lantang, tetapi Tiara tak dengar. Sial. Ia pasti kelihatan tolol setengah mati. Gara-gara Ghifari!

Tiara bergerak ke papan tulis dan menulis nama Badar dan Ghifari beserta nomor mereka. Kemudian, Dewan mulai memperkenalkan diri dan anggota lain selaku pengurus: Dewan sebagai ketua umum, Badar sebagai wakil ketua, Wira sebagai bendahara, Tiara sebagai sekretaris, Ghifari sebagai penanggung jawab anggota, dan Diman sebagai penanggung jawab jadwal kegiatan.

Selagi Dewan masih melancarkan pidatonya, tiba-tiba decit sepatu yang rusuh dan gerasak-gerusuk heboh mengusik pintu masuk dengan gebrakan. Seseorang seolah habis berlari menuju ruang sekre Bimbel, lalu terpeleset ketika hampir sampai di depan pintu.

Itu Badar.

Dengan rambut kusut gondrongnya, dasi longgar, kemeja sekolah berantakan dan celana SMA yang dipensil. Ternyata ia betulan terpeleset sampai sepatunya terlepas. Tanpa aba-aba dan sapaan pada para anggota, ia segera masuk dan berjalan ke belakang, menyejajarkan posisi dengan Ghifari yang sudah terbangun (kaget oleh gebrakan pintu).

“Sori, gue telat,” ujarnya pelan pada Ghifari.

Ghifari kembali menutup mata. “Santai.”

Pelan-pelan kepala para kaum hawa mulai sering menoleh-noleh ke belakang, karena dua cowok ganteng mendadak berpose di belakang ruang bekas laboraturium komputer itu.

Ketiba-tibaan lain menghampiri. Sebuah salam dari suara yang dalam menghambur dari arah luar. Kemudian dua sosok pria muncul. Satu adalah Pak Burhan, sementara satu lagi lelaki setengah baya tanpa seragam. Ia mengenakan kemeja rapi dan celana bahan. Tatapan dan langkahnya berkarisma.

Dewan menoleh, dan segera menunduk sopan, mempersilakan tamu tersebut memasuki ruang kelas. Tampaknya Dewan mengenali pria berkemeja necis itu.

Pria itu tersenyum, sangat tipis. Kemudian memasuki kelas bersama Pak Burhan. Ia mengangguk pada Dewan.

Wajah pria itu tak asing. Bukan karena Tiara pernah melihat, hanya saja wajahnya mirip seseorang. Pria setengah baya itu mirip … Badar.

OH!

Dewan melipir ke sebelah Tiara setelah mempersilakan pria itu berdiri menggantikan posisinya tadi.

Pria setengah baya itu lalu mengucap salam.

Tiara menarik kemeja Dewan. Dewan sedikit membungkuk, mendekatkan telinganya pada Tiara.

“Itu … Pak Kurniawan?” bisik Tiara sepelan mungkin.

Dewan mengangguk.

Pak Kurniawan. Komite sekolah. Ayahanda dari Kurniawan Badar, Si Raja Begundal Sekolah, katanya.

Tiara tak sengaja melirik Badar. Lelaki itu memandang ke arah selain wajah ayahnya. Sejak hari kemarin, Badar tak pernah menampakkan batang hidungnya dalam pertemuan Bimbel. Tetapi kali ini, tiba-tiba saja ia memunculkan diri, meski dengan etika dan penampilan yang sama sekali tak siap. Tepat beberapa menit sebelum ayahnya hadir.

“Jadi, ini Bimbingan Belajar?” suara Pak Kurniawan menggema dalam. Ia melirik Dewan seklias, yang dibalas anggukan sebagai jawaban. “Baik. Maaf mengganggu pertemuan kalian sejenak. Kehadiran saya di sini sebetulnya tanpa sengaja.” Ia terkekeh, yang agak menyeramkan—dan membuat para murid di ruangan turut tertawa karena takut. “Dan kebetulan pertemuan pertama ekstrakurikuler Bimbingan Belajar. Jadi, saya minta tolong kepada Pak Burhan untuk mengantarkan saya ke mari. Ada sedikit fakta yang ingin saya sampaikan,” ujarnya sambil berganti posisi. “Pertama, ekstrakurikuler ini memang usulan saya kepada Pak Burhan dan kepala sekolah. Saya, selaku komite SMA Mandraguna tentu menginginkan reputasi baik sekolah kita mengenai pendidikan untuk bisa dipertahankan.”

