DARK SIDE

"Semua orang punya rahasia, yang ingin mereka sembunyikan. Layaknya bom waktu. Dia bisa meledak kapan saja."

.

.

☘ ☘ ☘

ALUNAN musik lembut terdengar dari headphone milik gadis yang tengah asik mengotak-atik laptopnya. Jari-jemarinya yang lentik menari dengan cepat di atas keyboard. Sesekali ia mengambil cangkir berisi coklat panas yang ada di sampingnya. Ia meniupnya pelan kemudian meminum sedikit isi dari cangkir. Hera meletakkan cangkir tadi dan kembali fokus pada pekerjaannya. Ia tengah sibuk melakukan hobinya, meng-hack salah satu website di internet.

Ponsel disampingnya bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. Pipinya sedikit merona melihat nama yang tertera di layar ponsel miliknya. Dengan cepat dia mengambil ponsel dan membuka pesan chat itu.

Rab | 07:45 AM

Yeong-jun : Morning.

Hera : Morning ....

Yeong-jun : Apa kau sudah sarapan?

Hera : Belum sempat. Hanya secangkir coklat hangat.

Yeong-jun : Ingin kubawakan?

Hera : Tidak usah.

Yeong-jun : Bagaimana kalau kita bertemu hari ini? Aku merindukanmu.

Pipi Hera memerah saat membaca pesan terakhir yang muncul di draf pesannya. Senyumnya merekah tanpa ia sadari. Jarinya sedikit gemetar saat ingin membalas pesan tadi.

Rab | 07:49 AM

Hera : Akan kutunggu di rumah. Jemput, ya. Aku juga merindukanmu.

Di sana seorang pria berambut pirang keemasan tengah tersenyum kecil saat melihat balasan dari Hera. Ia kembali menyesap gelas berisi cairan merah yang ada di tangannya.

“Gadis bodoh,” gumamnya pelan.

Ia kemudian memakai jas hitam dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia puas karena buruannya itu menarik umpan yang ia pasang.

“Sebastian.”

“Yes, Yourhighness.” balas pelayan pribadinya sambil menundukkan kepala.

“Siapkan mobilku.”

“Baik, Tuan. Saya akan segera menyiapkan mobil untuk anda.”

***

Seomi masih sibuk mengelap meja. Selesai. Tangannya dengan lincah memindahkan cangkir dan piring-piring itu ke Tampan. Dia segera membawa nampan tadi ke arah dapur.

“Warga dihebohkan atas penemuan mayat seorang gadis di salah satu gang di wilayah Myeongdong. Polisi memperkirakan, gadis berusia sekitar duapuluh tahun itu sudah tewas sejak dua hari lalu. Ia ditemukan meninggal dunia dengan keadaan yang sangat mengenaskan .…”

Langkah gadis itu terhenti, ketika mendengar suara pembaca berita dari televisi yang berada tak jauh darinya. Beberapa pelanggan dan pelayan café juga tampak serius mendengarkan berita pembunuhan itu.

“Tubuh gadis berinisial ‘KNN' ini, ditemukan terbujur kaku. Mayatnya akan dibawa ke lab forensik kepolisian untuk segera diotopsi. Sedangkan polisi masih menyelidiki penyebab kasus kematian dan motif pelaku kepada korban.”

Layar televisi itu kemudian menampilkan wilayah TKP. Jasad korban sudah dimasukkan ke dalam kantung mayat. Beberapa petugas rumah sakit yang mengenakan masker dan sarung tangan mengangkut kantung mayat tadi ke dalam mobil ambulan. Wilayah TKP juga sudah dibatasi dengan garis polisi. Beberapa detektif tampak mengobservasi tempat tersebut. Tangan Seomi mencengkeram pinggiran nampan dengan kuat.

‘Sial. Mereka berulah lagi.’

“Mengerikan. Siapa yang tega membunuh dengan cara kejam seperti itu?” komentar salah satu pelayan wanita.

“Menurutku, bukan pembunuh yang melakukannya. Tapi makhluk jadi-jadian,” balas pelayan pria di sampingnya.

“APA? Makhluk jadi-jadian?!”

