Sekolah berlangsung sebagaimana biasa, berlalu dengan rutinitas yang hampir serupa hari lain. Tiba-tiba saja Tiara sudah kembali berkumpul dengan anak-anak Bimbingan Belajar, tepat sepulang sekolah. Mereka harus kumpul cepat, karena hari ini adalah hari pertama pengelompokan kelas.
Semalam, grup Bimbel ramai oleh data diri dari anggota ekskul yang mendaftar untuk kelas. Tetapi, Dewan membatasi jumlah anggota yang bisa bergabung pertemuan pertama ini. Sebab, pertemuan pertama kelas ini adalah uji coba kegiatan ekskul yang sejak minggu lalu sudah direncanakan. Jadi, satu kelompok akan ditanggungjawabi oleh dua pengajar dengan masing-masing bidang mereka. Karena Tiara adalah sekretaris, ia lebih dulu tahu kelompok yang disusun Dewan, lengkap dengan penanggungjawabnya:
Kelompok 1: Dewan (Kimia) – Ghifari (Geografi)
Kelompok 2: Badar (Matematika) – Diman (Sejarah)
Kelompok 3: Tiara (Biologi) – Wira (Fisika)
Tiara mendengkus kesal mengetahui dirinya sekelompok dengan Wira. Ia malas meladeni sesi adu bacot dengan lelaki itu. Segera saja ia mengirim pesan langsung pada Dewan.
Tiara: Wan. Wira gak bisa dituker apa?
Dewan: Kenapa?
Tiara: Males
Dewan: Udah ikutin aja. Ini kelas pertama, sekalian uji coba rencana kita. Jgn banyak minta.
Tiara: Tuker kelas 12 aja deh, gue gausah ngajar.
Dewan: Gak bisa. Kita nanti bakal jadiin anggota kelas 12 sbg pengajar, jd kita harus tau situasi lapangannya buat bimbing mereka.
Tiara: (mengetik …)
Dewan: Bawel lo Ti ah! Nurut sama gue!
Idih anjir, batin Tiara. Dasar ketua diktator. Tetapi toh Tiara tetap menurut.
Setelah semua anggota inti Bimbel berkumpul di ruang laboratorium (kecuali Badar, yang memang selalu terlambat), mereka segera membuat lingkaran berantakan sebagaimana biasa, lalu Dewan memulai briefing.
“Ada yang mau tanya sebelum anak-anak dateng?” tanya Dewan.
Wira mengangkat tangan. “Gue mau tanya bukan untuk sekarang sih, tapi ke depannya. Ini kalau ada mata pelajaran lain, pengajarnya akan tetep kita atau gimana?”
“Good question,” balas Dewan sudah seperti motivator. “Itu dia gunanya kelas dua belas. Kita cari dari mereka yang bagus di mata pelajaran selain yang kita kuasai, sampai semua mata pelajaran terpenuhi. Untuk sementara ini, karena anggota kita masih terbatas dan kebanyakan kelas sepuluh, ya mau gak mau kita yang senior harus merangkap.”
Wira mengangguk.
Belum ada dua detik, Wira mengacungkan tangan lagi. “Penanggung jawab ini tetap atau berubah?”
“Berubah,” balas Dewan.
Tiara lega.
Kali ini Ghifari yang mengacungkan tangan. “Ini sistemnya gimana? Kita enggak mungkin keroyokan kayak belajar ngaji kan? Soalnya mata pelajarannya beda-beda.”
“Nah, untuk itu kalian selaku PJ atur-atur deh.”
Pintu menjeblak terbuka. “Yo, what’s up everybody?!” Badar lalu masuk ruangan.
“Lo mau nge-rap jangan di sini,” balas Dewan tanpa menghadap ke wajah Badar.
“Skidipapap yeah!” Badar mengejek Dewan dengan gaya swag ala-ala rapper, lalu melepas cengir bandelnya yang biasa. “Galak bener bapak ketua. Eh, gue telat?”
