"Tidak ada yang menyadarinya, setelah dia memakan jiwamu secara perlahan."
.
.
☘☘☘
“APA kalian membawa kotaknya?"
Chan-sol mengeluarkan kotak warna hitam dari dalam tas ranselnya. Kemudian, dia memberikan kotak itu pada pria di depan mereka. Pria tadi membuka kotak tadi secara perlahan. Sebuah gulungan kertas berukuran sedang berada di dalamnya. Ia membuka gulungan tadi ke atas meja. Kosong. Tak ada goresan tinta yang tertulis disana.
“Apa maksudnya?”
Pria itu hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Seomi. Ia kemudian mengambil pisau lipat berukuran kecil dari saku jasnya.
“Kenapa tidak kita cari tahu?”
'CRASS!'
Mata gadis itu membulat melihat pemimpin mereka melukai tangannya sendiri. Darah segar mengalir keluar dari luka di tangannya. Lalu, dia mengarahkan tetesan darahnya ke atas kertas tadi. Dalam hitungan detik, sebuah gambar terbentuk dari tetesan darahnya.
'Kertas rahasia? Harusnya aku menyadarinya sejak awal.'
“Sebuah peta?”
Mereka bertiga mengamati gambar dan tulisan kuno yang ada di dalam peta. Gadis itu sama sekali tidak mengerti maksud dari tulisan yang ada di kertas usang itu. Chan-sol mengamati tulisan yang ada di pinggir kertas. Manik cokelatnya menatap satu per-satu huruf latin kuno itu.
“Disini tertulis, Your nightmare … in the darkness. Human was sleeves.”
“Istana Vampire Kingdom?” tebak Seomi.
“Ya,, benar. Peta ini menunjukan akses rahasia menuju kesana,” jelas Chan-sol.
“Well, tim ß aku punya tugas khusus untuk kalian. Lakukan seperti biasa.”
“Kami siap menerima perintah anda, Master.”
***
“Dalam waktu dekat jiwa iblismu akan muncul. Kau harus mencari korban untuk itu.”
Gemericik air terdengar dari kamar mandi milik Hyeon-sol. Ia masih memikirkan maksud dari perkataan ayahnya siang tadi. Kepalanya menengadah ke atas menikmati guyuran air shower yang menghujani wajah tampan itu.
‘Jiwa iblis, ya.’
Selesai mandi, dia keluar dengan handuk melilit pinggang. Rambut hitamnya yang masih basah tampak berantakan. Lalu, Hyeon-sol segera berganti pakaian. Beberapa menit kemudian, rasa sakit yang luar biasa menjalari kepalanya. Ia memegangi kepalanya kuat-kuat.
‘Apa yang terjadi?’
Beberapa kali tubuhnya menabrak lemari pakaian yang ada di depannya. Ia sampai memejamkan mata onxy hitam miliknya untuk menahan sakit. Rasanya Hyeon-sol ingin memecahkan kepalanya sendiri.
“Kau ingin tahu jawabannya?”
Sebuah suara menjawab pemikirannya tadi. Dia langsung membuka mata. Iris hitam kelam milik pria itu menangkap sosok bertubuh tinggi tengah berdiri di hadapannya. Hyeon-sol terkejut melihat senyuman khas pria itu. Hanya seperkian detik, wajah milik Hyeon-sol kembali datar. Ia baru sadar bukan berada di kamarnya lagi.
Melainkan sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi. Tempat yang gelap, dingin, dan tak berujung. Matanya masih mengamati pria dihadapannya. Dari ujung kaki sampai ujung kepala, sosok itu benar-benar mirip dengannya. Hanya ada satu perbedaan diantara mereka berdua, iris mata milik pria di depannya itu berwarna merah scarlett bukan hitam.
“Selamat datang, Prince.” ujar sosok itu sambil tersenyum.
Menurut Hyeon-sol senyuman tadi terlihat mengerikan. Bayangkan kau melihat cermin dan refleksi bayanganmu itu tersenyum, sedangkan kau tidak tersenyum sama sekali.
“Siapa kau?”
“Aku? Kau masih bertanya. Lucu juga.”
“Jawab saja pertanyaanku.”
“Aku ini dark side-mu. Sisi iblis dari dalam dirimu sendiri.”
“Apa yang kau inginkan?”
“Well, kau memang orang yang to the point. Santai saja, jangan terburu-buru. Apa kau tidak mau ngobrol dulu denganku?”
“Aku tidak tertarik.”
“Ck. Kapan kau sadar? Tanpa adanya aku kau itu lemah.”
Sosok itu berteleportasi ke belakang tubuh Hyeon-sol. Ia mengeluarkan seringaian kecil dan berbisik di telinga Hyeon-sol.
“Karena aku adalah sumber kekuatanmu. Kita adalah satu,” bisiknya.
“Apa anda baik-baik saja, Pangeran? Hamba mendengar suara kegaduhan dari dalam,” ujar salah satu maid sambil mengetuk pintu kamar milik Hyeon-sol.
“Hm? Makanan sudah datang rupanya.”
Sosok di belakangnya kini menghilang. Hyeon-sol merasa pria tadi mengambil alih kendali tubuhnya. Ia berdiri sambil melipat tangannya di depan dada.
“Sisi iblis?”
Hyeon-sol tersenyum tipis dan kembali mengamati sekitar. Dia baru mengerti maksud dari ayahnya tentang korban itu.
“Ini akan merepotkan.”
Pelayan itu terkejut saat pintu kamar milik Hyeon-sol terbuka. Sebuah tangan kekar menariknya masuk ke dalam. Hyeon-sol memenjarakan maid tadi dengan kedua lengannya. Kemudian, salah satu tangannya menarik dagu sang maid ke atas. Tatapan mereka berdua bertemu.
