Sebuah Harapan

Aku menyesap vanila latte di cangkir itu. Aroma nya yang begitu khas terhirup di rongga hidungku. Aku salah satu pecinta kopi. Tentu saja aku tidak bisa menyalurkan hobiku dirumah, bunda akan menceramahiku jika kopi itu tidak bagus dan begitulah jika kujelaskan mungkin sehabis subuh baru selesai.

Telingaku memang tak setajam pendengaran kelelawar. Samar- samar aku mendengar perbincangan dua sejoli itu. Posisi laki-laki yang membelakangiku membuatku dengan bebas mengamati punggungnya. Bukankah punggung itu aku pernah melihatnya? Tapi dimana. Ah iya itu lelaki menyebalkan yang kutabrak tadi. Lelaki songong yang jutek sekali. Aku membayangkan bagaimana jika aku mengguyurkan gelasku, pada muka songong itu. Namun niat itu kuurungkan, melihat mereka terlihat berbicara serius.

“karena semua orang tahu aku pacarmu, aku akan menikahimu” wanita yang menghadapku itu menitikkan air mata. Kenapa mesti terharu dengan lamaran yang jauh dari kata romantis itu. Aku tidak tahu ekspresi lelaki itu, karena dia memunggungiku.

Kuputuskan pergi, setelah vanilla latteku sudah berpindah di perutku. Aku baru saja meraih helm untuk kupakai. Namun seseorang menyeret lenganku dan membawaku ke gang sepi. Aku tidak takut, aku terlalu bahagia mengetahui orang yang menyeretku. Dia kak Billy, lelaki pujaanku yang sayangya tak pernah menganggapku sebagai seorang wanita.

“aku tahu, selama ini aku berusaha hanya menganggap kamu adik bukan seorang wanita. Karena aku pikir kamu masih kecil. Namun waktu berlalu kamu menjadi semakin dewasa. Aku ingin menanyakan satu hal” kak billy menggenggam erat tanganku.

“apa kak?”

“jika aku pergi dan tidak mengabarimu apa kamu masih mau menungguku?”

“pasti kak” jawabku tanpa ragu. Tentu aku akan menunggu cinta yang selama ini kudamba.

“baiklah. Aku akan pergi 6 tahun, aku harap kamu menepati janjiku. Aku akan menikahimu saat aku kembali. Boleh ?” tanya kak billy menatap bibirku. Tanpa sadar aku menganggukkan kepalaku. Dan sesuatu yang lembab menempel di bibirku sebelum kak billy benar-benar pergi meninggalkanku tanpa hubungan yang pasti.

Pagi ini menjadi hari pertamaku pada sekolah baru. Mataku tak hentinya mengamati setiap siswi yang menguncir rambutnya menggunakan pita dan siswa yang mengikat pita di kepala bak pendekar. Tanpa harus aku jelaskan, pasti kalian semua tahu ini masa orientasi siswa yang memang wajib kami ikuti sebagai siswa baru. Menurutku masa orientasi di sekolah baru kami masih terbilang manusiawi. Akan terlihat jelas jika dibandingkan dengan sekolah swasta tempat bersekolah temanku Vanya dan kembarannya Valkrie. Sebenarnya Vanya masih bisa sekolah disini, namun Valkrie tidak keterima maka dari itu Vanya melepaskan kesempatan gemilang sekolah disini demi bersekolah dengan kembarannya.

Tiada yang spesial pada masa orientasi hari pertama, begitupun juga sampai hari terakhir. Namun ada sedikit insiden yang membuatku menjadi sasaran empuk para senior, ya karena hal sepele aku lupa memakai tali sepatu putih. Bukan hanya tali bahkan seluruh sepatuku putih. Aku lupa jika harus memakai sepatu hitam walaupun itu sedang olahraga. Alhasil sepatuku putih tidak disita hanya saja dibaluti kresek hitam untuk menutupi warna putih itu, kreatif bukan?

Pada tahun pertama SMA, kuhabiskan hanya dengan sekolah-pulang-main. Begitulah rutinitas tahun pertama. Belum ada sesuatu yang spesial. Aku masih berteman dekat dengan Endel. Namun, Endel sudah mulai dekat dengan seorang cowok yang merupakan kakak kelas. Begitu denganku, ada satu cowok yang mulai mendekatiku. Aku sendiri tidak terlalu menanggapinya, karena rasa dihatiku masih belum tergantikan.

"Eh, dicariin tuh ama pangeran" Ujar Herman menggodaku. Aku menatap kedepan, kupandangi wajah tersebut. Aku mendecak sebal, melihat seseorang didepanku.

"Nai, udah makan? Kantin yuk?" Ajak Chandra. Cowo kelas sebelah yang menyukaiku.

"Eh, nggak deh makasih ya. Aku mager" Tolakku halus.

"Kalau begitu aku belikan ya, kita makan di kelas bareng" Ajaknya yang masih keukuh pantang menyerah.

"Nggak usah repot-repot Chan" Aku tersenyum dan lagi-lagi menolakknya. Tak lama sesosok gadis cempreng itu menampakkan dirinya. Suara khas medoknya melengking memanggil namaku.

"Naily.. Ayo kantin" Ajak Endel. Aku merasa bimbang. Kalau kuiyakan ajakan Endel, pasti Chandra mengekor.

