Kalian pernah melihat orang gila? Ya itulah aku sekarang. Tanpa pikir panjang aku mau saja masuk kedalam permainan Gio. Memang apa untungnya buatku? Kurasa aku tidak memiliki kesepakatan macam itu sebelumnya.
"Terimakasih" ucapnya tidak iklas. Hei apa dia buta? Aku menanggung dosa banyak karena membohongi semua orang. Dan ini menyangkut perasaan, menyangkut hati, menyangkut arghhh sudahlah ini terlalu rumit untuk dijelaskan apalagi untuk di luruskan.
"Hmm.. What do i get?" aku hanya bergumam. Sebelumnya dia menyeretku paksa kesini, dengan alasan membahas kedepannya. Memang kedepannya kita mau apa? Hah mau nikah? Gak mungkin lah mau di taruh dimana mukaku? Terus ya mau diapakan cita-citaku bersekolah di Hubungan Internasional.
"Maafkan aku yang menyeretmu kedalam masalah ini. Padahal kau tidak mengenalku. Kamu tenang saja aku akan memberikan balas jasa yang setimpal dengan ini" tidak mengenalku? Bukankah seharusnya kata itu diganti dengan kita tidak saling kenal?. Ya kecuali dia mengenalku. Memangnya dia kenal? Ahh otakku terlalu pusing memikirkan semuanya. Sudah cukup aku bingung menghadapi UNAS, ditambah kebohongan ini. Tolong bantu aku siapapun di dunia ini. Sadarkan aku, kenapa aku tolol sekali main iya-iya aja.
"Mau dikatakan apalagi, kita sudah terlanjur membohongi semua orang. Dan aku berharap anda segera menyelesaikan masalah ini"
"Tentu aku akan menyelesaikannya, tapi bukan sekarang. Tunggu saja sampai waktu yang tepat" memang semua akan indah pada waktunya, tapi kapan waktu itu? Menunggu bapak khongguan yang gak pulang-pulang itu kembali ke keluarganya? Menunggu kurs dolar Rp.5000? Mustahil, ya semustahil masalah ini bisa terselesaikan. Aku yakin masalah ini akan berbuntut panjang.
Kami bisa saja memberitahu mama (mama gio) kalau kami hanya berpura-pura. Tapi itu tidak mungkin, aku mengurungkan niatku semenjak aku tahu mama punya serangan jantung. Gio yang menceritakan tadi, saat aku ingin menyampaikan ideku tadi. Aku merasa bersalah nanti kalau mama gio kumat karena aku. Tapi setelah dipikir-pikir ini kan salah Gio. Hmm...aku tidak setega itu mengorbankan nyawa orang. Tapi Gio setega itu mengorbankan masa depanku. Argg....aku pusing memikirkan ini.
"Soal mama, tolong jangan katakan kalau kau mengetahui penyakitnya. Mama tidak mau dikasihani. Dan aku mohon jangan berbicara formal kepadaku. Supaya kita terlihat dekat"
"Okelah gue setuju" Gio melirikku tajam
"Apalagi salah gue? Salah mulu deh perasaan." Tanyaku lagi dengan nada ketus.
"Kenapa logat bicara kamu gitu?" Apakah dia pikun? Dia menyuruhku!
"Lo pikun atau amnesia? Belum ada 5 menit yang lalu loe yang nyuruh gue pake formal" aku mencibir.
"Setidaknya pakailah aku-kamu. Jangan seperti abg"
"Salah sendiri memilihku yang masih Abg labil" jawabku acuh.
"Apa aku harus membuatmu menjadi dewasa, dengan cara membuatmu menjadi ibu rumah tanggah dulu" wajahnya mendekat dan menyeringai. Plak.. aku melayangkan tanganku ke wajahnya yang menyeringai itu.
"Mesum!!!" Teriakku dan meninggalkannya yang terkikik geli
***
Aku membuka lemari es mengambil air mineral dingin, mungkin sedikit membantu untuk melegakakan hatiku. Air mineral itu tandas dalam sekali tegukan. Ahh.. Segar sekali seakan-akan aku meluruhkan masalah itu.
"Bisa kamu jelaskan ?" Tanya kak Sha melipat kedua tangannya didepan dada.
"Apa sih kak yang perlu di jelaskan ?" Aku menolak berbicara. Gio menyuruhku untuk tidak berbicara kepada siapapun. Sekalipun itu kakakku.
"Kamu gila hah? Dia itu lebih tua dari kamu hampir 8 tahun. Dan dia itu duda anak satu ! " lebih gila lagi ini adalah permainan dan aku menyetujuinya.