Mendadak Tiara kembali teringat kejadian ketika di Warung Bambu, dan Tiara jadi tak berani melihat wajah Badar. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya.
“Iya, Intinya lo sekelompok sama Diman, Dar, ngajar Matematika,” balas Ghifari.
Badar mengangguk, kemudian duduk di celah kosong di sebelah Diman. Ketika ia melewati Tiara, tangannya bergerak menyentuh rambut keriting Tiara, “Eh, halo, Pentul! Apa kabar?”
Tiara deg-degan. Ia melirik Badar hati-hati, lalu tanpa sengaja melihat buku-buku jari cowok itu. Dilihatnya goresan merah, dan beberapa memar. Rupanya dia memang Badar yang tadi malam menggebuki anak orang.
Sebelum Tiara sempat membalas, pintu ruangan segera saja dikerubungi siswa dan siswi kelas sepuluh yang sudah terdaftar mendapat jadwal kelas Bimbel hari ini. Buru-buru Dewan, Ghifari, Badar, Diman, Wira, dan Tiara memecah lingkaran dan duduk di titik masing-masing. Dan Tiara harus duduk bersebelahan dengan Wira.
Tanpa dirinya dan Wira banyak basa-basi, tiba-tiba saja mereka sudah sama-sama mengeluarkan alat tulis dan buku referensi mereka untuk membantu adik-adik kelas mereka memahami mata pelajaran masing-masing. Tiara dan Wira duduk saling memunggungi, agar suara mereka tak bertabrakan dan tidak mengalihkan fokus masing-masing adik kelas yang mereka ajari.
“Eh, salah tulis,” gumam Tiara sembari menghapus nama latin tanaman jagung yang semestinya zea mays menjadi zea mais. Ia berbalik ke arah Wira. “Wir, pinjem tip-ex dong.”
Wira merogoh dari tempat pensilnya dan memberinya pada Tiara tanpa menoleh, maupun bicara.
Tiara mengambilnya, menggunakannya, lalu mengembalikannya langsung ke meja Wira tanpa bicara. Males lah, daripada dikacangin lagi.
Mereka melanjutkan belajar. Mendadak suhu ruangan memanas, karena banyaknya karbondioksida yang keluar dari mulut-mulut Tiara, Wira, Ghifari, Dewan, dan Badar. Nah, kalau Diman, tahu tuh gimana ngajarinnya, suaranya tak terdengar. Belum lagi adik-adik kelas yang mereka ajari pada bawel dan tanya-tanya terus. Bahkan beberapa kali Tiara melihat melalui sudut matanya, Badar berseliweran di ruang kelas seperti orang cacingan, dia sudah melewati meja Tiara dan Wira dua kali. Mungkin dia habis memberi soal pada adik-adik didikannya dan sedang menunggu mereka menyelesaikan.
“Ti, kemana tip-ex gue?” Wira akhirnya mengobrol dengan Tiara.
“Di meja lo,” balas Tiara.
“Enggak ada.”
Tiara berkerut kening. Lalu memutar badan, melihat ke meja Wira tempat ia tadi mengembalikan tip-ex milik Wira. Kosong. Kok?
“Tapi tadi gue taruh situ kok, lo lihat sendiri kan?”
“Enggak.”
“Sumpah, Wir.”
“Lo gak ngomong apa-apa.”
Tiara mengorek-korek tempat pensilnya sendiri dan membuyarkan isinya tepat di depan mata Wira. “Tuh, gak ada!”
“Terus gimana tip-ex gue?”
“Ya udah, nanti gue cariin. Lo coret dulu deh sementara.”
“Gak mau.”
Tiara yang sudah hampir kembali menghadap adik-adik kelasnya, langsung menoleh ke arah Wira lagi. Matanya berkedut. Kesal, kaget, tak habis pikir. Ini orang kenapa suka banget cari ribut, sih?
“Ini mata pelajaran Bu Inggit, yang enggak mau tugasnya ada satu coretan pun. Harus tip-ex,” balas Wira.