“Iya. Akhir-akhir ini banyak berita kematian yang tak masuk akal. Kau ingat berita kematian di Gangnam street?”

“Tentu.”

“Gadis itu juga mati dengan keadaan yang sama dengan kasus tadi.”

“Oh. Benar juga. Sepertinya—“

“Apa yang kalian berdua lakukan? Cepat kembali bekerja. Kalian ingin bos memarahi kita, huh?!” tegur salah satu pelayan pria sambil memukul pelan kepala mereka berdua.

“Yak! Sunbaenim! Kau tidak perlu memukul kami.”

“Kalian ini hanya membuang waktu. Apa kalian berdua tidak melihat para pelanggan sudah kelaparan?”

“Maaf. Kami akan kembali bekerja.”

“Bagus.”

Kedua pelayan tadi pergi melakukan tugasnya masing-masing. Seomi pun masuk ke dalam dapur dan menaruh nampan tadi ke dalam wastafel. Seorang pria dengan seragam chef menghampirinya. Ia menggelengkan kepalanya pelan sambil berkacak pinggang. Dia adalah kepala chef sekaligus pemilik café, Park Hyung-seok.

“Aku menyuruhmu menunggu kasir. Kenapa kau di sini, Kim Seomi?” protesnya.

“Aku tidak bisa hanya diam di sana, Kak. Rasanya membosankan.”

“Tanganmu, kan, masih belum sembuh. Jangan melakukan pekerjaan berat dulu.”

“Aku sudah sembuh.”

“Tetap saja. Kau ini sudah kuanggap adik sendiri. Jadi, turuti perkataanku. Apa kau ingin potong gaji, huh?” tanya Hyung-seok sambil menarik hidung gadis di depannya pelan.

“Aduh, ini semua tidak ada hubungannya dengan gaji.”

“Kau lupa? Aku bos disini.”

“Aku tahu. Kau tidak perlu memperjelasnya lagi.”

Hyung-seok tertawa sambil menarik gemas kedua pipi Seomi dengan tangannya. Dia adalah orang kedua tercerewet setelah Chan-sol. Walaupun terkadang mereka berdua menjengkelkan, tetapi mereka sangat perhatian pada Seomi padahal gadis itu bukanlah adik ataupun saudara mereka.

“Kak Hyungseok. S-sakit!”

“Salah sendiri kau terlalu menggemaskan sampai aku ingin memakanmu.”

“Lepas!”

“Hyungseok-ssi, ada yang mencarimu.” teriak salah satu pelayan dari pintu masuk dapur.

“Mencariku?”

“Iya, Bos.”

“Lakukan perintahku tadi. Kau tidak ingin gajimu berkurang, kan? Kalau begitu, Aku pergi dulu.” ucap Hyung-seok sambil tersenyum.

Seomi pun membalas senyuman manisnya dengan anggukkan kecil. Ia menepuk bahu gadis itu pelan dan berjalan ke luar dari dapur.

'Apa yang harus kukerjakan sekarang?'

“Seomi, bisa kau bawa pesanan ini ke meja nomor lima?” tanya salah seorang chef sambil menyodorkan nampan berisi secangkir cappuccino panas padanya.

“Baik.”

* * *

Gadis dengan surai hitam itu keluar dari toilet setelah mengganti seragam kerjanya dengan kemeja motif kotak-kotak berwarna merah hitam dan celana jeans hitam yang sebelumnya ia pakai pagi tadi. Tak lupa dia segera memakai jaket tebal dan memasukkan baju kerja tadi ke dalam tas ransel.

Di depan café, Chan-sol sudah menunggu di samping mobil sport silver miliknya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Seomi. Gadis itu berjalan menghampirinya. Chan-sol masih tersenyum sambil mengacak rambut Seomi pelan.

“Maaf, Kak. Aku membuatmu menunggu lama.”

“Tidak apa-apa. Aku baru sampai. Apa kau lapar?”

“Aku masih kenyang, kok.”

“Baiklah. Kalau begitu kita langsung pulang.”

“Oke.”

Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Mobil itu melaju meninggalkan cafè. Banyak pelanggan yang datang ke cafè di akhir pekan. Rasanya tangan gadis itu hampir patah untuk yang kedua kalinya.

“Apa kau kelelahan, Seomi?”

“Sedikit.”

“Jangan terlalu memaksakan diri. Kau tahu tanganmu belum pulih benar.”

“Aku mengerti.”

“Kalau tanganmu belum sembuh, aku akan minta izin pada master agar kau digantikan pada misi kali ini.”

“Aku sudah sembuh. Kakak tidak perlu minta izin. Aku akan ikut dalam misi ini apapun yang terjadi.”

“Kau harus tau, Seomi. Misi kali ini lebih beresiko dari misi-misi kita sebelumnya.”

“Aku tak peduli. Kau sendiri tau, aku ingin menemukan istana makhluk sialan itu.”

“Terserah kau saja kalau begitu.”

Gadis itu menyandarkan kepalanya ke belakang. Netra birunya memandang ke luar mobil. Keadaan jalanan masih ramai dengan kendaraan dan para pejalan kaki yang hilir mudik di pinggir jalan. Butiran-butiran salju yang dingin turun perlahan dari langit. Jujur Seomi menyukainya. Tanpa sadar senyumnya mengembang ketika melihat salju itu jatuh dari balik kaca mobil.

‘Mom…. Aku harap kau bahagia disana? Apa kau sudah bersama ayah? Aku merindukan kalian. Sangat.’

'CITT! BRUKK!'

Tiba-tiba Chan-sol menghentikan mobilnya secara mendadak. Seomi menjerit pelan. Ia meringis kesakitan. kepalanya membentur dashboard mobil cukup keras. Sial, dia tadi lupa memakai sabuk pengaman.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Chan-sol sambil memegangi kedua bahu gadis di sampingnya.

“Aku tidak apa-apa.”

Chan-sol tampak khawatir melihat luka di bagian pelipis gadis cantik itu. Namun, sedetik kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tangan Seomi perlahan menyentuh lukanya. Dia merasakan sesuatu yang basah mengalir darisana.

“Darah?” gumam Seomi sambil mengamati cairan merah kental yang membasahi jarinya sendiri.

Matanya beralih melihat ke arah Chan-sol yang hanya diam mematung. Tangannya meremas setir mobil dengan kuat. Kepalanya tertunduk ke bawah.

“Kak.”

“….”

“Apa kau tidak apa-apa?”

“Harus berapa kali aku katakan padamu.”

“A-apa?”

Chan-sol mengangkat kepalanya. Pandangan pria itu masih lurus ke depan tanpa menatap Seomi. Rahang bawahnya tampak mengeras. Genggaman tangannya di setir mobil semakin kuat sampai gadis itu bisa mendengar bunyi retakan disana. Seomi merasakan firasat buruk dari sikap Chan-sol yang tak seperti biasanya.

“Kau kenapa?”

Pria bersurai cokelat itu memejamkan matanya. Sebuah seringaian kecil muncul di bibir Chan-sol. Entah kenapa Seomi merasa takut melihat perubahan sikap pria itu. Mata cokelat milik Chan-sol berubah menjadi merah. Ia menoleh dan menatap tajam gadis di sampingnya. Tubuh gadis itu seolah membeku saat tangan dingin Chan-sol menyentuh pipinya.

“K-kau vampir?”

“Aku sudah bilang padamu jangan sampai terluka. Kenapa kau tidak mendengarku?”

Pria dengan surai cokelat itu mendekat wajahnya. Aura Chan-sol berubah gelap. Seomi bisa merasakan tekanan yang luar biasa kuat memenuhi mobil.

“Kak Chan-sol?”

“Apa kau tidak tahu kalau aromamu sangat manis, huh?” bisiknya.

'DEG!'

Iris biru sapphire milik gadis itu membesar saat Chan-sol mengecup pelan leher jenjangnya. Dadanya terasa sesak. Matanya terasa panas sekarang. Air mata mulai membasahi pipi Seomi. Dia takut. Perasaan takut yang sama seperti malam itu. Tubuhnya gemetar. Ia tak bisa lagi menahan isak tangisnya.

