[ 9 ] - Kesatria Tampan Bernama Surgawi

Ternyata Tiara berhasil menenangkan diri sesampainya mereka di restoran cepat saji. Sejak ia duduk di boncengan motor Ghifari, tangisnya berangsur hilang. Ia tak ingat kalau dirinya seharusnya senang karena ia jalan bareng Ghifari. Ini semua gara-gara pengalamannya di Warung Bambu betul-betul membuatnya ketakutan.

Untung saja selama perjalanan, Ghifari tak banyak mengajaknya bicara, ia sekadar bilang, “Ti, lo kan tahu jarak dari Mandraguna ke Mekdi lumayan, kita bakalan agak lama di jalan. Jadi, lo tenangin diri ya. Santai aja sama gue.”

Tiara membalas dengan anggukan.

Betul, Ghifari tak banyak bicara di perjalanan, tapi ia banyak menggumam nyanyi-nyanyi kecil, dan sikap santainya itu memengaruhi Tiara sampai perempuan itu bisa berhenti sesunggukan.

Sesampainya di Mekdi—mungkin memang bawaannya Ghifari suka tiba-tiba nyeletuk lucu tanpa dia sadari—Ghifari berhenti persis setelah masuk pintu restoran, tepat ketika dingin AC menerpanya. Ia menggumam kecil, “Duh, ketek gue bau gak ya?” lalu mengendus ketiaknya yang tertutup hoodie marun.

Sama halnya dengan Tiara, Ghifari bisa pulang selarut itu dari Mandraguna karena baru selesai latihan basket. Makanya ia sekarang masih mengenakan baju basket, hanya saja atasannya sudah berbalut hoodie berwarna merah marun.

“Enggak kok,” gumam Ghifari menjawab sendiri. “Enggak tembus jaket, maksudnya. Hehe.” Ia nyengir ke Tiara.

Kalau situasinya lain, Tiara pasti sudah tertawa. Tapi kali ini Tiara cuma diam, masih terbawa suasana.

Mereka kemudian mengantre. Tiara memperhatikan deret menu nasi dan ayam goreng krispi, kentang goreng, minuman soda, sampai sundae dan es krim monas. Melihat es krim monas, Tiara jadi teringat Anaya, sahabatnya itu suka sekali es krim, gelato dan sebangsanya. Apalagi yang bentuknya scoop dan es krim kerucut semacan es krim monas ini.

“Lo mau pesen apa, Ti?”

Tiara mengetuk dagu. “Gue samain lo aja deh, Ghif.”

“Oke. Lo cari meja gih, nanti gue yang bawain.”

Karena suasana hati Tiara sudah mulai membaik, ia jadi agak baper mendengar Ghifari bilang ‘gue yang bawain’. Tetapi kemudian Tiara menurut dan segera berbalik ke luar antrean untuk mencari meja. Agar tidak terkesan kencan, Tiara mencari meja yang kursinya tersedia empat. Lalu, tak lama setelah Tiara duduk, Ghifari datang dengan nampan berisi dua paket nasi serta minuman soda.

Selama Ghifari melewati meja-meja, dapat Tiara lihat beberapa kaum hawa mencoba mencuri pandang pada laki-laki jangkung ber-hoodie dengan rambut cokelat kepirangan yang baru saja melewati mereka. Lalu setelahnya, mereka terlihat kalem kembali. Hanya ‘terlihat kalem’, entah sebenarnya mereka melotot ke sesama kawannya, atau teriak ngeden.

“Yes, makan,” seru Ghifari sembari duduk berseberangan dengan Tiara. Lalu mereka makan.

Beberapa menit berselang, Ghifari baru mulai bertanya, “Jadi, lo kenapa, Ti?”

Dengan makanan, suasana hati Tiara jauh membaik, maka rasanya ia jadi lebih bisa bicara kali ini. Sembari menelan suapan kelimanya, Tiara mencoba menjawab, “Gue ... habis dari Warung Bambu, Ghif.”

Ghifari yang sedang menyeruput minumannya, hampir dibuat tersedak.

“Gue …,” lanjut Tiara. “Diajak sama Kak Zelda.”

Kali ini Ghifari betulan tersedak. Setelah batuk ringan, ia baru bisa menimpali, “Kok bisa?”

Tiara mengedikkan bahu. “Gara-gara kejadian gue sama Dewan yang ngerusuh urusan tawuran mereka. Anak Warung Bambu sakit hati banget kayaknya. Terus gue sama Dewan yang ditumbalin.”

Tiba-tiba Tiara terlihat akan menangis lagi.

“Terus lo diapain di Warung Bambu?” tanya Ghifari, ada khawatir dalam nada ucapannya.

