"Dibalik kata tidak apa-apa. Sebenarnya, aku membutuhkanmu."
.
.
☘ ☘ ☘
BUNYI jam wekker digital yang ada disamping tempat tidur mulai mengganggu pendengaran gadis berusia delapanbelas tahun itu. Tangan mungilnya meraih jam tadi dan segera mematikannya. Seomi mengerjapkan mata beberapa kali. Ia merentangkan tangannya keatas. Seomi menggeleng cepat. Kepalanya terasa sedikit pusing pagi ini.
Selesai mandi dan berpakaian dia berjalan menuruni tangga, melangkahkan kaki ke ruang makan. Netra birunya menangkap sosok Chan-sol yang sedang sibuk meletakkan beberapa piring berisi makanan ke atas meja.
“Kau sudah bangun, Seomi?” tanya pria itu sambil tersenyum.
“Mau kubantu, Kak?”
“Bisa kau pindahkan sup itu ke dalam mangkuk?”
“Siap.”
Gadis bersurai hitam itu mengambil mangkuk berukuran besar dan mengisinya dengan sup sayur buatan Chan-sol. Gadis itu bingung, kenapa aroma masakan pria itu selalu berhasil membuatnya tergoda. Ia yakin Chan-sol memiliki bumbu rahasia dalam resepnya. Setelah meletakkan mangkuk sup tadi ke atas meja, Seomi menarik kursi dan duduk berhadapan dengan pria tampan itu. Dahinya berkerut melihat Chan-sol hanya mengenakan kaos putih polos dan celana jeans warna hitam.
“Kakak tidak pergi ke kantor?”
“Tidak. Aku ingin istirahat dulu hari ini.”
“Kau sakit?”
“Aku tidak sakit. Hanya sedikit kelelahan.”
“Harusnya kamu lebih banyak tidur dan istirahat. Tidak usah mengantarku, aku bisa berangkat sendiri.”
“Aku tetap mengantarmu, Seomi.”
“Kak, aku bukan anak kecil, umurku sudah delapanbelas tahun. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
“Hei, kau tetaplah adik kecilku yang manis. Hari ini aku tetap akan mengantarmu,” tegasnya sambil mengacak rambut Seomi pelan.
“Terserah.”
“Habiskan sarapanmu. Supnya tidak enak kalau dingin.”
“Iya.”
Chan-sol terkekeh pelan. Ia kembali melanjutkan, begitu juga dengan Seomi. Tiba-tiba dia teringat mimpinya semalam. Pandangan mereka bertemu sekilas. Gadis itu buru-buru menghindari tatapan Chan-sol. Ia merasa ragu. Dia harus menceritakan mimpinya pada pria itu atau lebih baik tidak samasekali.
“Ada yang ingin kau katakan?”
“Eh— Tidak. Tidak ada.”
“Jangan bohong. Katakan saja.”
Seomi menyerah. Tak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari pria dengan netra cokelat itu. Chan-sol pasti bisa mengetahuinya seolah-olah Chan-sol dapat membaca pikiran orang lain. Apa dia dulu pernah belajar Psikologi? Pikir gadis itu.
“Aku hanya bermimpi aneh semalam.”
“Hm? Mimpi apa?”
“Aku tak terlalu ingat. Tapi … mimpiku terasa sangat nyata.”
“Mimpi hanya bunga tidur kau tau, kan—“
“Masalahnya, aku melihatmu berubah menjadi vampir.”
Pria itu diam sejenak. Mata cokelat miliknya menatap Seomi serius. Sedetik kemudian, tawanya meledak melihat raut wajah bingung gadis di depannya.
“Pfftt— kau bercanda?Apa aku terlihat seperti vampir? Aku bahkan tidak punya taring.”
“Haha. Ya, kamu benar.”
“Sudah kubilang itu hanya mimpi. Berhenti memikirkan sesuatu yang tak penting.”
Chan-sol tersenyum dan mengacak rambut gadis di depannya lagi. Sikapnya yang hangat membuat Seomi tersenyum.
