Siapa Dia?

Aku masih bergelung di balik selimutku. Hari libur terakhir sebelum besok kembali bersekolah, aku harus memanfaatkan hari ini semaksimal mungkin. Aku tidak peduli bunda akan memarahiku habis-habisan setelah ini. Persetan dengan semua ocehan bunda bahwa anak gadis itu tidak baik bangun siang blaa..blaa..bla.. pekikan suaranya yang dahsyat melebihi petir, bisa membuat gendang telingaku pecah.

“Ily kebo!!! Bangun!!!” teriak seseorang yang kini tengah berada diatasku. Mendengar dari nada suaranya, aku yakin suara cempreng itu milik Kak Sha. Kakakku yang cantiknya gak ketulungan, tiada obat lagi. Wanita modis, yang akan membuat iri para wanita lain. sekaligus wanita cantik, istri idaman para lelaki. Berbeda denganku bukan? Seperti langit dan bumi. Bahkan saat aku dalam kandungan, kedua orangtuaku mengira aku ini lelaki. Karena ciri-ciri yang ditunjukkan mirip dengan hamil anak laki-laki. Untung saja aku mempunyai kakak wanita yang feminim, Kak Sha mengajariku sedikit berdandan. Dan sering kali menjadikanku objek percobaannya dalam make up, ketika dia sedang gabut.

“apaan sih sarinem, minggir nggak. Berat tau!” Sarinem adalah nama panggilan kesayangan yang kuberikan untuknya. Nama untuknya begitu banyak. Sha adalah panggilan dari orang dekat, sedangkan Brina adalah panggilan umum.

“apa kamu bilang? Kamu ngatain kakak gendut?” tuh kan kumat cerewetnya, padahal aku tidak mengatakan dia gendut. Kakak sendiri yang menyimpulkan seperti itu, memang wanita terlalu sensitif mengenai berat badan. Aku saja berbadan subur begini santai saja, setidaknya menunjukkan bahwa kedua orangtuaku memberi makan yang cukup.

Untung saja hanya kak Sha yang menggangguku. Coba kalau adik lelakiku Aldi itu ikut menggangguku, ditambah bunda juga merusak hari tenangku aku bisa mati muda. Aku tidak pernah menduga tumbuh di keluarga yang cerewet dan super menyebalkan.

“Kak Naily kebo ! hari ini beres-beres rumah ! cepet bangun” baru saja aku membayangkan Aldi menggangguku, ternyata panjang umur sekali.

“Ily bangun, kamu itu anak gadis gak baik bangun siang” tuhkan mama dedeh mulai lagi ceramahnya. Yang bisa membangunkanku adalah ayah. Jika ayah sudah mengeluarkan sepatah kata, aku pasti akan menurutinya.

“sayang bangun ya, kita bersih-bersih” suara itu begitu tegas, namun tidak kasar. Seketika aku terbangun dari tidurku. Menatap lekat-lekat wajah ayah yang serius. Menentang perkataannya sekali saja sama dengan berjalan kaki ke sekolah.

“iya ayah, Ily bangun” kulihat senyum menawan milik ayah, dan raut sebal dari yang lainnya. Kadang aku berfikir ayah kok mau ya menikah sama bunda yang galaknya ngalahin serigala lapar.

Aku bukan tidak dekat dengan bunda, kami dekat. Saking dekatnya aku menganggap bunda adalah temanku sendiri, jadi aku tidak terlalu mendengar perkataanya sebagai seorang ibu. Katakanlah aku kurang ajar, memang aku begini. Aku lebih nyaman mengganggap bunda sebagai teman sekaligus seorang ibu, namun kadang aku tidak bisa menempatkan diri kapan aku harus menjadikan bunda sebagai teman dan kapan sebagai seorang ibu. Karena aku takut keluar dari zona nyaman sebagai sahabat.

Aku menyeka keringat yang menetes di pelipisku. Mungkin aku terlalu lelah karena bersih-bersih sepanjang hari. Arloji menunjukkan pukul 10.00 pagi, sudah 2 jam kami membersihkan rumah. Kami menyudahi acara bersih-bersih itu. Aku berniat membersihkan diri sebelum sarapan. Kebiasaanku di hari libur adalah mandi sekali. Kata salah satu komedian yang kuidolakan, liburan mandi duakali itu kampungan.

“Ily gimana sekolah kamu?” tanya bunda yang sedang mengoles selai ke roti.

“kan baru masuk besok bunda, ya mana Ily tau.” Jawabu dengan mengunyah roti.

“maksud bunda, persiapan kamu. Bukannya besok mos?” besok adalah hari pertama masuk sekolah. Tentunya aku akan melewati masa orientasi siswa yang begitu menyebalkan.