Pak Kurniawan memberi jeda beberapa waktu. “Oleh sebab itu, salah satu solusi paling jitu adalah membuat komunitas dalam rangka membina para akademisi berbakat seperti kalian. Kedua, kalian bebas membuat inovasi apa saja dalam rangka memeriahkan ekstrakurikuler ini—selama sifatnya membangun komunitas. Kalian hanya perlu membuat proposal. Soal akomodasi …” Pak Kurniawan berdeham, lalu membuat isyarat uang dengan jarinya. Gelak tawa ringan mengambang di seisi ruangan. “Jangan khawatir. Langsung dari saya, tanpa menyentuh kas sekolah.” Ia mengedipkan satu matanya pada Pak Burhan. Pak Burhan tertawa.

“Ya, saya rasa itu saja. Nak Dewan, terima kasih.”

Dewan mengangguk. “Terima kasih kembali, Pak.”

Kemudian Pak Kurniawan meninggalkan ruangan, bersama Pak Burhan. Dewan melanjutkan pembicaraannya. Sementara Tiara turut mendengarkan rencana kegiatan yang Dewan paparkan secara sederhana, Tiara melihat gerak-gerik Badar yang tampak gelisah. Dan benar saja, beberapa saat kemudian, ia meninggalkan sisi belakang, dan berjalan hendak meninggalkan kelas juga.

Tiara baru akan teriak, tetapi Wira menarik kemeja lelaki itu. “Mau ke mana?” Tak terdengar, namun gerak bibir Wira terbaca oleh Tiara.

“Toilet,” balas Badar.

“Tahan dulu, sebentar lagi selesai. Bantuin Diman.”

Badar terlihat kebelet cabut, karena pintu tinggal selangkah lagi darinya, namun ia menghela napas dan berjalan malas ke samping Dewan. Ia berjongkok tak tahu malu.

“Badar, ada tambahan?” tanya Dewan yang rupanya telah selesai berpidato.

Badar menggeleng.

“Oke, kalau gitu pertemuan pertama kita sampai di sini. Absen udah selesai?” tanya Dewan tanpa beban, padahal di sampingnya ada bos dari para pengeroyoknya tempo hari.

Ghifari menyerahkan absensi yang sudah penuh pada Dewan.

“Sip. Untuk mentor dan kelompok belajar akan kami umumkan malam ini. Pastikan internet kalian aktif dan jangan lupa masuk grup. Oke?”

“Oke, Kak ….” Suara serempak itu bicara. Rupanya ruangan didominasi kelas sepuluh. Meski Tiara bisa melihat beberapa siswa sebayanya dan senior. Dan mereka orang-orang yang rajin belajar.

Lalu orang-orang berhamburan keluar. Tiara melihat tiga siswi mendekat pada Ghifari, lalu menyodorkan ponsel mereka. Ghifari terlihat kebingungan, kemudian mengangguk. Setelahnya, perempuan-perempuan itu sudah berfoto selfie dengan Ghifari. Besar juga nyali mereka.

“Makasih, Kak!” lalu ketiganya lari kegirangan.

Tak hanya itu, Tiara juga melihat sosok yang ia kenali sekilas waktu itu. Perempuan juga, adik kelas juga. Dan ia sedang menyapa sang ketua Bimbel. Yang disapa membalas dengan senyum acuh tak acuh. Lalu siswi itu pergi. Itu Bidadari.

Sebagaimana biasanya organisasi, selepas kumpul, pasti para petingginya keluar belakangan, karena mereka berembuk lagi.

Pintu laboraturium ditutup, agar AC ruangan terasa. Lalu mereka semua sudah membuat lingkaran tak rapi. Tiara duduk bersama kertas-kertas, di antara Diman dan Ghifari.

“Lah, muka lo kenapa, Wan?” Badar bertanya, hampir tertawa.

Dewan yang sedang fokus dengan catatan-catatannya sendiri, tiba-tiba teralih dan memandang Badar lama. Bahkan yang lain juga. “Ngelucu lo?” sarkas Dewan.

“Gue nanya, kenapa jadi ngelucu, kocak.”

“Kepala lo kocak.”

Badar tertawa.“Kepala gue? Muka lo tuh kocak.”

Dewan betul-betul berhenti dari kesibukan di tangannya, lalu tiba-tiba ia meninju wajah Badar.

Semua terkejut. Tak ada yang menduga Dewan akan menonjok, maka tak ada yang sempat menahan. Baru setelah Badar mundur terhuyung, Ghifari buru-buru berpindah dan menahan Dewan. Tiara beringsut sejauh mungkin, sementara Wira dan Diman masih terkejut memandang Dewan dan Badar.