Oh, Bu Inggit, batin Tiara. “Kalau tahu lo bakal salah, kenapa enggak pakai pensil dulu?” balas Tiara membela diri.
“Bukan gue yang salah tulis. Adik kelas gue.”
“Ya pakai label dulu deh!” suara Tiara mulai meninggi dongkol.
“Harus. Tip-ex.”
“Ya kalau enggak ada gimana?!”
“Kan lo yang hilangin.”
“Gue taruh situ, Wira.”
“Tapi enggak ada.”
“Kalau gitu nanti!”
“Sampai lo selesai bantuin PR adik kelas lo? Sampai malem? Atau sampai—”
“Mau lo apa sih?!”
Suara Tiara kelewat lantang sampai-sampai mencuri perhatian seisi kelas sampai yang tadinya bising, jadi agak hening.
“Balikin tip-ex gue,” Wira tak gentar.
“Udah gue balikin!”
“Ada?”
“Lo nuduh gue nyuri?!”
“Lo yang terakhir pinjem, tapi sekarang enggak ada.”
“Lo kira gue klepto yang tertarik perintilan gak jelas?!”
“Tip-ex gue bukan perintilan.”
“Bener-bener ya, lo.”
“Mana tip-ex gue?”
Tiara berdiri marah, tanpa ambil peduli pada adik kelas Wira yang sudah menarik-narik Wira untuk berhenti minta tip-ex, Tiara bertanya ke seisi kelas, “Kalian! Ada yang lihat tip-ex Wira enggak?!!”
Tiara memandang satu-satu kawan-kawannya. Hening. Ia memberanikan diri menatap Ghifari demi mengguyur emosinya supaya adem dikit, benar saja, Ghifari menggeleng dengan wajah tenangnya, dan meringankan amarah Tiara sedikit.
“Warna hitam, ada aksen birunya, panjang isi empat meter,” tambah Wira melihat tak ada jawaban.
Dari depan meja komputer, terlihat Badar yang sedang tidur-tiduran mulai bergerak. Lalu menarik sesuatu dari kantongnya. Ia duduk, dan mengangkat sebuah tip-ex dengan ornamen biru ke udara, “Eh? Ini bukan?”
“Nah!!” Wira dan Tiara memekik bersamaan.
“See?! Bukan gue yang nyolong!” teriak Tiara, penginnya sih tepat di telinga Wira.
“Eis, eis,” selak Badar sembari berjalan ke arah meja Wira dan Tiara. “Sori, Wir. Gue enggak nyolong. Tadi gue pinjem sebentar buat anak-anak gue, terus gue masukin kantong, tapi gue lupa. Malah tidur di meja depan.” Badar nyengir.
Wira mengangguk, menerima tip-exnya dan kembali mengajar adik kelasnya yang sudah menghela napas lega.
Tiara menunggu Wira meminta maaf, tetapi tidak. Tak satu patahan pun keluar dari mulutnya. Malah dari Badar, meski cuma sekadar sori, dan ke Wira pula. Masih ditenggelamkan emosi, Tiara tak sengaja melirik Badar yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya. Tiara langsung berpaling kikuk. Lewat ujung pandangannya, ia merasakan Badar masih memperhatikannya meski tubuhnya telah berjalan menjauh.
Entah kenapa kejadian malam itu membuat dirinya sebegini canggung dengan Badar.
Jam dinding telah menunjukkan pukul enam sore, dan tugas para pengajar itu pun selesai. Selepas menghaturkan ‘sama-sama’ dari adik kelas yang diajarkan, Tiara segera beranjak dari tempat duduknya dan duduk di samping Dewan penuh kekesalan.
Adik-adik didikan Ghifari pergi ke luar laboraturium sembari tertawa-tawa dan bercanda dengan kakak kelas mereka itu. Adik didikan Ghifari semuanya laki-laki dan sepertinya memang adik kelas ekskul basket. Jadi, mereka memang tampak akrab betul.
