[ 11 ] - Jadi ... Eh, Gimana Sih?

“Kak Dewan, ini buat camilan siang,” Bidadari tersenyum lebar di depan Dewan.

Dewan memaksakan senyumannya. “Sip. Makasih.”

Bidadari mengangguk, kemudian kembali ke kelas bersama teman-temannya.

Dewan memandangi cokelat mahal di tangannya, bersama secarik kertas yang tertempel.

Semangat ngurus Bimbel! Kalau marah, makan ini. Dia yang akan jaga mood baik Kak Dewan :p

Ini adalah cokelat kesekian ratus dari cokelat pertama yang perempuan itu beri untuk Dewan. Dengan kata-kata penyemangat yang berbeda setiap pemberiannya, dan sebagaimana biasa, semangatnya selalu up-to-date. Waktu Dewan babak belur, Bidadari memberinya cokelat yang lebih mahal dari biasanya dan minuman ekstrak jeruk favorit Dewan, dengan tulisan: Cokelat ini mengandung ramuan penyejuk hati. Lekas sembuh ya, jangan dendam, karena kesatria yang baik adalah dia yang memaafkan :3

Dan waktu itu, ia menerima sebelum berangkat ke rumah Ghifari untuk menginap sementara. Ghifari yang membacanya segera tertawa gemas. “Pacar lo? Lucu banget,” sanjungnya.

“Bukan,” jawab Dewan singkat, dan segera menyerahkan pemberian itu pada Ghifari. Ghifari tak memakannya sampai habis, ia menyisakan potongan terakhir untuk Dewan, Dewan masih menolak.

“Makan lah, Wan. Sumpah ini enak banget.”

Dewan menggeleng.

“Dia ngasih ini buat lo yang lagi sakit,” Ghifari cekikikan.

Dewan mendecak. “Gue enggak sakit.”

“Ya udah, ini gue kasih buat lo.”

Dewan mendelik ke arah Ghifari, lalu mengumpat. Tetapi cokelat di tangan Ghifari tetap diterimanya. Ghifari ngakak.

Dan ajaib. Tiba-tiba saja hati Dewan merasa adem. Tapi ini pasti cuma kebetulan.

Jadi, sebagaimana biasanya, Dewan menyerahkan cokelat pemberian Bidadari pada teman-temannya. Kadang habis, kadang sebagaimana Ghifari, teman-temannya memaksa Dewan memakannya juga. Persis seperti hari ini. Sekembalinya Dewan ke dalam kelas, cokelat itu ia lemparkan pada kawan-kawannya. “Habisin,” kata Dewan.

“Curiga nih gue, pasti ada racunnya,” celetuk salah satu temannya.

“Kagak, adanya ramuan pembuat mood baik,” canda Dewan menuruti tulisan tangan Bidadari yang sudah ia buang tadi.

“Kalau bohong, pantat lo rapet ya?!”

“Anjrit, iya!” Dewan ngegas.

Baru Dewan menyentuh bokongnya di kursi, teman-teman yang baru saja ia beri cokelat segera mengeroyok mejanya dan menjejalkan sepotong cokelat ke mulut Dewan penuh aniaya sebelum mereka sendiri yang memakannya, dan Dewan terpaksa menelannya. Dua menit kemudian, Dewan melotot. “Mati enggak gue?!”

Teman-temannya segera tertawa dan menghabiskan cokelat Dewan.

Baru Dewan hendak memaki kasar, tiba-tiba tulisan Bidadari melintas di kepalanya: Kalau marah, makan ini. Dia yang akan jaga mood baik Kak Dewan.

Dan mendadak Dewan menelan kata-kata yang hendak dia muntahkan. Ia sendiri tak tahu mengapa bisa-bisanya tubuhnya menurut. Ketika ia tetap ingin memaksakan kata itu, momennya sudah lewat, maka umpatannya betul-betul tidak jadi.

