[ 8 ] - Ini Markas apa Sekte?

Hari ini Tiara pulang ketika langit sudah gelap. Anggota ekstrakurikuler Badminton mengadakan latihan ekstra sekaligus penilaian dalam rangka seleksi tanding. Yap, tak semua anggota akan ikut tanding, melainkan dua perempuan dan dua laki-laki.

Tiara pikir, dirinya cukup baik dalam olahraga bulutangkis. Meski mungkin jauh dari mahir, tapi setidaknya ia gemar, dan selalu menikmati waktu yang berlalu ketika ia sedang bermain badminton. Dan latihan hari ini cukup membuatnya puas.

Seraya menyeka keringatnya, Tiara menenggak air mineral dan melambai pada kawan-kawan anggota Badminton yang sudah berjalan pulang. Pelatih ekskul tersebut juga sudah pamit dan akhirnya meninggalkan Tiara sendiri.

Karena tak punya pacar pun supir dan abang yang baik hati (abang Tiara bodoamatan dan memang sedang kuliah di luar kota), Tiara harus menelepon jasa antar online untuk menjemputnya dari sekolah.

Ketika Tiara baru akan menekan pesan, suara seorang perempuan memanggilnya.

“Hai, sibuk enggak?”

Tiara menoleh. Shit. Itu Si Ratu Sekolah dan dua dayang-dayangnya yang waktu itu berpapasan dengannya. Si Ratu Sekolah senyum, tapi kedua matanya yang tajam tak bisa menyembunyikan culas di wajahnya.

“Y-ya?” jawab Tiara gagap.

“Masih ada acara enggak habis badminton?”

“Mm … enggak, Kak.”

“Gue mau ngobrol bentaran aja, boleh?” Zelda tersenyum lagi. Serem.

Sebetulnya Tiara ingin menolak, tetapi sumpah, ia yakin meskipun pertanyaan itu bentuknya tawaran, sebetulnya tiga cewek itu sengaja memojokkan Tiara supaya takut sehingga tidak punya pilihan lain. Dan, itu terjadi.

“Boleh,” balas Tiara akhirnya.

Zelda mengangguk. “Oke, di atas ya, enggak apa-apa kan?”

Di atas. Maksudnya adalah markas geng Warung Bambu. Mampus.

Tiba-tiba Tiara degdegan setengah mati.

“Iya, enggak apa,” Tiara mencoba tersenyum sambil menelan liurnya.

“Sip. Yuk.”

Lalu tiba-tiba saja Tiara sudah berjalan sejajar dengan mereka bertiga. Ia seperti bebek di antara para angsa. Sialan.

“Lo Tiara, kan? Kelas sebelas MIPA dua?”

“Iya, Kak.”

Zelda terkekeh-kekeh ke arah dua temannya. “Bener. Takutnya gue salah orang, kan tolol banget kalau sampai salah.” Mereka tertawa.

Tiara nyengir aja.

Mereka berjalan ke luar sekolah, ke arah parkiran. Tiara sempat menoleh ke arah belakang, berharap seseorang yang ia kenal memanggil dan membuat Tiara mendadak tak bisa ikut Zelda dan dua kawan setianya yang akhirnya Tiara ketahui bernama Chika dan Poppi. Namun, tak ada yang terjadi. Tiara tetap terseret menuju parkiran.

Melewati parkiran, mereka lalu menembus pagar kawat dan menemui undakan tangga batu yang terlihat tua dan berlumut. Mirip tangga candi. Buset.

Dan mereka naik.

Jadi, ini jalan menuju markas Warung Bambu yang dibicarakan orang-orang. Selama Tiara sekolah di Mandraguna, tak pernah sekalipun terbesit di pikirannya akan pernah berjalan menuju ke sana, bahkan banyak dari siswa yang tak tahu arah menuju kemari. Bukan karena tak penasaran, tapi karena mereka tak mau sampai ikut campur.

Tiap undakan membuat Tiara semakin takut. Ia seolah-olah sedang jadi bahan persembahan sekte gelap. Tapi, tenang. Tiara menarik dan menghela napas. Tiara cuma akan bertemu anak-anak sekolah yang sedikit lebih bandel darinya, bukan kanibal pun penyembah setan. Ia takkan dimutilasi untuk dijadikan tumbal.

Tiara sampai.

Jajaran motor yang menyerupai parkiran berantakan menampang, seolah membuka jalan bagi anggota Warung Bambu yang akhirnya selesai menapaki tangga candi terakhir, lalu menuju warung sederhana yang dikelilingi pohon-pohon bambu besar. Oh, jadi ini alasan mengapa mereka menamai diri Warung Bambu. Bertengger dua laki-laki di bangku panjang tempat duduk pelanggan Warung Bambu, beberapa duduk bercangkung di tikar yang tergelar, sisanya bermain kartu sambil ngopi-ngopi di balai-balai kecil di seberang warung.

Ternyata tempatnya tak besar-besar amat. Tapi memang terlihat aktif dan ramai ketika gelap.

“Zel! Dari mana aja?” sapa salah seorang. “Siapa itu—oh ….” Cowok itu lalu terkekeh jahat.