Dan Tiara mewek lagi, sambil menceritakan dirinya yang dipermalukan Zelda, ditertawakan anak-anak Warung Bambu, dan diseret ke Badar sebagai mainan baru, sedang dirinya sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.

Ghifari, yang makanannya tiba-tiba sudah habis, masih mendengarkan.

“Gue takut banget.” Tiara kembali sesunggukan, tetapi kali ini ia lebih bisa mengendalikan diri. “Atau mungkin memang gue yang terlalu cengeng.”

“Enggak lah …,” balas Ghifari menenangkan. “Terus, akhirnya gimana?”

“Akhirnya … gue dilepasin sama Badar.”

Ghifari menaikkan alisnya, tak mengira.

“Gue ditolak masuk Warung Bambu, habis itu diusir.”

Ghifari mengangguk-angguk heran. “Hm, ya udahlah, yang penting lo-nya baik-baik aja sekarang.”

Tiara menahan diri untuk tidak terlihat merona. Demi menutupi malunya, ia segera mengalihkan topik. “Tapi … kok Badar bisa kelihatan beda banget kalau malem, Ghif?”

“Maksudnya?”

“Iya, dia kayak bukan Badar yang biasa gue lihat. Dia terlalu liar, terlalu garang, dan punya aura ditakuti. Gue aja jadi takut banget.”

Ghifari berpikir.

“Gue jadi inget rumor tentang dia.”

“Rumor?” tanya Ghifari.

Tiara mengangguk. “Rumor soal Badar yang katanya punya kepribadian ganda. Jadi, dia kalau pagi sama malem beda.”

Ghifari yang tadinya serius, mendadak menahan tawa. Reaksi yang persis seperti Anaya sewaktu Kinan memaparkan rumor ini.

“Gue serius, Ghif. Itu sih kata orang-orang.”

“Oh ya?” Ghifari masih menahan tawa. “Kok gue enggak tahu?”

“Gue juga baru tahu rumor itu. Tapi … sejak gue ngeliat Badar kayak tadi, gue jadi kepikiran. Mungkin aja rumor itu bener.”

Ghifari akhirnya tertawa. Ada lesung tipis di kedua pipinya. “Kayaknya enggak deh.”

“Tapi lo belum lihat muka dia, Ghif.”

“Cowok tongkrongan emang gitu, Ti. Kalau udah di tongkrongan sama di luar itu, pasti beda.”

“Iya, gue juga tahu. Tapi ini tuh bener-bener beda.”

“Apa? Dia jadi genderuwo kalau udah malem?” Kemudian Ghifari tertawa.

Tiara cemberut. Alisnya mengerut.

“Gue pernah ketemu Badar malem-malem, kok. Dan dia biasa-biasa aja.”

Tiara masih cemberut kesal. Karena ia masih mempertahankan apa yang disaksikannya di tongkrongan mirip sekte itu. Hih, bisa-bisanya SMA swasta sekelas Mandraguna punya organisasi sesat!

“Ti,” panggil Ghifari.

Tiara masih ngambek.

“Ti, gue kasih stiker pantat lagi nih.”

Mau tak mau Tiara mendelik dan meleburkan cemberutnya jadi senyum menahan tawa. “Stiker pantat mulu lo!”

“Hehe.”

Selesai makan, Ghifari mengantre kembali di meja pesan. Katanya, ia mau beli satu porsi lagi untuk di rumah, masih lapar. Selesai membayar, Ghifari menggenggam dua es krim monas rasa klasik, lalu memberikan satunya pada Tiara.

“Nih. Biar enggak nangis lagi.”

Tiara diam. Tergugu. “Serius? Buat … gue?” tanya Tiara masih ragu.

Ghifari menyodorkan lagi es krim di tangan kanannya, meyakini Tiara.

Tiara menerima. Ia benar-benar dibuat jatuh hati oleh kebaikan dan pribadi yang dimiliki Ghifari. “M-makasih. Ghif.”

“Habisin, abis itu kita pulang. Rumah lo di mana?”

Dan malam itu, Tiara pulang diantar Ghifari. Selama perjalanan mereka tertawa-tawa, karena ada saja topik lucu, atau boneka kemang goyang-goyang serem yang mengejutkan keduanya, sampai akhirnya Tiara melupakan ketakutannya dari Warung Bambu dan pulang dengan aman sampai di depan rumah, diantar kesatria tampan bernama surgawi: Ridwan Al Ghifari; Pengampun lembut hati penjaga pintu surga.

“Cie, cie, siapa itu, Dek?” goda bunda Tiara yang kesenengan putrinya diantar laki-laki. Karena sebelum-sebelumnya Tiara memang tak pernah diantar pulang oleh cowok, apalagi pacaran.

***