Setelah semua adik kelas keluar, evaluasi kembali dimulai.
Baru Dewan mangap, pintu ruang laboratorium digedor. “Mas Dewan, ini kunci lab komputer, semua ruangan sudah saya tutup, saya harus pulang,” kata petugas bersih-bersih sekaligus pemegang kunci sekolah. Dewan berdiri, menerima kunci dan berterima kasih pada petugas bersih-bersih yang akrab dipanggil Pak Burjo (karena sering sekali menongkrong di kedai bubur kacang ijo depan sekolah).
Dewan duduk kembali. “Nah, gimana kelas hari ini?”
“Tukar pasangan kelompok!” pekik Tiara tak tahan.
“Sabar, Ti,” Dewan menahan Tiara yang duduk di sampingnya. Setelah keenam pengurus inti Bimbingan Belajar berkumpul dengan kursi masing-masing yang mengelilingi meja Dewan, barulah sang ketua memberi giliran bicara, “Ghifari, gimana?”
“Aman.”
“Diman?”
Diman mengacungkan jempol.
“Eh, ngomong-ngomong tadi lo gimana ngajarnya, Dim?” tanya Dewan penasaran, mewakili semuanya yang juga ingin tahu.
“Gue kasih mereka video dokumenter singkat, terus kita diskusi. Soalnya enggak ada tugas, kata mereka.”
Semua ber-oh sambil agak terpukau melihat Diman ngomong panjang.
“Kalau lo?” Dewan menanyakan Badar, masih dengan nada sengit, tetapi ia berusaha profesional.
“Selesai tuh semua PR mereka.”
“Apa materinya?”
“Masih sebatas variabel. Cari x dan y,” jawabnya sombong.
Dewan menangguk, diam-diam terkesan. “Beneran pinter ya, lo.”
“Medali emas olimpiade Matematika nasional tingkat SMP,” timpal Badar semakin besar kepala, dengan gaya tengilnya yang semakin menjadi-jadi.
Ghifari menganga. “Asli?”
Badar mendengkus tawa sombong.
“Bukan berita baru. Lanjut,” potong Dewan. “Nona Tiara dan Tuan Wira. Gimana?”
Tiara memandang sengit mata sipit Wira. “Gue enggak mau satu kelompok lagi sama dia.”
“Cuma gara-gara tip-ex?” tukas Wira.
“Ya!”
“Meskipun di sini, lo yang enggak bilang-bilang tip-ex itu balik ke meja gue?”
“Gue enggak mau dikacangin lah.”
Wira mengangkat ujung bibirnya. “Gara-gara itu?”
“Dan lo nuduh gue nyolong padahal dia yang nyolong!” Telunjuk Tiara menuding Badar tanpa sadarnya.
Badar mengangkat kedua tangan. “Gue … enggak—”
“Iya, Dar. Ini salah lo juga. Tapi dia enggak berhak memperlakukan orang seenaknya, menuduh-nuduh orang seenaknya kayak dunia ini punya dia!” Tiara semakin murka sembari memandang Wira yang kini diam. “Asal lo tahu, mulut lo itu nyebelin banget!”
Mulut Wira menggantung antara ingin menjawab atau tidak, tetapi semuanya berakhir diam karena bingung harus melakukan apa. Wira akhirnya menutup mulut, tanpa melepas matanya dari Tiara.
“Maaf,” Wira bicara lagi. “Gue minta maaf.”
Tiara masih menautkan alisnya marah.
“Itu kan yang lo mau denger?”
Tiara masih tak menjawab. Bisa-bisanya minta maaf pun Wira masih sengeselin ini.
“Oke,” Dewan akhirnya menengahi. “Gue enggak mau buka ring tinju di sini, jadi gue lanjut evaluasi aja.” Kemudian lingkaran itu pun mendiskusikan proses belajar ke depannya, dan menganggap metode hari ini berhasil. Maka, mulai esok, mereka mulai merekrut kelas dua belas untuk dijadikan mentor per mata pelajaran.
***