* * *
Telinga gadis itu menangkap suara keributan dari para pelanggan. Seomi yang tengah mencuci piring segera mematikan kran air di wastafel. Setelah mengeringkan tangannya dengan handuk, dia berjalan keluar dari dapur. Iris biru miliknya melebar menangkap sosok dua orang pria dengan setelan jas hitam mewah duduk di meja pelanggan. Para pelanggan wanita berteriak histeris melihat dua makhluk yang bisa dikatakan memiliki ketampanan di luar batas wajar itu.
“KYAAA! MEREKA TAMPAN SEKALI!”
“Bukankah mereka terlihat seperti aktor!?”
“Oppa, lihat kemari!” teriak salah seorang pelanggan.
Ji-ho yang mendengar teriakkan gadis-gadis itu langsung menoleh. Pria dengan surai pirang itu mengedipkan mata ke arah mereka. Hal itu sukses membuat para gadis pingsan di tempat. Ji-ho malah tertawa puas melihat mereka pingsan. Hyeon-sol hanya menghela nafas melihat kelakuan adiknya.
Seomi mematung ketika mata onxy hitam itu menatapnya. Seringaian kecil muncul dibibir pria bertubuh tinggi itu. Target buruannya sudah terlihat. Matanya tetap fokus menatap kelinci kecil yang berada hadapannya.
“Pelayan.”
“Yes, Sir. Anda ingin memesan apa?” tanya salah satu pelayan yang ada di samping Hyeon-sol.
“Aku ingin Kim Seomi yang melayani kami. Bisa kau panggil dia?”
“Apa bedanya saya dengan dia, Tuan? Saya juga pelayan di café ini. Lagipula hari ini dia bertugas di bagian dapur, bukan melayani tamu.”
“Kau … membantahku?” ujar Hyeon-sol dingin.
Tubuh pelayan wanita itu tiba-tiba gemetar melihat kilatan cahaya di mata hitam pekat milik Hyeon-sol. Tatapan tajam pria itu serasa menusuknya. Pria itu benar-benar mengerikan.
“B-baik. Saya akan memanggil Seomi. M-mohon tunggu sebentar.”
Pelayan wanita tadi berjalan ke arah Seomi dengan wajah pucat pasi. Bahunya masih gemetar. Seomi mendecih kesal. Mereka bahkan menakuti orang yang tidak bersalah. Pecundang.
“Rin, kamu tidak apa-apa?”
“M-mereka mencarimu.”
“Apa yang mereka berdua katakan?”
“Mereka ingin kau yang melayani mereka.”
'Mencariku? Apa rencana mereka sebenarnya?'
“Istirahatlah. Wajahmu sangat pucat.”
“I-iya.”
Seomi mengepalkan tangannya. Ia mengatur nafas, coba menurunkan emosinya terlebih dahulu sebelum berjalan mendekat ke arah meja mereka. Seomi mengamati pengunjung café sekilas. Para gadis menatap mereka berdua dengan tatapan memuja. Sepertinya mereka sudah terjerat pesona kedua vampir itu.
“Maaf, Saya membuat anda menunggu. Apa tuan-tuan ingin memesan sesuatu?” tanya Seomi ramah sambil tersenyum.
'Walaupun musuh, mereka tetap pelanggan. Kau harus ramah, Seomi.'
“Apa kau selalu melayani pelanggan dengan senyum mengerikan itu?”
“Sepertinya anda salah paham. Saya selalu tersenyum seperti ini. Jadi anda ingin pesan apa?”
“Aku pesan bubble tea,” ujar Ji-ho.
“Baik. Satu bubble tea … Lalu bagaimana dengan anda?"
“Aku ingin darahmu.”
“M-maaf?”
“Aku tak suka mengulangi perkataanku. Catat saja yang tadi.”
“Bisa anda ulangi pesanan anda?”
“Darahmu.”
“Huh?”
“Kenapa kau tidak menulisnya?”
“Maaf, Tuan. Tapi itu tidak terdaftar dalam menu. Silakan anda lihat lagi daftar menu kami.”
“Kalau begitu … Apa aku harus memesanmu dulu?”
'Pria ini benar-benar—‘
“Jika anda tidak bisa membaca menu dengan benar, saya sarankan anda untuk memesan espresso.”
“Sayangnya, aku hanya ingin darahmu.”
“Baiklah. Satu kopi espresso untuk anda. Mohon tunggu sebentar,” ujar Seomi sambil melangkah pergi darisana.