"Terus apa masalahnya kak kalau dia du-da?" Aku menekankan kata duda. Apa yang salah dengan duda? Duda juga manusia. Lebih baik duda asli daripada perjaka rasa duda.
"Masa depan kamu masih panjang dek" Kak sha mendesah kesal.
"Emangnya kakak pikir aku mau nikah apa?" Ya tuhan kenapa ini semakin jauh.
"Dia itu pria dewasa dek, bukan cowok labil lagi. Kemana akan perginya hubungan pria dewasa itu pasti ke jenjang pernikahan. Kau tau kan fikiran pria dewasa? Jangan-jangan kalian sudah.." Kak sha menggantungkan pertanyaannya dan memicingkan matanya tajam.
"Udah apa? Udah deh kakak gak usah mikir macem-macem. Palingan kakak yang udah itu, kakak kan mesum" celetukku asal yang mendapat jitakan dikepalaku? Oh iya kalian tau kenapa aku bodoh? Sudah jelas karena kelakuan orang rumah ini sukanya menjitaki kepalaku jadinya otakku sedikit bergeser. Mungkin dikit lagi mencapai dengkul.
"ngawur!! Kamu itu masih kecil jangan ngomong yang begituan" aku menatapnya dengan tatapan 'emang situ udah gede?'
"Siapa juga yang mulai?" Sindirku
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Cepat jelaskan kapan, dimana, dan bagaimana kalian bisa kenal hingga pacaran" Kak Sha mengintrogasiku mengalahkan BIN.
"Duh kak... Gak bisa jelasin" Jawabku masih menolak.
"NAILY..." Teriak Andel. Selamat. Hari ini aku selamat dari cercaan Kak Sha. Andel kali ini kamu malaikat penyelamatku.
"Udah ah cabut dulu udah ditunggu Endel nih mau kerja kelompok! Bhay"
Aku melenggang pergi. Berjalan kedepan rumah dan menemukan cewek cantik nangkring di motor maticnya memakai helm bogo. Wajahnya cemberut dan memberikan sebuah helm lagi untukku.
"Kamu tuh ya udah ditungguin dari tadi, udah wa, line gak keluar-keluar" celotehnya ria.
"Ya maaf. Lagian kamu juga kenapa gak langsung masuk aja ?"
"Lagi mager, terus panas" alasan ya itu hanya alasan. Karena aku tau dia khawatir ada Affan. Affan om ku, yang hampir seumuran sama Kak Sha. Andelia dia naksir sama Om Affan tapi dia Om Affan cuek aja. Dan sekarang rasa sayang sahabatku berubah menjadi kebencian, aneh? Ya nggak terlalu juga karena benci sama cinta itu beda tipis. Tipis banget sehelai benang? Segaris? Pokoknya tipis banget.
Kamu kan naik motor jadi tinggal tancap gas. Terus ya yang ada disini malah panas, kalau masuk rumahku tuh adem banget apalagi sambil ngeliatin wajah om Aff--"
"Diem deh, yang ada hatiku tambah panas tau! Eh tunggu dulu sejak kapan kamu jadi ikutan logatku aku kamu? Biasanya lo gue?" Aku baru tersadar jika tadi menggunakan logat yang disuruh Gio. Oh kenapa tubuhku bak robot yang selalu menuruti perintahnya. Aku hanya menghendikkan bahu acuh.
"Santai aja beb, dia nggak ada di rumahku kok. Dia lagi nengok pekerjaannya di Ambon" Andelia mendengus pelan. Aku terkikik geli dan mengambil alih stir motor itu. Dia mengeratkan tangannya di perutku, mungkin kalian mengira kami lesbian. Kalian salah besar, Andela mengeratkan pelukannya karena aku menyetir kesetanan dengan kecepatan 100km/jam.
"Gila ya kamu, mau bikin aku mati muda?" Protes Andelia.
"Santai beb. Enak kali mati muda kan dosanya masih sedikit. Bisa masuk surga" jawabku yang lagi-lagi mendapat jitakan di kepalaku.
"Kalian lama sekali dari mana aja sih?" Devora mengibaskan tanganya dengan gaya kepanasannya yang alay banget setengah mati.
"Jalanan macet! "Jawabku singkat padat jelas.
"Oya kamu kebagian yang bikin melitur bathok kelapa ini ya biar lebih cantik kaya aku hehe.." Sonya memberikan batok kelapa beserta alat-alatnya.
"Ini mah tugas cowok, gak deh aku gak bisa" tolak andelia dengan gaya membersihkan tangannya jijik.
