Aku merasa deja vu dengan kejadian semacam ini. Apakah gadis kecil adalah gadis lain yang diserang oleh monster dan terluka parah? Jangan-jangan saat ini aku bertemu dengan Eli versi lain.
Lupakan itu, mengapa aku harus peduli dengan orang lain jika kondisiku saja hampir mendekati sekarat seperti ini?
Namun, semakin aku memperhatikannya. Hati kecilku berkata lain dan ia menyarankanku untuk menutupi tubuhnya dengan jubah yang sedang aku pakai.
"Sebelum itu sudah sejak kapan gadis kecil ini tidak sadarkan diri?" tanyaku sambil membersihkan tubuhnya dari timbunan salju dan dedaunan, "kuharap ini sedikit membantumu," lanjutku lalu menutupi tubuhnya dengan jubah.
Ketika aku memperhatikannya dengan seksama. Ia memiliki warna kulit yang pucat. Apakah gadis ini sudah mati? Namun, itu tampaknya tidak mungkin karena dadanya masih bergerak, yang artinya dadanya sedang berkontraksi untuk menyesuaikan pernapasan.
Dari semua yang aku lalui ada dua hal yang membuatku sedikit penasaran. Pertama adalah taring mencuat keluar dari mulutnya, kedua adalah warna kulit yang pucat. Apakah dia bukan seorang manusia? Apalagi telinganya juga runcing, tapi tidak seruncing yang kulihat di kota.
Vampir? Bukankah mereka seharusnya tidak ada di sini?
"Itu tidak mungkin, 'kan?"
Selain itu dengan kondisi pakaiannya yang compang-camping, persis sekali dengan kondisiku saat ini. Sepertinya ia memang diserang oleh sesuatu hingga membuatnya seperti ini.
Jika kulihat secara sekilas penampilannya hampir mirip seperti boneka yang hidup, karena tidak mungkin manusia memiliki penampilan seperti dirinya. Kecuali seperti kesatria perempuan yang kulihat di mimpi tadi.
Keduanya hampir serupa, tapi tak sama. Kecantikannya terpancar, meski berbeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya hingga seperti ini, tetapi jika ia tidak segera di obati, aku tidak yakin dengan kondisinya nanti.
Lagi pula aku tidak tahu makhluk seperti apa yang bisa menyebabkan luka-luka seperti itu.
Namun, aku harus memastikannya sekali lagi. Mungkin memang benar aku bisa melihat dadanya naik-turun seperti sedang bernapas, tetapi aku tidak tahu apakah nadinya masih berfungsi atau tidak.
Aku pun mendekatinya perlahan-lahan untuk memeriksa nadinya.
"Hmm. Aku bisa merasakannya, mungkin ia hanya kelelahan saja."
Aku akan bertaruh di sini, apakah pengetahuanku seputar makhluk mitologi bernama Vampir itu benar atau tidak jika mereka bisa menyembuhkan diri mereka sendiri hanya dengan setetes darah.
Benar-benar kebetulan yang luar biasa, aku tidak perlu menyayat tanganku, karena saat ini lengan kiriku sana dipenuhi oleh darah.
Setelah itu kuteteskan darah tepat di atas mulutnya. Dengan ini semuanya telah selesai, itulah yang kupikirkan. Tidak lama setelah itu kepalaku semakin pusing dan semuanya mendadak menjadi berputar hingga akhirnya hitam seutuhnya.
***
Sebuah beranda dapat terlihat dengan jelas di sana dan seorang lelaki tengah duduk di atas kursi memandangi langit dengan tenang, hingga seorang perempuan datang menghampirinya.
Langkahnya penuh kehati-hatian dan elegan. Rautnya pun tenang seperti permukaan air di malam hari. Di mana rambut hitam kebiruan gelapnya yang terurai bak malam hari yang hening.
"Jenis teh apa yang Anda inginkan, Master? Teh Herbal atau Teh Apel?" ucapnya sembari membungkuk.
Penampilannya seperti seorang bangsawan. Menggunakan sebuah gaun hitam dengan rantai kecil yang menggantel di antara pinggang dan juga pahanya.
"Seperti biasa saja, Teh Herbal."
Lelaki itu berambut hitam pekat bagai kegelapan yang abadi. Menggunakan sebuah kemeja hitam lengan pendek dan berdasi merah. Ia juga memakai sepasang sarung tangan yang cocok dengan atribut di tubuhnya.
"Baiklah, Master."
Perempuan itu pun menuangkannya ke dalam cangkir berwarna putih, lalu menambahkan sepotong lemon pada bagian pinggir cangkirnya, dan diakhiri oleh sentuhan daun mint yang mengambang di tengah-tengahnya.
"Ahh. Aroma yang enak," ucapnya santai. "Saat ini di mana mereka?"
Perempuan yang merasa dirinya terpanggil itu pun memejamkan mata.
"Jika Anda mencari Lily, saat ini ia sedang mencari bahan-bahan makanan di Pegunungan Silvrast. Untuk Dazz, ia sedang berburu di Lembah Grindalm. Sedangkan Lukas dan Cordelia, mereka berdua saat ini sedang latih tanding di Padang Rumput Milles."