Semua orang yang pernah melihat Dewan diberikan cokelat, pasti mengira perempuan yang memberinya adalah pacar Dewan, karena ia sama sekali tak terlihat malu-malu, malah terkesan luwes dan dekat. Pun Dewan yang tidak berusaha jual mahal membuat mereka terlihat lumayan akrab. Namun percayalah, hal itu karena mereka tetanggaan.

Bidadari adalah tetangga Dewan sejak kecil. Bahkan, mungkin sejak lahir. Mereka hanya terpaut satu tahun, dan memang dari bocah ingusan, mereka sudah sering bermain dengan anak-anak segang yang sepantaran dengan mereka. Ketika sedang bermain gobak sodor, atau ular tangga, memang Dewan sering memilih posisi yang berada di depan Bidadari, supaya bisa melindungi perempuan itu dari keisengan abang-abangan segang mereka yang tergoda mencubit pipi Bidadari karena rupanya yang lucu bak boneka.

Suatu waktu, Bidadari pernah dicubiti dan dicandai sampai menangis. Berhubung rumah bocah perempuan itu persis bersebelahan dengan rumah Dewan, maka Dewan-lah yang pulang mengantar Bidadari, tapi malah ia kena marah ibunya sendiri, “Gimana sih, kamu kan tetangga sebelahnya, laki-laki lagi! Harusnya bisa menjaga temannya jangan sampai diusili, dong, Wan.” Dan sejak itu, ia jadi merasa punya tanggung jawab untuk menjaga Bidadari jangan sampai diusili. Padahal, ia bukan siapa-siapanya.

Pangkal masalahnya, ia jadi sering mengeluarkan kata-kata, “Enggak ada yang boleh gangguin Bidadari! Aku lindungin Bidadari!” Dan itu berlangsung sampai anak-anak sepantar mereka paham arti suka-sukaan. Tak ingin terus dielu-elu sama-sama suka, Dewan akhirnya sadar dan berhenti ketika usianya sepuluh, dan Bidadari sembilan.

Namun sayang, Bidadari telanjur dibuat mengagumi Dewan. Terlalu kagum.

Namun Dewan tidak. Baginya, Bidadari hanya sebatas tetangga, tak lebih. Ia baru menyadari perhatian yang Bidadari beri ketika cokelat pertama yang ia terima di depan rumah dengan tulisan ‘makan aku!’ tanpa nama pengirim. Sampai suatu hari, ia menemukan Bidadari tengah menulis di sebuah kertas, di atas cokelat yang biasa Dewan terima. “Jadi kamu yang sering ngirim cokelat ke saya?” tembak Dewan dan membuat Bidadari meloncat dengan wajah merah. Mau tak mau, perempuan itu mengaku, dan memberikannya pada Dewan. Mulai saat itu, Bidadari selalu memberinya cokelat secara langsung, dalam berbagai kesempatan.

Dewan selalu ingin menolak, tetapi kedua orang tua mereka terlampau bersahabat sampai-sampai Dewan tak enak hati jika sampai membuat putri tetangganya sakit hati. Jadi, ia hanya bisa berpura-pura baik.

“Wan, ada kertas dari cewek kelas sebelah. Katanya, suruh umumin lewat radio. Ditungguin Pak Burhan,” salah satu teman sekelas Dewan yang lain memberikan secarik kertas pada Dewan.

Dewan membacanya. Sebuah kertas pengumuman bahwa tes seleksi olimpiade sains tingkat nasional akan segera dimulai. Bimbingan Belajar selaku ekstrakurikuler berbasis akademik ditugaskan untuk membuat pengumuman melalui ruang radio sekolah.

Perempuan yang mengirim ini ke kelasnya pasti Tiara. Dewan mendecak, “Masa gue lagi sih yang gerak?” Ia kemudian melemparkan informasi ini ke grup pengurus inti Bimbingan Belajar.

***

Tiara sedang berjalan santai menuju ruang radio sekolah, sehabis memberikan surat dari Pak Burhan, tetapi tiba-tiba saja bahunya ditahan. Tiara terkejut dan berbalik.

“Tul.”

Itu Badar. Tiara segera was-was.

“Cabut kelas bentar, yuk. Gue mau ngobrol.”