Duh, apa tuh maksudnya?

“Zel, minggu lalu lo utang—”

“Besok gue bayar,” balas Zelda.

“Bayar pakai satu malem juga bol—”

“Bacot!”

Di sisi lain terdengar gelak tawa akan entah apa, yang kelewat ngakak disertai maki-makian kebun binatang.

Uhh … tempat ini agak terlalu liar dan tak familiar buat Tiara. Perempuan itu mendadak dikuasai canggung dan kepercayaan dirinya merosot sampai dasar. Tiara mau pulang.

“Guys!” Zelda melantangkan suaranya. “Hari ini kita kedatangan tamu spesial!”

Chika dan Poppi tiba-tiba memegangi pergelangan Tiara. Tiara bingung dan panik.

“Masih inget sama pahlawan yang melerai sebuah tawuran antara Warung Bambu dan Sayap Negara?” suara Zelda semakin meninggi dan mendramatisir, tetapi kata-katanya mengalihkan perhatian para anggota Warung Bambu yang ada di sana, dan segera melihat siapa ‘tamu’ yang dibawa Si Ratu Sekolah.

Tiara semakin dibuat panik, tiba-tiba saja ia merasa dirinya dijebak.

“Kita kedatangan TIARA!”

Chika dan Poppi langsung mengangkat kedua tangan Tiara ke atas. Zelda bertepuk tangan, lalu segera diikuti sorak kemeriahan yang penuh olok-olok dari semua anggota Warung Bambu yang ada di sana.

Rasanya, mereka terlalu banyak untuk hitungan anak tongkrongan SMA Mandraguna. Orang-orang ini, wajah-wajah senior ini, pasti adalah para alumni SMA Mandraguna yang juga anggota geng Warung Bambu sejak beberapa tahun ke atas. Mungkin dua tahun ke atas.

“Dia pahlawan yang dengan ‘gagah’-nya berjalan sendiri ke tengah-tengah keributan!”

Sorak sorai buatan.

“Yang marah karena makan siangnya diganggu!”

Sorak dan tawa. Tiara malu.

“Yang berhasil membuat nama Warung Bambu gak punya wibawa! Yang bikin kita harus bayar upeti buat Sayap Negara! Yang bikin kita semua hampir dipenjara! Yang bikin masalah internal antarkelompok kita, jadi meluas kemana-mana!”

Sorak semakin membahana.

“Dan yang paling penting, satu-satunya cewek yang dengan ‘berani’nya pasang muka sama Sang Ketua Warung Bambu. Kur-ni-a-wan Ba-dar. Gilaa ….” Zelda menggeleng-geleng takjub.

Tepuk tangan dan pekik paling meriah, sampai-sampai yang punya Warung Bambu tutup telinga.

Tiara benar-benar mati kutu. Ia dijebak dan dipermalukan. Memang sejak awal, seharusnya Tiara bisa menolak mentah-mentah tawaran dari Pak Burhan! Kalau Dewan saja dibuat babak belur, apa hukuman yang akan mereka beri ke Tiara yang memang perusak utama hajat mereka?

“Apa lo tahu hadiah apa yang pantas buat dikasih pada pahlawan sehebat perempuan ini?!” Zelda masih belum berhenti.

“Dipasung!”

“Dipancung!”

“Diadu satu lawan satu!”

“Dibikin dewasa!”

Yang terakhir yang paling membuat tertawa para anggota, meski Tiara tak paham sepenuhnya apa maksudnya. Tiara juga tahu mereka semua bercanda, tapi bercandaan penuh olok itu bukan gaya Tiara, dan ia sama sekali tak bisa menimpali. Tiara kesal sekali, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

Zelda menggeleng. Menolak semua usulan hadiah dari anak-anak buah sekaligus pemujanya. “Gue nanya hadiah, kok pada serem-serem sih,” candanya menjengkelkan. “Hadiahnya adalah ….” Zelda memandang Tiara lama.

“Lo, gabung Warung Bambu.”

Bukan sorak dan olok-olok seperti sebelumnya, malah elu dan seruan plilu yang agak serius yang malah terdengar. Dan masing-masing dari mereka saling lirik was-was.

Tiara mematung.

“Gimana? Kehormatan banget enggak buat lo?” tanya Zelda.

Tiara menghindar bertatapan dengan siapa pun.

“Jawab gue, lo tuli?!” sekarang Zelda teriak ke telinga Tiara. Jadi, sejak awal Tiara memanglah tawanannya dan sekarang Zelda tengah memuntahkan semua kemarahannya akan kelancangan Tiara yang ikut campur masalah mereka.

“A-aku mau ngobrol dulu,” balas Tiara takut, dari suaranya, ia sudah akan menangis. “Soalnya, tadi Kak Zelda bilang mau ngobrol.”

Zelda, Chika, dan Poppi saling pandang dalam diam.

“Oke. Kita ngobrol bertiga,” balas Zelda yang kali ini sudah menunjukkan keasliannya. “Sama ketua Warung Bambu.”