Beberapa menit kemudian, Seomi kembali dengan nampan berisi segelas bubble tea dan secangkir espresso pesanan mereka.
“Ini pesanan anda, Tuan.” ujarnya ramah sambil meletakkan kedua minuman itu ke atas meja hati-hati.
Saat meletakkan secangkir kopi itu, tangan dingin milik Hyeon-sol menarik tangan gadis itu ke arahnya. Segelas kopi hitam yang Seomi pegang jatuh mengenai setelan jas mewah yang dikenakan pria itu. Hyeon-sol beranjak dari kursinya. Mata onxy itu menatap Seomi tajam.
“Apa kau tidak bisa bekerja dengan benar?”
“Saya tidak sengaja. Tadi tuan menarik tangan saya. Dan—“
“Kau ingin bilang ini salahku?”
“Tetapi, anda memang—“
Belum sempat gadis itu meneruskan perkataannya, Hyeon-sol langsung mengguyur bubble tea pesanan adiknya ke atas kepala Seomi. Teriakan merendahkan dari para pelanggan terdengar riuh. Iris biru shappire nya melebar melihat seringaian kecil dibibir pria itu.
“Kau pantas mendapatkannya.”
Pria dengan surai hitam itu kembali meletakkan gelas tadi ke atas meja. Para pelanggan wanita mulai menghina Seomi dengan berbagai kata-kata kasar. Damn it! Rasanya dia ingin merobek mulut wanita-wanita itu sekarang juga. Tangannya mengepal kuat melihat senyum kemenangan yang pria tampan itu tunjukkan.
“Sayang sekali. Padahal aku sedang ingin minum bubble tea,” gerutu Ji-ho.
“Ayo, pergi.”
“Eh— Kau menumpahkan bubble tea-ku!”
“….”
“Aish— Percuma saja. Bye-bye, Kelinci kecil.”
Mereka berjalan meninggalkan Seomi tanpa rasa bersalah sedikitpun. Makhluk sombong seperti mereka tidak akan pernah mengerti rasanya dipermalukan.
“Kau--” teriak Seomi sambil mengarahkan tinjuan ke arah Hyeon-sol.
Matanya melebar melihat Hyeon-sol berhasil menangkap pukulannya itu dengan mudah. Tangan besar pria itu memutar pergelangan tangan Seomi hingga mengeluarkan bunyi retakan. Pria itu mematahkan tangannya. Lagi. Wajah tampan milik Hyeon-sol mendekat ke arah Seomi. Iris hitam pekat itu tidak terlihat seperti mata manusia kebanyakan. Dia lebih terlihat seperti iblis.
“Bukan hanya tanganmu. Aku bisa saja mematahkan bagian tubuhmu yang lain atau mengambil jantungmu sekarang juga jika aku menginginkannya.”
“…”
“Anggap ini sebagai hukumanmu, Kim Seomi.” bisiknya pelan.
Tubuh gadis itu tiba-tiba saja membeku setelah mendengar ucapan pria di depannya. Dia bahkan tidak bisa menggerakan anggota badannya sendiri. Kemudian, mereka berdua berjalan meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa memandangi punggung mereka yang kian menjauh tanpa bergerak sejengkalpun. Beberapa detik kemudian, ia baru bisa menggerakkan tubuhnya. Hyungseok berlari menghampirinya. Tangannya memegangi kedua bahu milik Seomi. Ia terlihat khawatir.
“Apa kau tidak apa-apa?”
“Iya. Jangan cemas, Kak. Aku tidak apa-apa.”
“Akan kupanggil Jack untukmu.”
“Tidak usah.”
“Tanganmu patah lagi dan kau bilang tidak apa-apa?! Kau waras?!”
“Aku memang baik-baik saja.”
“Kita ke rumah sakit sekarang.”
“A-apa?”
“Ayo!” seru Hyungseok sambil menarik lengan gadis itu.
“Kak, Tolong berhenti. Aku bisa membenarkannya sendiri.”
“….”
Hyungseok diam tak menjawabnya. Dia tetap menarik Seomi keluar dari cafe dan menyuruh gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu pasrah. Tidak ada pilihan lain selain menuruti pria itu. Jika dia membantah lagi, Hyungseok akan lebih mengerikan dari Chan-sol. Ocehan yang keluar dari mulutnya seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya.