Tiara deg-degan.

“Kita di kantin aja. Gue traktir, terserah lo mau makan apaan.”

Tanpa aba-aba, dia sudah menarik bahu Tiara seperti tawanan yang diseret menuju sel. Teringat kejadian-kejadian mengerikan sewaktu terakhir kali dirinya ditarik oleh anggota Warung Bambu, serta-merta Tiara menarik diri dan memandang Badar penuh penolakan.

Badar menoleh ke arah Tiara, heran. Ia kembali menarik Tiara tanpa basa-basi.

Tiara menarik diri lagi, lebih kasar.

Badar menoleh lagi, kali ini alisnya bertaut kesal. “Lo ngapa sih?! Takut banget sama gue kayak lihat setan! Bukannya lo yang maki-maki gue di tawuran?!” Badar menarik Tiara lagi.

Tiara mundur lagi, lebih kuat. “Enggak mau!!” pekiknya.

Badar memandangnya semakin kebingungan. Sebelum ia kembali menarik Tiara, dua siswa laki-laki dari lorong IPS menghampiri. Satu dari mereka mengeluarkan suara, “Ey, ey, ada apaan nih?”

Tiara beralih ke arah suara. Ghifari, dengan Diman di belakangnya. Keduanya menautkan alis melihat adegan kekerasan kecil di lorong.

“Enggak ada urusan sama lo berdua, ayo, Tul,” tarik Badar.

Barangkali Ghifari mengingat cerita yang terakhir disampaikan Tiara sampai menangis-nangis di Mekdi, ia menahan Badar. “Mau ke mana?”

“Enggak usah sok ganteng nahan-nahan, lo, Ghif. Gue cuma mau ngobrol sama ini anak. Di kantin, santai pula. Kagak bakal gua gebukin,” papar Badar.

“Lo enggak baca grup?” tanya Ghifari. “Dewan bilang, kita ditunggu di ruang radio sama Pak Burhan untuk ngumumin tes seleksi olimpiade sains.”

“Woilah, rame banget pake bawa se-RT. Dua orang juga cukup,” timpal Badar. “Lagian, lo pada kan IPS, ngapain repot-repot ikut ngumumin? Kan olimpiade sains.”

“Yang IPA-nya pada cabut. Siapa yang mau ngumumin?” balas Ghifari.

“Lah bener. Ya udah, kita minta tolong, ya! Bye!” Dan akhirnya Badar mengempit leher Tiara dan benar-benar menariknya tanpa ampun sampai hilang ditelan tikungan koridor sekolah, menyisa teriakan Tiara yang juga lenyap seperti diculik psikopat.

Ghifari dan Diman bengong.

***

“AAAAAA—” teriakan Tiara terputus karena kepalanya keburu dijitak oleh Badar.

“Berisik, Bego.”

Tiara meronta dari kempitan ketek Badar. “Gue minta maaf, Dar, kalau ada salah sama lo. Plis jangan bunuh gue. Jangan racunin gue. Gue minta maaf banget,” Tiara memelas.

Badar mengakak. “Terusin!”

Tiara mau menangis. “Badar. Kurniawan Badar. Maafin gue, gue belum mau meninggal. Gue masih mau lulus sekolah, kuliah, nikah, jalan-jalan ke luar negeri. Badar, gue mohon ….”

Badar semakin ngakak sampai lak-lakannya akrobat. “Haha, mampus lo, rasain bau ketek gue!”

Tiara menjerit sampai mau menangis.

Mereka berjalan melewati belakang sekolah untuk sampai di kantin, sehingga tak banyak diperhatikan orang, dan memang sedang jadwal belajar juga. Tetapi Tiara yakin, pasti siswa dan siswi di dalam kelas langsung menoleh ketika dengar tawa psikopat dan jeritan korbannya.

Mereka tiba di kantin.

Tiara didudukkan di atas bangku, Badar duduk berseberangan dengannya. Ia memandang Tiara yang masih kebingungan, dengan muka merah bekas menahan napas, dengan rambut singanya yang semakin semrawut. Tetapi Badar melihat ujung mata perempuan itu berair. Tiara menangis.