"Terima kasih atas informasinya, Alice"
"Suatu kehormatan bagi hamba untuk menerima pujian Anda, Master."
Perempuan itu membungkuk seperti seorang pelayan profesional. Rambutnya yang berwarna hitam kebiruan ikut memberikan penghormatan sama seperti pemiliknya sendiri.
"Benar-benar hari yang damai," ucapnya halus lalu menyeruput tehnya dengan ekspresi khidmat.
Namun, tatapannya tiba-tiba saja terarah pada langit.
"Apakah keseharianku ini menjadi tontonan yang menyenangkan, bagimu... Raven?" gumamnya.
***
"Huh?!"
Itu adalah sebuah mimpi yang benar-benar terlihat nyata. Bukan hanya itu saja, mengapa mereka sama-sama mengetahui namaku. Setelah itu aku mencoba bangun dan hanya berakhir menghantam sesuatu yang keras di belakangku karena wajah gadis kecil itu kini sedang menatapku lekat-lekat.
"ARghh!!—mengapa kau mengagetkanku seperti itu? Eh?...."
Saat ini aku bisa melihatnya dengan jelas. Gadis kecil ini, tidak. Maksudku perempuan ini memiliki mata merah seperti darah dengan pupil yang tajam.
"Apa kau yang memberikanku darah?" tanyanya polos.
Kini kedua mata kami benar-benar saling bertemu, ia seakan-akan ingin membaca pikiranku, dan semua rahasiaku secara paksa.
Aku pun hanya bisa menghela napas, "Seperti itulah... "
"Mengapa kau melakukannya? Padahal kita baru bertemu"
"Itu pertanyaan yang masuk akal. Ya, aku memang tidak ingin menyelamatkanmu. Namun, hati kecilku berkata lain," jawabku, "apa kau puas dengan jawaban itu?"
Ia masih menatapku dalam diam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, tetapi yang pasti aku harus segera pergi menuju kota secepat mungkin.
"Apa kau tidak tahu siapa diriku?" tanyanya sambil memetik bunga merah yang berada di pinggir danau.
"Akan kubalik pertanyaan itu, apakah kau juga tidak tahu siapa diriku?"
Ia pun menggeleng.
"Begitu pun dengan diriku. Aku tak tahu siapa dirimu dan asal-usulmu, yang pasti kau hanyalah seorang perempuan dengan gaun compang-camping yang tak sadarkan diri. Itu sudah lebih dari cukup untuk mewakilkan jawabanku"
"Hahaha. Ternyata kau lucu juga, ya. Apakah kau tidak jijik dengan penampilanku?"
Ketika ia mencoba membuka gaun bagian belakangnya, aku pun berusaha untuk menghentikannya.
"Bukan itu..., tapi lihatlah...."
Nadanya itu penuh dengan aura kesedihan. Aku bisa merasakannya karena sebelum aku terkirim ke dunia ini, aura yang aku miliki pun seperti itu.
Tanpa tahu tujuan dan arti hidup hanya berjalan maju tak menentu. Hidup yang membosankan dan lelah akan segala hal yang menyangkut dengan masa depan.
Namun, saat ini ia memperlihatkan punggung mulusnya kepadaku. Di balik itu aku bisa melihat sebuah tato, mungkin?
Tato itu berbentuk seperti hati hitam yang dililiti oleh rantai dan batang berduri.
"Apakah itu tato?"
Entah mengapa ia seperti kebingungan melihat reaksiku.
"Sepertinya kau benar-benar tidak mengetahuinya, ya?"
Bagaimana aku tahu tentang tato dan juga dirimu, jika aku bukanlah penduduk asli dunia ini?
"Ini adalah tanda seorang pendosa. Singkatnya aku adalah entitas terbuang dan tidak memiliki tempat untuk pulang. Hampir seluruh penduduk Vestarya mengetahui tentang ini dan kau sama sekali tidak mengetahuinya? Kau ini siapa sebenarnya?"
"Dan kau baru mempermasalahkan itu? Huhhh... tentu saja seorang penjelajah"
"Itu tidak mungkin. Lalu mengapa kau memiliki tiga buah aura yang berbeda di tubuhmu?"
"Kau ingin kujitak? Bukannya bersyukur malah menanyaiku. Hanya kau memiliki derajat yang tinggi dariku, bukan berarti kau bisa seenaknya saja," tuturku dingin. "Dan akan kutegaskan lagi, aku hanyalah seorang manusia, tidak lebih"
"Aruna?! Apa kau tidak takut denganku?" tanyanya sambil menutup kembali bagian punggungnya.
"Kau ini tuli atau memang bodoh? Apa kau tidak mendengar perkataanku tadi?"
Arghhh!! Mengapa aku harus bertemu dengan perempuan merepotkan seperti ini? sudah cukup dengan si Nenek pemilik penginapan, mengapa harus bertambah lagi satu sih?
"Tentang itu... kau bisa mengambil jubahku—"
"Tunggu! Kau bisa saja dibunuh olehku, mengapa kau bisa bersikap setenang itu?" tanyanya sambil menarik lengan bajuku.
"Huh?! Apa katamu?!"