“nanti mau beli pita sama Endel bun”

“Naily, kamu tidak boleh mengganti nama orang sembarangan” aku lupa jika disini ada ayah yang siap mencincangku kapan saja jika aku mengganti-ganti nama orang, atau melakukan tindakan yang lain yang tidak mengenakkan hati.

“ralat, sama Andelia bun”

Usai sarapan, ayah pergi dengan Aldi. Entah itu kemana, mungkin mereka berenang di halaman belakang atau pergi ketempat gym. Aku menyukai jika ayah pergi ketempat gym, karena aku akan menyusulnya dan melihat ada yang kotak-kotak namun bukan roti sobek. Kuhempaskan bokongku di sofa ruang keluarga, aku menghidupkan TV dengan remot ditanganku. Layar TV menampilkan acara-acara kartun luar negeri yang aku tak mengerti bahasanya. Aku lupa, serial pahlawan Bima X kesayanganku telah terlewatkan. Memang itu acara untuk anak-anak, aku melihatnya karena pemainnya Adhitya Alkatiri. Dia mempunyai otot yang kekar. Aku begitu mengidolakannya.

Pandanganku teralihkan kepada Kak Sha yang tiba-tiba lewat didepanku dengan pakaian super rapi. Bukan rapi seperti akan berangkat ke kantor, maksudku dia berdandan begitu cantik. Dress navy dibawah lutut, serta wedges yang membalut kakinya dan tas slempang gaya wanita yang menggantung di bahunya. Bunda yang di sampingku mengernyitkan dahi, sama bingungnya sepertiku. Sebelum kami bertanya, kak Sha telah membuka suara terlebih dahulu.

“Bun, Sha mau pergi dulu ya sama Bondan” pantas saja dia berdandan secantik itu, rupannya dia akan berkencan.

“Bondannya mana? Kalian mau kemana?” tanya bunda runtutan. Ia tidak akan memberi izin anak gadisnya begitu saja.

“masih di jalan, nanti juga pamit sama bunda. Biasa lah bun ini kan Anniversary ke 5 kita” hebat bukan? Kakakku itu bertahan hingga 5 tahun. Meski seringkali putus nyambung. Sedangkan aku palingan juga 1 bulan. Itupun waktu kelas 2 SMP dan aku tidak menyukainya. Karena hatiku tertinggal pada kak Billy, yang sayangnya hanya menganggapku adik kecil.

“Wih 5 tahun ? itu pacaran apa kredit mobil” cibirku yang mendapat pelototan dari Kak Sha.

“sirik aja jones. Emangnya situ paling lama sebulan doang. Nah itu pacaran apa paket internet” sindirnya ganti. Aku melototinya tajam. Bunda menggelengkan kepala melihat kelakuan kami.

Kak Bondan memang tampan dan tajir. Memang pantas jika disandingkan dengan Kak Sha. Pasangan yang sempurna, yang akan membuat patah hati semua pria dan wanita yang melihatnya. Aku ? tentu saja tidak. Mana mungkin aku bersedih dengan kebahagiaan saudaraku. Meski kami sering bertengkar, tetap saja kami saudara.

Kak bondan salah satu mantu idaman orangtua manapun. Dia begitu sopan, tampan ah aku tidak bisa mendiskripkan dengan rinci. Bunda selalu tenang melepaskan Kak Sha untuk pergi dengan kak Bondan. Dan aku bangga menjadi calon adik iparnya. Jika wanita lain berharap menjadi istri kak Bondan, maka aku menjadi calon adik ipar saja sudah cukup. Kak sha dan Kak Bondan sudah pergi untuk merayakan anniversary atau apalah itu. Sekarang tinggal aku dan bunda yang disini.

“Bunda, ily mau pergi sama endel. Minta uang” aku mengadahkan tanganku dan memasang wajah semelas mungkin.

“kamu itu ya, minta uang terus. Nyusahin bunda aja, gak pernah nyenengin” bunda yang sedang kumat, mulutnya komat-kamit menceramahiku

“kata siapa? Ye waktu bunda bikin aku kan bunda seneng” ujarku ngasal. Bunda menjewer telingaku hingga hampir putus. Dosa apa yang telah kulakukan?

“kamu itu masih kecil jangan ngomong gitu”

“setidaknya ily sudah mendapatkan pelajaran reproduksi bun. Tapi bener kan bunda seneng” isengku. Raut wajah bunda yang merah padam berubah menjadi merona. Bunda menyodorkan beberapa lembar ratusan ribu.

“sana pergi” usir bunda. Skak mat dariku berujung kebahagian. Bunda pergi dengan wajah merah meronanya. Aku tau ini memang kelewatan, tapi ini adalah jurus jitu meminta uang dari bunda.

Kulajukan motorku ke rumah endel yang letaknya di komplek depan. Kumatikan mesinku saat motorku menginjak depan rumahnya. Aku terlalu malas untuk memencet bel ataupun berteriak. Jadi kuketikkan pesan singkat kepadanya.