Badar yang semula tertawa-tawa, mendadak panik. “Eh, Ti? Kok lo nangis beneran sih?”

Tiara masih gemetaran.

“Seriusan ketek gue sebau itu?” Ia mencium keteknya sendiri.

“Badar, maafin gue ….”

Badar memperhatikan air muka Tiara baik-baik. Tiara betulan menangis dan ketakutan. “Pentul, lo kenapa?”

Tiara masih menahan tangisnya agar tidak pecah.

“Lo enggak ada salah apa-apa ke gue. Santai aja, kenapa setakut itu? Gue enggak mau ngapa-ngapain lo. Gue mau ngajak makan, sekalian ngobrol soal Bimbel. Lo kenapa beneran gitu sih takutnya, gue kira bercanda.”

Tiara belum berani melihat mata Badar.

“Gue pesenin bakso, ya.” Badar kemudian memanggil tukang bakso dan hadir dua bakso. Badar mendekatkan tubuhnya ke meja sebelah, lalu meraih tisu untuk diletakkan di mejanya. Ia menyodorkan tisu itu pada Tiara. “Nih, tisu. Hapus air matanya.”

Tiara diam. Bingung. Kok ini berandal jadi baik banget … apa dia bener-bener mau ngeracunin Tiara ya.

“Makan dulu deh.”

Tiara enggan makan.

Lima menit kemudian. “Tul, lo masih mikir gue ngeracunin lo?” Ia tertawa. “Ya udah, kalau lo enggak mau. Biar buat gue.”

Ketika Tiara memperhatikan Badar menyuap bakso Tiara banyak-banyak, dan tidak terjadi apa pun, Tiara akhirnya berani bicara, “Y-yaudah, sini baksonya. Gue mau ….”

Badar melirik Tiara dengan mulut penuh bakso. “Dih, dih.”

Tiara mau tak mau mengembangkan senyum, dan menarik mangkuk bakso miliknya. Badar masih mencemooh tapi tak menahan bakso dari wilayah kekuasaannya. Ia membiarkan Tiara menyuap lagi dan lagi, sementara dirinya menyuap porsinya sendiri.

Tiba-tiba bel informasi sekolah berbunyi. Lalu kerasak-kerusuk mik mengisi pengeras suara seisi sekolah. Dehaman.

Tiara dan Badar diam menunggu pengumuman.

“Selamat siang,” suara dalam dan tegas remaja laki-laki.

Tiara dan Badar saling pandang. Lalu mulut mereka memekik kaget tanpa suara, “Diman?!” Badar yang kegirangan mendengar suara Si Bisu membahana, cepat-cepat mengeluarkan ponsel dan memutar perekam suara.

“Informasi bagi seluruh siswa SMA Mandraguna, Olimpiade Sains Nasional akan segera dilaksanakan dua bulan mendatang. Untuk itu, bagi siapa saja yang berminat mendaftarkan diri, diharapkan berkumpul pada waktu istirahat, di ruang sekretariat ekstrakurikuler Bimbingan Belajar atau lab komputer lama untuk informasi lebih lanjut mengenai tes seleksi. Terima kasih.”

Badar memijit tombol perekam, lalu mengakak. “Bener-bener Si Bisu, ngangetin gue mulu kek setan.”

Tiara menyambung tawa Badar, lalu menimpal, “Tapi asli, suaranya berbakat jadi voice over gitu enggak, sih?”

“Apaan tuh? Kayak dubber?”

“Semacam itu, tapi lebih kayak yang nyuarain iklan-iklan gitu.”

Badar mengangguk-angguk, kemudian memandangi Tiara iseng. “Tawa lo sekarang, seneng, bahagia, girang.”

Tiara mesem-mesem malu. “Jadi lo mau ngomongin apa?”