“Kenapa …. Kenapa kau seperti ini?”

Tiba-tiba tangan milik Chan-sol menarik tubuh mungil itu, memeluknya erat. Chan-sol hilang akal beberapa menit lalu. Ia merasa bersalah sudah membuat gadis di hadapannya ketakutan.

“Maaf. Berhentilah menangis, Seomi.”

Seomi baru menyadari kalau jantung pria itu sama sekali tidak berdetak. Ia menggeleng pelan, tak percaya. Ternyata seseorang yang selama ini berada di dekatnya, seseorang yang menyayanginya itu adalah seorang vampir. Makhluk yang dia benci. Selama ini dia percaya. Selama ini dia selalu jujur pada pria itu. Ternyata— dia hanya dibohongi. Pria itu hanya pura-pura memperlakukan dirinya seperti keluarga.

“Maafkan aku.”

Malam itu ia mengetahui sisi Chan-sol yang sebenarnya. Sisi gelap yang selama ini pria itu sembunyikan dari dirinya. Gadis itu melepaskan pelukan Chan-sol. Mata biru sapphire miliknya berubah menatap tajam pria tampan itu.

“Bukankah kau aktor yang hebat? Haha. Kau memang naif, Kim Seomi. Kau kira ada orang asing yang bisa menyayangimu layaknya keluarga.”

“Seomi, kau salah paham. Aku memang—“

“Kau … Seorang vampir yang pura-pura menjadi manusia. Cih, apa menyenangkan bermain rumah-rumahan dengan kami selama ini? Kau anggap itu lelucon? Sedangkan kau tau aku sangat benci dengan makhluk penghisap darah tak tau diri. Ah, rasanya aku ingin membunuhmu.”

“Dengarkan penjelasanku dulu. Kau harus tahu alasan kenapa aku melakukan ini—“

“Aku tidak membutuhkannya.” Gadis itu menggigit bibir bawahnya, “seorang pembohong takkan bisa dipercaya lagi.”

Kemudian, gadis itu mengambil tas ransel miliknya dan melangkah cepat keluar dari mobil sport milik Chan-sol. Pria bersurai cokelat itu ikut keluar dari mobil. Ia sedikit berlari agar bisa mengejar Seomi.

Chan-sol meraih pergelangan tangan gadis di depannya, “kumohon dengarkan penjelasanku dulu.”

“Apapun alasanmu aku samasekali tak peduli,” jawab Seomi dingin sambil melepaskan tangan Chan-sol yang sempat menariknya.

“Kenapa … kenapa kau berubah? Apa aku makhluk yang sehina itu?”

Seomi memilih diam, tak menjawab pertanyaan tadi. Ia kembali melanjutkan langkahnya menjauhi sosok yang tengah berdiri di belakangnya. Entah kenapa rasanya kakinya begitu berat. Dadanya terasa sesak. Kebohongan memang menyakitkan. Karena itu Seomi tak menyukainya. Sangat.

“Kim Seomi, kau tak mendengarku?”

“Jangan mengikutiku. Aku bisa saja membunuhmu … dengan tanganku sendiri.”

Chan-sol langsung menghentikan langkahnya saat mendengar jawaban Seomi. Pria itu memilih berdiri disana. Ia menyentuh dadanya yang terasa sesak. Ia merasa terluka. Seomi pun melangkah pergi meninggalkan Chan-sol yang masih berdiri mematung di tengah turunnya salju.

‘Aku membencimu, Kim Chan-sol.’

***

Seomi berdiri di depan minimarket sambil meminum cappuccino panas yang ada di tangannya. Ia merutuki kebodohannya sendiri karena meninggalkan dompetnya di base camp. Ceroboh. Salah satu kebiasaan buruknya yang tak bisa hilang.

“Dasar bodoh. Kenapa kau bertindak sebelum berfikir? Aku tidak tahu harus pulang kemana sekarang.”

Rumah yang dulu ia tinggali bersama ibunya sudah dijual oleh bibinya sendiri. Ia juga merasa trauma jika harus tinggal disana sendirian. Sekarang mereka sudah pindah entah kemana. Ia hanya punya satu tempat tinggal. Base camp.