Pipi wanita itu bersemu merah saat melihat wajah sempurna tanpa cacat sang pangeran. Hyeon-sol yang biasanya bersikap dingin kini tersenyum ke arahnya membuat maid itu meleleh. Dia sudah terjerat pesona milik pria tampan itu. Maid wanita itu bahkan sudah tidak menyadari perubahan warna mata Hyeon-sol sejak dia ditarik dalam kamar.
“Kau cantik,” puji Hyeon-sol sambil membelai wajah sang maid dengan tangannya.
“T-terimakasih, Pangeran.”
“Bagaimana kalau kita bermain, huh?”
“B-bermain?”
“Jangan berteriak. Walaupun nanti terasa sakit. Kau mengerti?”
“Apapun untuk anda, My Prince.”
“Bagus. Sekarang tutup matamu.”
Tangan Hyeon-sol berpindah menutup kedua mata maid tadi. Muka maid itu sudah merah padam menunggu apa yang ingin pangeran itu lakukan. Secara perlahan pria itu menurunkan telapak tangannya ke bawah. Ia sekarang menutup mulut vampir maid di depannya. Wajahnya mendekat ke arah maid itu. Jarak muka mereka hanya terpaut beberapa sentimeter. Seringaian kecil keluar dari mulut pria itu.
“Buka matamu sekarang. Tatap aku.”
Maid itu membuka matanya. Ia menatap iris scarlet milik Hyeon-sol yang berada tepat di depan wajahnya. Dia melihat sesuatu yang gelap disana.
“It's showtime.”
Maid tadi meronta saat Hyeon-sol menatapnya lebih dalam. Pria itu semakin mengeratkan kuncian pada pergelangan tangan wanita di depannya. Dalam waktu beberapa detik, tubuh maid tadi berubah menjadi debu dan menghilang tertiup angin. Hyeon-sol nampak memegangi kepalanya lagi. Kepala pria itu kembali terasa sakit. Kesadarannya mulai menghilang. Tak lama kemudian, ia jatuh tidak sadarkan diri.
***
“Kau tidak pulang?” tanya Hera pada gadis yang tengah duduk di depannya. Ia menyeret koper besar warna cokelat tua di tangannya itu.
Seomi hanya membalas pertanyaannya dengan anggukan kecil. Tangannya masih sibuk membersihkan sepasang bilah pedang kesayangannya itu. Hera tampak membenarkan mantel cokelat yang dia kenakan. Ia berjalan ke arah Seomi dan mengacak rambut hitam gadis itu pelan.
“Kalau begitu, aku pulang dulu. Kau tidak apa-apa sendiri?”
“Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.”
Mereka berdua masih berada di basecamp tim ß. Master memberikan cuti sampai hari penyerangan tiba. Jadi, Hera ingin pulang ke rumahnya di daerah Busan. Hera memeluk Seomi erat. Gadis dengan netra biru shappire itu pun membalas pelukannya. Sialnya, Seomi jadi ingin menangis sekarang. Kemudian, dia melepaskan pelukannya dan kembali tersenyum pada Seomi.
“Aku tidak apa-apa sendirian, Kak. Pergilah. Nanti kemalaman.”
“Baiklah jika kau mengusirku. Aku pergi dulu.”
“Hati-hati.”
“Iya.”
Hera berjalan keluar dari kamar Seomi sambil kembali menyeret kopernya. Netra biru itu beralih menatap bingkai foto di atas meja. Foto dirinya bersama Chan-sol dan Hera.
‘Aku juga ingin pulang tapi pulang kemana?’
Rasanya miris jika dia memikirkan soal keluarga. Ia sudah tidak punya siapa-siapa. Semenjak bibinya bercerai dengan suaminya, tidak ada yang tahu dia ada dimana. Ada kabar yang mengatakan kalau bibinya itu masuk rumah sakit jiwa dan bunuh diri. Akan tetapi, Seomi tak tahu apakah itu berita bohong belaka atau memang kenyataannya. Ia kembali menyarungkan pedangnya tadi dan menggantungkannya di dinding kamar.
“Boleh aku masuk, Seomi?” tanya Chan-sol dari luar kamar setelah mengetuk pintu kamar.
“Masuklah, Kak.”
Chan-sol melangkah masuk ke dalam. Tiba-tiba dia menarik tangan Seomi dan membawanya keluar kamar.
“Kak Chan, kau mau membawaku kemana?”
“….”
Mereka berdua berhenti di ruang tengah, Chan-sol melepaskan pegangan tangannya. Ia menatap Seomi sebentar tetapi kemudian pria itu mengalihkan pandangan ke arah lain. Seomi bisa menangkap raut muka sedih dari wajahnya.
“Apa kau sedang ada masalah?”
“….”
“Kau bisa cerita padaku jika kau mau.”
“….”
“Apa ini masalah pribadi?”
“….”
“Kenapa kau diam saja?”
“....”
“Aku akan kembali ke kamar jika kau tidak bicara.”
“Maaf.”
“Apa—“
Chan-sol menarik tubuh mungil itu mendekat ke arahnya. Dengan cepat ia memeluk Seomi. Iris biru sapphire milik gadis itu membesar. Ia merasa kakinya tiba-tiba lemas. Di saat yang bersamaan, jantung Seomi berdetak lebih cepat dari biasanya. Pipinya sedikit memerah. Ia bahkan takut, kalau Chan-sol mendengar debaran jantungnya.
“Biarkan seperti ini … Aku hanya ingin memelukmu sebentar. Hanya sebentar.”