Badar berjeda mengunyah baksonya. “Simpel sih. Lo kan sekretaris Bimbel. Gue cuma mau minta setiap laporan, termasuk kehadiran, penilaian, apa lah tetek-bengeknya itu, isi gue penuh. Seakan-akan gue hadir terus. Pokoknya bikin reputasi gue bagus lah di laporan itu.”

Tiara memutar-mutar garpu. “Biar apa?”

Badar menyuap bakso terakhirnya. Kemudian mengeluarkan sebatang rokok beserta koreknya. “Gue sebat enggak apa-apa, ya?’

Tiara mengangguk.

Badar mengisap, lalu mengembuskan asap rokoknya. “Ya lo paham lah. Kegiatan macem Bimbel gitu bukan gue. Enggak bisa gue lama-lama di komunitas begituan.”

“Lah, enggak adil dong. Lo pikir kita semua mau ngurusin Bimbel? Ini kan hukuman dari Pak Burhan,” balas Tiara.

“Lo semua cocok kok ngerjain gitu-gituan.”

“Apalagi lo yang udah pernah menang medali emas olimpiade.”

Bibir Badar menyembur bagai kuda; meremehkan dirinya sendiri. “Udahlah, yak. Deal aja.”

“Tidak bisa.”

Badar mendecak. “Jangan persulit gue, Ti. Lo mau gue takutin di markas Warung Bambu lagi?”

Tiara mendadak diam. Tiba-tiba ia berpikir dua kali mengenai Badar yang dirumorkan berkepribadian ganda. Katanya, kalau orang berkepribadian ganda tak mungkin bisa mengingat memori ketika dirinya sedang jadi ‘yang lain’. Tapi, ini Badar ingat.

“Jadi, yang waktu itu di Warung Bambu … yang ngegebukin tiga anggota Warung Bambu beneran lo?” tanya Tiara memberanikan diri.

“Pertanyaan apaan sih? Ya lo pikir siapa, Pentul?! Tukang kebun gue?”

“Ya … bisa aja.”

“Ya, Tolol!” Badar menjitak kepala Tiara lagi.

Tiara mengusap pucuk kepalanya kesakitan. “Jangan seenaknya dong!”

“Udah cepetan! Deal gak?!”

“Ish, lo kan ketua geng Warung Bambu, ada wibawanya sedikit kek kalau negosiasi!”

“Enggak butuh gue wibawa siang-siang. Jawab, Pentul!”

“Gak!”

“Si Anjir ….”

Ponsel mereka berdering bersamaan. Lantas, keduanya menoleh sama-sama pula. Pesan dari grup Bimbingan Belajar. Sebuah pesan suara dari Dewan. Tiara menyalakannya.

“LO! SEMUA! KE SEKRE! JAM ISTIRAHAT! SE-MU-A!! AWAS LO, DAR!”

Tiara langsung menutup pesan suara, pengang oleh suara keras Dewan yang bikin speaker ponsel rusak. “Dasar diktator,” keluhnya.

“Kok gue sih?” protes Badar. “Heran gue. Orang ini laki apa tante-tante sih? Congornya buset deh.”

“Yah, lo enggak tahu Wira aja,” balas Tiara.

“Nah, kalau model begitu, udah gue libas di tawuran.”

Tiara ngakak dan menoyor bahu Badar tak habis pikir, lupa kalau dia sedang berhadapan dengan Si Raja Sekolah, kepala Warung Bambu, pentolan tawuran. Gila. Tiara betul-betul tak paham orang di hadapannya ini sebetulnya manusia atau bunglon. Bisa-bisanya dia berubah kepribadian semau-maunya.

“Deal, ya?” tawar Badar.

“Denger kan kata Dewan? Se-mu-a,” tangkis Tiara masih belum sepakat. “Dateng lo, Dar. Udah ah, gue mau balik kelas. Habis ini pelajaran Bu Inggit, ngeri. Dah! Makasih traktirannya!”

Tiara langsung mengangkang dari bangku kantin (untung dia selalu pakai celana di balik roknya), dan ngacir dari Badar.

“PENTUL!” panggil Badar dari kejauhan.

Jadi, rumor itu ….

Eh? Gimana sih …?

***