Naily : gue didepan cepet keluar. Gak pake lama, panas banget!

Andelia : masuk aja, gak dikunci kok. Aku lagi di kamar ini. Masih ngeringin rambut.

Naily : problematika nya gue lagi males banget buka pagar. Bukain dong! Lo kan tuan rumah.

Andelia : kamu kira aku ini satpam kamu. Endak mau ah, masuk aja. Kaya gak pernah kesini aja.

Kuhela nafasku panjang. Kubuka gerbang itu sedikit, setidaknya ada celah untuk motorku masuk. Suasana dirumah Endel begitu sepi. Dia salah satu anak broken home. Orangtuanya selalu keluar kota untuk mengurusi bisnis kayu keluarganya. Kadang-kadang endel menginap dirumahku saat dirumahnya tiada siapapun.

“Eh mbak Naily, cari non Andel ya?” tanya bik Surti. Pembantu Andelia. Terus jika bik surti ada kenapa tadi aku buka gerbang sendiri?

“bukan , cari bibi. Yaiyalah bik kaya Naily baru kesini sekali saja. Biasanya kan kesini cari Andel. Masa mau nagih utang” aku terkekeh pelan dan bi surti pun tersenyum. Tanpa perlu diantar aku sudah menuju kamar Endel. Tanpa permisi kubuka pintu itu.

“Kya... Ily ketuk dulu dong. Aku kan lagi ganti baju” kulihat endel hanya memakai tangtop dibadannya serta handuk yang terlilit di pinggangnya. Salah siapa ? katanya dia sedang mengeringkan rambut.

“alah lagak lo kaya mau gue nodain aja. Gue normal tau, lagian sesama cewek kok. Katanya lo lagi ngeringin rambut makanya gue masuk”

“emang tadi aku ngeringin rambut kok. Tapi aku belum pakai baju” jawabnya khas logat jawa kalem seperti dari kraton surakarta. Memang dia masih ada keturunan kraton. Namun bukan kraton surakarta, tapi Yogyakarta. Endel pindahan dari Jogja 5 tahun silam. Keluarganya lebih memilih membangun bisnis sendiri.

Seperti namanya yang kujuluki endel, bukan tanpa sebab. Karena dia begitu ngondek, centil bayangkan saja hanya memoleskan bedak kewaajahnya membutuhkan waktu sejam. Padahal kami hanya berniat membeli pita bukan kondangan. Aku sering tertidur menunggu endel berdandan. Untung saja endel meminjamka laptopnya. Setidaknya main game mengurangi rasa bosanku.

“lama banget kaya mak-mak mau kondangan” aku menguap , jika saja endel 5 menit lebih lama selesai aku pasti sudah tertidur.

Motor yang kami kendarai melaju menuju toko accecories terdekat disini. Ah bukan terdekat, kami memilih rute yang lumayan jauh. Kebiasaan kami adalah memilih jalan yang jauh, sekalian jalan-jalan. Memang jauh dari kata efektif maupun efisien. Hal ini sudah menjadi hobi tersendiri bagi kami.

Motor kami berhenti di depan toko accecories yang lumayan ternama disini. Kami memasuki toko tersebut dan menanyakan beberapa barang yang kami perlukan. Sial, semuanya sudah habis terjual. Kami mencoba membeli ditoko sampingnya dan beruntutuan kesialan menimpa kami. Ditambah lagi, rupanya aku menabrak punggung seseorang. Bruk...

“maaf..” aku membantu memungut beberapa buku yang berjatuhan. Sekilas terlihat seperti makalah yang sering guru tugaskan padaku. Ah mungkin mas-mas yang kutabrak ini sedang mengerjakan skripsi. Aku hanya menduga-duga,karena aku juga belum tahu rupa skripsi itu seperti apa.

Tanpa menjawab maaf dariku dia berlalu. Sebelum dia pergi, dia sempat melihatku sekilas dan menatapku tajam. Tatapannya begitu menyeramkan. Mungkin jika Aldi ditatap seperti itu, dia bakalan nangis. Punggung kokoh nan lebar itu berlalu begitu saja. Cih, sombong amat. Padahal aku sudah meminta maaf. Mentang-mentang dia tampan.

Kembali pada masalah pita. Aku mencari kesana kemari dan untungnya kami mendapatkan barang berharga untuk anak mos itu di toko dekat kedai kopi disini. Kami memutuskan untuk mampir ke kedai, sekaligus mengurangi rasa penat kami. Mataku menatap orang yang berlalu lalang didepan kedai. Beberapa pasangan sedang memadu kasih di depan sana. Aku tidak iri, hanya saja aku iri melihat keluarga bahagia disana. Bukan berarti keluargaku tidak bahagia, namun kami jarang berkumpul bersama. Hanya akhir pekan waktu kebersamaan kami, itupun kadang ada yang tidak ikut karena kepentingan lain.