Badar melepas tangan dari hidungnya. Tak berdarah, tetapi memar memerah. Ia melirik Dewan bingung.

“Pengecut,” geram Dewan. “Anak-anak buah lo, anak Warung Bambu, semua beraninya keroyokan! Lo bahkan enggak nongol waktu anak-anak lo mukulin gue. Kenapa, hah?! Takut lo?!” Dewan lepas kendali.

“Wan, santai,” bisik Ghifari sembari menahan lengan Dewan.

“Santai?! Muka gue dibonyokin seenak jidat mereka, lo bilang santai?!”

Badar memandangi penyerangnya, mencerna kata-katanya. “Anak-anak Warung Bambu? Mukulin lo?” tanyanya.

Napas Dewan tak beraturan, tetapi rupanya ia telah puas dengan satu tonjokan.

“Gara-gara lo sama Tiara ikut campur tawuran kemarin?” tanya Badar, masih seperti orang tolol.

Tiara kira, Badar akan melanjutkan dengan: kok Tiara enggak ikut dikeroyok?

Namun, rupanya tidak. Badar cuma diam, garuk-garuk kepala. Lalu mengela napas yang terdengar berat. “Siapa?”

“Mana gue tahu!” Dewan berangsur tenang, tapi masih ngegas. “Tiga orang, junior! Enggak kenal mukanya.”

Badar diam lagi. Beberapa saat kemudian, ia kembali santai dan memandang rekan-rekan Bimbel dengan kepolosan yang hampir tak dibuat-buat. “Yaudah, lanjut aja dulu rapatnya lah. Lama nih gue enggak ikut.”

Dan semua anggota Bimbingan Belajar bingung.

Dewan memandangi Badar masih dengan kemarahan, tetapi kali ini lebih pada heran. “Kesambet apaan sih lo? Aneh banget gerak-geriknya.”

“Enggak kesambet apa-apa, kok.” Badar menoleh ke arah Tiara. “Ya kan, Ti?”

“Hah? Kok gue?” Tiara bingung.

Tak ada timpalan. Rapat kembali dilanjutkan.

Sumpah, random banget Si Badar.

***

“Hm, gue enggak heran sih,” jawab Kinan lewat ponsel. Wajahnya putih seperti kunti karena ia sedang maskeran.

Malam ini, Tiara, Kinan, dan Anaya video call-an bareng. Di antara mereka bertiga, Kinan memang yang paling merawat kulitnya. Ia mahir menggunakan make up dan kalau malam selalu mengenakan masker wajah. Anaya, cantik-cantik begitu, tak terlalu mengenal kosmetik dan alat rias. Ia menjaga tubuh, tapi sebatas makanan, krim siang-malam, dan body lotion. Sementara Tiara, ketimbang tak terlalu peduli, lebih kepada tidak peduli. Ia adalah gadis blangsak yang percaya asupan seimbang cukup untuk tubuh yang sehat. Jadi, andalan untuk wajahnya hanya sabun pencuci wajah. Udah.

“Maksud lo ‘enggak heran’?” balas Tiara menanggapi Kinan sambil memandangi dua wajah kawannya dalam ponsel. Ia baru saja asal ceplos bercerita tentang kumpul perdana Bimbingan Belajar sore tadi, jadi ia menceritakan Dewan yang memukul Badar dan kelakuan Badar yang aneh.

“Ya … kalau dari rumor yang beredar sih—”

“Hm, gosip terus,” potong Anaya.

“Berisik lo, Nay!—duh kan masker gue retak—iya, Ra. Jadi, kalau dari rumor yang beredar tuh katanya, Badar punya kepribadian ganda. Ada juga yang bilang dia bipolar. Intinya, dia bakalan beda ketika di tongkrongan sama ketika di luar itu. Entah pas di sekolah, keluarga, ya gue enggak tahu lah, pokoknya yang lo lihat sehari-hari di sekolah itu versi terangnya dia, sedangkan yang enggak pernah lo tahu, yang enggak pernah dia perlihatkan di depan kita-kita, itu versi gelapnya. Jadi, berita tentang dia pentolan tawuran, suka gebukin orang, pernah masuk penjara gara-gara bikin sekarat anak orang, itu semua bener.”

Anaya menyemburkan tawa.

“Anaya najis ih, gue serius!” maki Kinan.

Sedangkan Tiara masih mikir-mikir.

Meski perbincangan tentang Badar tak berlangsung lama, rumor tentangnya masih saja terngiang-ngiang di kepala Tiara. Terlebih, setelah apa yang Tiara saksikan keesokan harinya, sepulang sekolah. Di markas anak-anak Warung Bambu.

***