"Eh, Del bujuk Naily dong. Susah banget tuh diajak" Pinta Chandra

"Beres Chan, bakso semangkok ya" Tawar Endel. Dan dibalas dengan jempol oleh Chandra. Aku mendengus sebal. Karena, kalau Endel yang mengajak itu lebih mirip paksaan bukan ajakan. Akhirnya aku ke kantin juga hari ini. Makan dengan Chandra, cowok yang nggak sedikitpun kucintai.

Dengan perasaan sedikit malas, aku berjalan menuju kantin. Entah mengapa suasana seperti aneh, aku merasakan firasat buruk. Aku membayangkan, apa yang mungkin terjadi? Atau hari ini akan banyak tugas sekolah?

"Ily, Chandra itu lumayan loh" Ujar Andelia secara tiba-tiba.

"Kalo lu mau mah ambil aja kali Ndel" Jawabku malas.

"Sembarangan, aku kan sukanya sama kak Panca" Balasnya.

"Baru suka kan? Belum ditembak?"

"Iya..iya mentang-mentang yang mau ditembak" Balasnya membuatku mengernyitkan dahi.

"Hah? Maksud lu?" Tanyaku keheranan.

"Eh, nggak gitu. Maksudnya, mending kamu buka hati buat Chandra deh. Kita kan juga udah mau naik kelas 2. Udah wajar sih kalau ngerasain suka"

"Ndel, gue itu udah suka sama orang. Kak Billy namanya"

"Tapi mana? Dia gak dateng kan? Orang mah kalau suka mana mungkin sih ninggalin gitu aja"

"Tapi, kak Billy pasti punya alasan" Belaku.

"Iya, alasannya apa?" Pertanyaan dari Endel tidak bisa kujawab. Aku hanya mengangkat bahuku menandakan ketidaktahuan. Lalu, tidak lama kemudian kami sampai di kantin.

Kami makan dengan lahap. Ketika aku sampai pada suapan terakhir, tiba-tiba Chandra berdiri. Kemudian dia berlutut satu kaki, dan tangannya mengambil sesuatu di saku jaketnya. Chandra mengeluarkan boneka kecil hello kitty. Kemudian ia berkata

"Naily, Apakah kamu mau jadi pacarku? Aku sudah lama menyukaimu" Malu, iya rasanya malu. Melihat anak-anak lain ikut menyoraki dan heboh. Aku tidak menyukai Chandra. Namun, aku juga tidak bisa menolak Chandra. Aku kasian, apabila menolak Chandra. Aku merasa bimbang.

"Terima...terima.." Teriak orang-orang disekitarku.

Dengan perasaan merasa bersalah, merasa bingung, merasa sedih aku mengatakan 'iya' dan diiringi tepuk tangan riuh di seluruh penjuru. Aku hanya tidak ingin Chandra malu. Tapi aku juga tidak bisa berlama-lama bermain drama.

Sebulan berlalu, Chandra selalu mengabsen kelasku. Dan tidak lupa setiap saat mengirimiku pesan. Membuatku merasa tidak nyaman. Aku harus menyudahi drama ini.

"Chan, bisa ngomong sebentar?" Tanyaku saat mendatangi kelasnya.

"Tentu dong sayang. Udah ngomong aja" Jawabnya.

"Keluar aja yuk" Ajakku. Dan aku berhenti pada pojokan sekolah. Aku mengumpulkan keberanian.

"Chan, sorry aku nggak bisa nyakitin kamu lebih dalam lagi" Aku memberikan boneka itu kembali.

"Maksudnya apa?" Tanya Chandra kebingungan.

"Aku nggak bisa nerusin hubungan ini. Aku bener-bener minta maaf, aku gagal. Aku nggak bisa belajar mencintaimu, meski sudah kucoba"

"Beri aku kesempatan Nai, aku akan mencobanya lagi membuatmu suka padaku" Pinta Chandra

"It's over, aku sudah selesai. Sorry, Chan aku memang nggak bisa. Karena hatiku sebenernya ada untuk orang lain" Jelasku.

"Siapa? Hah?? Siapa?" Tanya Chandra berapi-api.

"Suatu saat nanti jika dia sudah kembali, aku akan tunjukkan padamu"

"Tidak, kamu pasti bercanda kan?" Tanya Chandra yang masih tidak percaya.

"Aku serius, dan maaf ya Chan. Terimakasih selama satu bulan ini kamu selalu siaga untukku. Kamu cowok baik, kamu pantas dapat cewek yang lebih baik. Jangan putus pertemanan denganku ya" Aku melepaskan genggaman Chandra kemudian pergi meninggalkannya. Maaf kak Billy, aku sudah menghianatimu. Maaf, aku tidak bisa memegang janjiku. Maaf, sekali lagi maaf. Dan kumohon kamu kembali.

Tak terasa dua tahun berlalu, kini aku sudah beranjak kelas 3 SMA. Padahal rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki disekolah ini sebagai murid baru. Dan selama 3 tahun itu, hidupku penuh warna. Aku tidak mengatakan berwarna, hanya saja penuh warna hitam karna hidupku penuh kelam dan gelap. Lebih tepatnya hatiku begitu kelam tak tersentuh. Siapa saja lelaki yang mendekatiku dan bermaksud untuk menjadi pengisi hatiku, aku akan menghindari orang itu. Karena aku masih menunggu, menunggu seseorang yang hilang tanpa kabar. Apa waktu 3 tahun tidak cukup untuk dia pergi? mengapa ia tak segera kembali. Sungguh rasa rindu ini sudah tidak dapat kubendung lagi. Andai saja rasa rindu ini seperti air mungkin dunia ini sudah banjir.