Aku menyeret tangannya paksa , kalo cuma gini mah gampang kali. Aku mengambil kuas itu dan mengaplikasikan di bathok kelapa. Bukan hal susah, cuma saja aku lupa memakai sarung tangan dan lihatlah tanganku yang penuh coretan.
Aku mengangkat kuasku ke udara, sepertinya bagian dalam sedikit susah memplitur. Aku menopang dagu, mataku melirik tajam ke arah suara cekikikan disampingmu.
"Ngapain ketawa? Lucu?" Tanyaku judes. Dan andelia masih tertawa , malah semakin lantang.
"Hahahahahahahha..." dia meneteskan air mata saking lamanya tertawa. Memang apakah ada yang lucu.
"Oh ya inikan malam jumat pantes. Obatnya abis" sindirku.
Andelia tak menjawab dan tawanya tak kunjung reda, malah semakin menjadi-jadi. Hampir saja aku berusaha cuek, namun pantulan bayangan di cermin itu membuatku shock. Daguku, oh bodohnya diriku yang menopang dagu menggunakan kuas. Alhasil wajahku penuh dengan coretan-coretan tidak jelas. Oh pantas saja Andelia tertawa bak melihat Mr. Bean.
Namun tawa Andelia tak kunjung reda, tanganku yang gatal akhirnya melayangkan kuas itu ke pipi tirus Andelia. Alhasil tawanya reda, namun amarahnya kini memuncak. Dia berlari terus mengejarku, akhirnya dia bisa menangkapku dan membalas perbuatanku tadi. Keadaan semakin gaduh, saat teman-teman yang semula sibuk dengan tugas masing-masing kini berbaur bersama kegiatan coret mencoret itu. Mereka itu bodoh atau apa sih? Tapi ini memang sangat lucu dan menyenangkan. Ah mungkin sebentar lagi aku tidak bisa merasakan kebahagian seperti ini saat lulus nanti dan itu tinggal menghitung beberapa bulan saja . Untuk kalian yang masih sekolah, gunakanlah waktu kalian dengan baik. Manfaatkanlah bersama dengan teman kalian. Sebenci-bencinya kalian masuk sekolah, saat lulus kalian akan merindukan bangku sekolah.
Usai membersihkan wajah bersama, kami kembali kerumah masing-masing. Aku menggosokan tanganku kasar di pipi. Kenapa noda ini tak kunjung hilang? Diantara teman-temanku hanya nodaku lah yang paling sulit. Kakiku memijak di pelataran rumahku , namun usahaku menghilangkan noda itu nihil. Aku harus siap-siap terkena omelan dari bunda.
Aku mengurungkan niat untuk masuk kerumah saat melihat dua mobil terparkir manis di garasi rumah. Mungkinkah ini kejutan ayah bunda membelikanku mobil baru? Atau mungkinkah ini mobil deep collector? Ahh fikiranku semakin menjadi-jadi. Aku baru saja tahu siapa pemilik mobil itu, saat sebuah suara mengagetkanku.
"Mama.." pekik Nico kencang. Kenapa dia disini ? Dan dia memanggilku mama di depan orang tuaku? Oh bolehkah aku pingsan sekarang? Bunda menatapku dengan tatapan bertanya, dan ayah menatapku dengan tatapan kosong. Apakah ayah kecewa terhadapku?
Aku mulai kehilangan keseimbangan saat Nico melompat kedalam pelukanku. Dan untung saja ada pahlawan kesorean yang menahan tubuhku. Lihatlah kami terlihat seperti keluarga bahagia, oh shit apa yang aku pikirkan. Bajuku saja kadang dicucikan bunda, dan bisa-bisanya aku berfikiran menikah. Nico tak mau melepaskan pelukannya. Bahkan sampai sekarang kami sudah duduk di ruang tamu. Dia menyembunyikan kepalanya di dadaku.
"Nico lepas sayang sini sama Tante.." bujuk Gea. Namun Nico hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Mamanya capek sayang, sini sama nenek" hampir saja aku lupa fakta yang membuatku mati berdiri. Kedua orang tua Gio ada disini beserta Gea. Mengapa mereka kesini?
Jangan-jangan... Ah tidak mungkin. Sinting kali ya jika bayanganku ini benar mereka akan melamarku. Impossible, unreal conditional!
"Ehm.. jadi maksud kedatangan anda kemari untuk apa pak Rega?" Rega? Jadi nama ayah Gio itu Rega? Aku menyeruput es sirup didepanku karena haus juga meladeni celotehan Nico.
"Begini pak Willy. Maksud kedatangan kami adalah untuk meminta anak bapak menikah dengan anak saya Gio" uhuk..uhuk.. es sirupku yang malang karena muncrat mendengar pembicaraan om Rega.