'Tidak. Bukan waktunya untuk menyesal. Apa aku harus menelepon kak Hera.'

Baru saja ia hendak mengambil ponsel dari saku jaket, Seomi langsung berubah pikiran dengan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaket. Ia menggeleng cepat.

“Tidak-tidak. Kalau aku menginap di tempat Hera, Chan-sol akan menemukanku disana. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi.”

Matanya menatap lurus ke arah jalanan yang sudah nampak sepi. Hanya satu dua kendaraan saja yang masih melintas dan hampir tidak ada orang lagi yang berlalu lalang di pinggir jalan. Salju yang jatuh di kepalanya mulai meleleh dan membuat rambutnya sedikit basah. Dia bisa mati kedinginan jika tidak menemukan tempat untuk menginap.

Sialnya, dompet gadis itu tertinggal di basecamp. Hanya ada beberapa lembar uang di dalam tas yang tadi sudah dia gunakan untuk membeli cappucino panas. Sisanya tentu tidak cukup untuk menyewa sebuah penginapan.

'Aku benar-benar tidak bisa berfikir lagi.'

“Seomi?” panggil seseorang sambil menepuk bahunya pelan.

“Kak Alex?”

“Sedang apa kau sendirian disini?”

“Boleh aku minta tolong?”

“Minta tolong?”

***

Pintu mansion mewah itu terbuka saat Alex selesai memasukkan kata sandi. Base camp tim Alpha sedikit berbeda dari base camp mereka bertiga. Bahkan mansion mewah ini berada dipusat kota tidak seperti base camp mereka yang berada di pinggir hutan.

“Kau membawa tamu?” tanya seorang pria bertubuh tinggi yang tengah duduk sambil membaca buku di ruang tengah.

“Aku bersama Seomi, Dave. Dia bilang ingin menginap disini,” ujar Alex sambil menaruh kantong plastik belanjaannya di dapur.

“Menginap?”

David meletakkan bukunya dan berjalan menghampiri gadis itu. Ia tersenyum melihat wajah polos Seomi. Ia mengacak rambut gadis di depannya itu pelan.

“Apa kau tidak takut menginap disini?”

Seomi memiringkan sedikit kepalanya, “takut?”

“Kau tahu kan kalau kami bertiga ini … Vampir.”

“Iya. Tentu saja.”

“Kami tidak tau apa yang akan kami lakukan padamu. Seandainya salah satu dari kami lepas kendali, Seomi.”

“Aku tahu.”

“Sepertinya kau tidak paham apa yang kubicarakan. Kami ini berbeda denganmu. Kami minum darah manusia, kau tahu itu, kan?”

“Iya. Lalu? Aku bisa menjaga diriku sendiri, Senior.”

David tertawa pelan kemudian berjalan kembali ke arah sofa. Ia duduk dan membaca bukunya tadi.

“Hei, Dude. Bisa kau bersihkan luka di dahi Seomi?" perintah pria itu tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

Mendengar hal itu, Seomi menyentuh dahinya sendiri. Ia mengernyit. Perih. Dirinya sendiri bisa sampai lupa kalau tadi dia terluka. Kemarahannya pada Chan-sol mengalahkan segalanya. Telinganya mendengar bunyi pintu terbuka. Seseorang baru saja masuk ke dalam mansion itu.

“Luke! Tumben sekali kau pulang cepat,” tanya Alex pada pria bersurai hitam yang kini tengah menatap Seomi sinis.

“Sedang apa dia disini?”

“Tidak bisakah kau sopan sedikit pada tamu kita?” sahut David.

“Untuk apa? Lagipula aku tidak menyukainya,” jawab Lucas dingin.

'Orang ini sangat menyebalkan.'

Ia berjalan melewati Seomi sambil menutup hidung. Gadis itu merasa bingung melihat tingkah Lucas. Pria itu dengan cepat menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

'Apa aku sebau itu? Padahal seingatku aku sudah mandi sore tadi.'

“Seomi, kemarilah. Aku akan mengobati lukamu,” perintah Alex sambil membuka kotak P3K di atas meja.

“Ya, Senior.”