***
“Bagaimana keadaannya, Jack?” tanya Hyungseok pada seorang dokter pria yang baru saja keluar dari ruangan.
“Mungkin butuh waktu beberapa bulan untuk menyembuhkan pergelangan tangannya. Lagi.”
“Apakah separah itu?”
“Kita hanya bisa menunggu perkembangannya. Kau bisa masuk sekarang.”
“Terima kasih.”
“Iya, sama-sama. Jangan biarkan adikmu melakukan sesuatu yang ceroboh lagi,” ujar Jack sambil tersenyum.
“Aku mengerti.”
Seomi masih duduk di tepi ranjang sambil menatap pria yang baru masuk ke dalam ruangan. Tangan kanannya sudah dibalut perban dan dikaitkan dengan kain ke bahu kirinya. Gadis itu tersenyum melihat Hyungseok berjalan mendekat. Pria itu berdecak kesal.
“Ck. Kau masih bisa tersenyum disaat seperti ini?”
“Ah, memangnya kenapa, Kak?”
“Berhenti membuatku khawatir. Kalau rasanya sakit katakan saja. Jangan malah tersenyum seperti orang bodoh!”
Seomi hanya terkekeh geli menanggapi perkataan pria di depannya itu. Hyungseok terlihat semakin kesal. Ia memukul kepala gadis itu cukup keras.
“Apa sebenarnya isi otakmu itu, huh?!”
“Sakit!”
'BRAKK!
Perhatian mereka berdua beralih ke arah pintu yang dibuka dengan kasar. Pria dengan netra cokelat itu berlari ke arah mereka. Rambutnya tampak berantakan. Kaos putih yang ia kenakan terlihat basah oleh keringatnya sendiri. Nafasnya tak beraturan.
“Apa kau tidak apa-apa? Apa tanganmu patah lagi?”
“Tenang, Kak. Aku tidak apa-apa.”
“Kau tidak tau aku khawatir setengah mati? Aku langsung berlari kemari saat menerima telepon dari Hyungseok.”
“Aku tidak apa-apa. Dokter Jack sudah mengobatiku.”
Chan-sol beralih menatap Hyungseok, “kau sudah bilang akan menjaganya. Kenapa Seomi bisa terluka seperti ini?”
“Apa kau menyalahkanku? Aku sedang pergi saat kejadian berlangsung.”
“Kau kan bisa langsung kembali ke café. Apa kau tidak bisa lebih perhatian pada Seomi?”
“Aku sudah menganggapnya adikku sendiri. Jaga bicaramu, Chan-sol.”
“Aku kan sudah menitipkan Seomi padamu. Harusnya kau bisa lebih tanggungjawab.”
“Aku sudah tanggungjawab dengan langsung membawanya ke rumah sakit dan menelponmu!”
Telinga gadis itu mulai panas mendengar pertengkaran dua orang super protektif di depannya. Seomi hanya bisa tersenyum kaku. Lama kelamaan gendang telinganya bisa pecah dan masuk ruang UGD karena ocehan mereka berdua.
“Apa kalian berdua ingin terus bertengkar? Ini rumah sakit.” sela gadis itu berusaha menengahi pertengkaran mereka berdua.
“Karena kelalaian Hyungseok tanganmu patah lagi.”
“Kau masih menyalahkanku?!”
“Ini bukan kesalahan Kak Hyungseok. Ini semua salahku. Aku tidak ingin melihat kalian bertengkar. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja,” ucap Seomi sambil tersenyum ke arah mereka berdua.
“Seomi …”
“Iya? Kenapa?”
“Aku jadi ingin memelukmu,” ujar Chan-sol sambil mencubit pipi gadis di depannya.
“Kau—“
Kemudian, mereka berdua tertawa. Hyungseok mengacak rambut Seomi pelan sambil tersenyum.
“Cepatlah sembuh. Kami berdua khawatir padamu.”
“I-iya.”
Matanya terasa panas melihat perhatian kedua orang ini pada dirinya. Ia ingin menangis.
“Kakak …”
“Eh— Kenapa kau menangis?” tanya Chan-sol bingung.
“Apa tanganmu sakit?” balas Hyungseok khawatir.