Lalu Tiara ditarik lepas dari genggaman Chika dan Poppi. Lebih tepatnya, diseret. Tiara dibawa ke tempat yang agak di luar area Warung Bambu, bahkan melewati tirai pohon-pohon bambu yang kalau sudah gelap begini punya aura horor yang bukan main.

Tiara benar-benar takut. Ia menahan air matanya, ia tak boleh sampai terlihat menangis.

Lalu suara kerasak tanah terdengar. Tiara sampai, dan melihat tiga orang tergeletak babak belur di depan lelaki berambut gondrong dengan seragam SMA Mandraguna yang sudah berantakan. Satu dari mereka dijambak, lalu si lelaki gondrong mendekatkan wajahnya ke wajah yang dijambak, Ia berbisik mengancam, tanpa terdengar. Yang dijambak mengangguk takut. Lalu lelaki gondrong itu mengempasnya sampai nyaris membentur tanah.

Selesai dengan urusannya, lelaki berambut gondrong itu menoleh ke arah Zelda dan Tiara.

Itu Badar.

Badar yang lain.

Sorotnya, gestur tubuhnya, bahkan aura yang dikeluarkannya, benar-benar lain dari Badar yang Tiara tahu. Badar yang ini sama sekali bukan bandel-bandel culun, Badar yang ini berhasil membuat Tiara semakin ciut, apalagi melihat memar dan darah tipis yang tampak di buku-buku jari tangannya. Badar yang ini lebih … buas.

“Gue bawa calon anggota baru,” kata Zelda tanpa peduli pada tiga orang bonyok korban pacarnya. “Tiara.” Zelda menarik Tiara seperti menunjukkan mainan baru.

Badar memandang Tiara seperti orang tak kenal. Tetapi kemudian, berjalan mendekat.

Tiara beringsut menjauh, tetapi tangan Zelda menahan.

Badar memandangi wajah Tiara. Lalu beralih ke wajah Zelda. Kemudian pergi tanpa bicara.

Zelda kaget akan reaksi Badar yang tak sesuai keinginannya. Ia pikir Badar akan setuju-setuju saja dan menyerahkan semua keputusan dan ‘syarat’ untuk jadi anggota Warung Bambu pada Zelda.

Zelda menarik Badar. “Kenapa?! Kenapa lo diem aja?!”

Badar memandang Zelda, melawan tatapan ular yang Zelda punya. “Lo mau hukum dia, cuma gara-gara masalah tawuran itu?” tanyanya.

Zelda tak menjawab.

“Otak lo sama gak pentingnya sama mereka bertiga.” Badar menunjuk tiga korban yang terkulai di belakangnya.

Zelda menarik Badar semakin keras. “Denger, di sini bukan cuma lo yang kaya. Dan beberapa dari kita memang masih punya akses istimewa di beberapa tempat. Tapi cuma karena orang-orang tahu lo anak Warung Bambu, lo enggak akan bisa kemana-mana lagi! Lo akan terus berurusan sama polisi, kebijakan sekolah, dan tai-tai lain. Bukan lo, kita semua! Dan ini gara-gara dia! Terus lo gak akan ngelakuin apa-apa buat Warung Bambu?! Ketua macam apa lo, Dar?!”

Badar melepas cengkeraman tangan Zelda pelan, namun tak lembut. “Dia, dan Dewan yang tiga orang tadi keroyok, sama sekali gak ada hubungannya sama Warung Bambu.”

“Badar!—”

“Kalau lo enggak mau urusan lo sama gue jadi lebih panjang, lepas dia.”

Zelda mengedutkan mata, jelas-jelas menahan marah. Tetapi tangan Zelda masih enggan lepas dari lengan Tiara yang mulai merah.

“Lepas!” Badar menarik cengkeraman Zelda dari tangan Tiara. Dan cengkeraman pun lepas.

Wajah Zelda memerah, menahan amuk.

Tiara masih terdiam, menahan air mata yang sejak tadi akan tumpah. Ia bingung harus berbuat apa sekarang.

Badar kemudian melirik Tiara, “Pulang lo,” titahnya.

Tanpa basa-basi, Tiara langsung berlari. Ia melewati pohon-pohon bambu, tak mempedulikan Zelda yang terdengar masih meraung-raung. Melewati Warung Bambu dan kumpulan anggota geng yang kini sama sekali tak mempedulikan kehadirannya. Menuruni tangga candi buru-buru, melewati parkiran, tapi tiba-tiba kembali ditahan seseorang.

Tiara terkesiap sampai ketakutan setengah mati.

“Ti …? Lo … kenapa?”

Tiara terhenti di sana, di tengah-tengah parkiran. Ia menatap lama orang yang menahannya di kegelapan, sampai akhirnya mengenali dan sadar bahwa ia bukan anggota Warung Bambu. Tiara masih gemetaran, tetapi ia berangsur tenang, namun sayangnya, air matanya segera tumpah, dan Tiara telanjur menangis sesunggukan, di genggaman tangan orang.

“Tiara?”

Tiara menangis semakin menjadi. “Gue takut ….”

Dan malam itu, Tiara tak langsung pulang. Ia pergi dari sekolah dan markas Warung Bambu, untuk menenangkan diri dan ditenangkan di sebuah restoran cepat saji, oleh Ghifari.

***