Seomi pun duduk disampingnya. Alex menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Ia mulai membersihkan luka di dahinya. Tiba-tiba dia teringat Chan-sol. Biasanya pria itu yang selalu mengobatinya saat dia terluka.

'Kenapa aku mengingat orang itu lagi?Menyebalkan.'

“Apa ada masalah?” tanya pria di depannya itu.

“Tidak ada, Kak.”

“Perkataan Lucas tadi jangan dipikirkan. Dia hanya belum terbiasa dengan orang yang baru dia kenal. Sebenarnya dia orang yang cukup perhatian.”

“Aku mengerti. Kak Alex, boleh aku bertanya?”

“Hm? Kau ingin tanya apa?” ujarnya sambil memasang plaster pada luka Seomi hati-hati.

David yang duduk di samping mereka berdua merasa tertarik. Ia menoleh, ikut mendengarkan pembicaran mereka.

“Apa bauku tidak enak?”

Tiba-tiba kedua orang itu diam membeku. Alex mengalihkan pandangan dan segera membereskan kotak P3K tadi. David berdeham cukup keras sebelum menutup bukunya dan beranjak dari sofa.

“Ini hampir tengah malam. Sebaiknya kau tidur. Kamarmu ada di lantai dua. Ayo, akan kuantar.” tawar leader tim alpha itu sambil tersenyum.

“Iya. Terimakasih sudah mengobatiku, Kak Alex.”

“Haha. Nevermind. Aku senang bisa membantumu.”

“Ayo,” ajak David.

Seomi segera beranjak dari tempatnya dan menghampiri pria bertubuh tinggi itu. Sampai di depan kamar, David memberikan kunci kamar kepada Seomi.

“Ini kamarmu. Jika kau butuh apa-apa kau bisa minta tolong padaku atau pada anggota yang lain.”

“Terimakasih banyak, Kak Dave. Aku mengerti.”

“Ah— Jangan lupa kunci kamarmu sebelum tidur. Good night.”

Pria bertubuh tinggi itu berjalan menuruni tangga. Seomi menengok ke samping. Pandangannya fokus ke arah pintu kayu yang hanya berjarak sekitar lima meter darinya. Kamar milik Lucas.

‘Kenapa dia membenciku? Padahal aku tidak pernah berbuat salah padanya. Dasar senior aneh.’

Ia segera masuk ke dalam kamar. Tak lupa dia mengunci pintu kamar dan melepas jaket yang sejak tadi dia kenakan. Rasanya Seomi sangat lelah. Ia naik ke atas ranjang dan menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh mungilnya.

“Enghhh— Hangat dan nyaman.”

* * *

Lucas mencoba memejamkan matanya sedari tadi. Akan tetapi, dia tetap saja terjaga. Nafasnya memburu sejak ia berpapasan dengan gadis itu di ruang tamu. Mati-matian pria bersurai hitam itu menahan keinginannya untuk memburu junior-nya.

“Damn it! Aku benar-benar benci bau ini.”

Ia beranjak dari tempat tidur. Lucas melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Tangannya memutar kran air di wastafel. Ia segera mencuci wajahnya. Air dingin itu bahkan tak bisa menenangkannya. Lucas menatap bayangannya sendiri di dalam cermin. Mata hijau terangnya sudah berubah menjadi merah darah.

'BUGH! PRANGG!'

Ia memukul cermin itu dengan tangan kanannya hingga hancur berantakan. Darah segar mengalir membasahi tangannya yang terkena pecahan kaca. Ia mengutuk dirinya sendiri.

“Sial. Kenapa aroma darahnya sangat manis?! Arghh— Aku benar-benar bisa gila!”

Lucas mengacak kasar surai hitamnya. Rasa haus menjalari kerongkongannya sejak tadi. Tangannya mengepal kuat, menahan dirinya sendiri agar tak menyerang gadis di kamar sebelah.

“SIAL! BENAR-BENAR SIAL!”

Di lain ruangan, gadis itu tertidur pulas dengan nyamannya tanpa menyadari keberadaan dirinya telah menyiksa ketiga vampir yang ada di mansion mewah itu.

***