Seomi menggeleng pelan. Kedua pria itu tampak bingung dengan perubahan mood gadis di hadapan mereka.
“Kenapa kau menangis? Hei, katakan pada kami.”
“Akan kupanggil Jack kemari jika tanganmu sakit.”
“Terima kasih sudah mau peduli padaku. Aku menyayangi kalian. Maaf sudah membuat kalian selalu khawatir.”
“Boleh aku memelukmu?”
Hyungseok langsung memukul kepala Chan-sol dengan keras. Pria bersurai coklat itu meringis kesakitan sambil memegang kepalanya.
“Kenapa kau memukulku?”
“Bodoh. Tangan Seomi sedang sakit dan kau ingin memeluknya?”
“Apa masalahnya?”
“Yak! Kau ini benar-benar—“
***
Seomi menggerakkan tangannya perlahan. Siang tadi, dokter Jack membuka perbannya dan dia mengatakan bahwa tangannya sudah pulih. Sewaktu dia sakit, Chan-sol dan Hera yang setiap hari menyuapinya. Hera juga membantunya memakai pakaian. Ia tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Ia tersenyum senang karena akhirnya dia bisa makan sepuasnya dan berlatih pedang lagi.
Ia menoleh ke arah pintu. Seorang mengetuk pintu kamarnya cukup keras. Terdengar suara lembut dari balik pintu kayu itu.
“Makan malam sudah siap, Seomi.”
“Iya. Aku akan menyusul.”
Kemudian, mereka bertiga makan malam bersama. Sedari tadi manik cokelat milik pria itu mengawasi setiap gerakan tangan Seomi. Sebenarnya dia sendiri merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan Chan-sol.
“Apa yang kau khawatirkan, Kak?”
“Tanganmu benar sudah sembuh?”
“Iya.”
“Kau yakin?”
“Iya.”
“Baiklah. Apa kau tidak ingin aku suapi?”
“Aku sudah sembuh, Kak!”
“Terserah kau saja.”
Selesai makan malam, Hera dan Chan-sol sibuk menyiapkan keperluan mereka untuk menonton film. Berbagai cemilan dan minuman soda tergeletak di atas meja.
“Kau tidak ingin menonton, Seomi?” tanya Chan-sol.
“Tidak. Aku ingin istirahat saja.”
“Seomi kemarilah. Senior sengaja membeli banyak makanan untukmu. Kau tahu, kan, aku sedang diet.”
“Aku sudah kenyang, Eonni. Kalian nonton berdua saja. Aku mengantuk.”
Seomi berjalan menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa dia mengunci pintu kamarnya sebelum berjalan ke arah meja belajar. Tangannya meraih buku tebal kuno waktu itu dari dalam laci. Kemudian, dia menyalakan lampu belajar di atas meja. Ia terdiam sejenak memikirkan cara untuk membuka buku itu.
“Apa mungkin—“
Lalu, dia mengambil pisau lipat berukuran kecil dari laci yang lain. Seomi menggoreskan pisau tadi ke jari telunjuknya. Darah segar keluar dari luka yang dibuatnya. Gadis itu mengarahkan tetesan darah tadi ke atas buku itu. Cairan merah pekat mengalir mengikuti ukiran yang ada di bagian sampul dan berhenti pada simbol yang ada di tengah gambar.
'BRAKK!'
Tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dengan lebar. Tirai-tirai putih itu berterbangan tertiup angin. Seomi terkejut melihat buku berjudul 'The Power of Darkness' itu terbuka cepat dengan sendirinya. Matanya mengamati tulisan dengan tinta merah yang ada di dalam buku itu.
“Ini huruf kuno juga?”
Sebuah sinar putih menyilaukan keluar dari buku. Gadis itu melindungi mata biru sapphire miliknya dengan tangan kanannya. Tubuh mungil Seomi seakan tertarik ke dalam buku.
“A-apa ini?”
Sinar tadi perlahan meredup. Buku tebal itu tertutup kembali. Angin kencang tadi tiba-tiba menghilang. Sunyi. Gadis itu pun tidak ada di kursinya lagi. Tubuhnya menghilang bersamaan dengan cahaya tadi hanya menyisakan semilir angin malam yang menerbangkan tirai putih itu perlahan.
***