Lembar Enam

KURASA permainan Nam Jungkook itu tak buruk, bahkan terbilang ahli; tatkala pergerakan seduktifnya berhasil mendorong dua lenganku untuk terkalung pada tengkuknya secara refleks, lekas menciptakan sebuah rematan dari sepuluh jemariku yang terselip pada surai legamnya—guna menciptakan afeksi tersendiri, hingga membuat pria itu terdengar meleguh lirih.

Seluruh kesadaranku yang nyaris dilenyapkan oleh sensasi asing, tak pelak membuat dahiku mengernyit dalam beberapa waktu. Sedikit menerka atas situasi gila, dimana tapak tangan Nam Jungkook yang sedari tadi bergeriliya; tengah berusaha meraba apapun, yang ada dibawah hoodie hitam kebesaran yang ku kenakan.

"Ini—salah." fikirku dalam benak, lekas melebarkan iris; hingga akhirnya pagutan Nam Jungkook kuputus secara sepihak. Lekas meraup nafas begitu rakus, seraya membuang pandang kelain arah, "Kau tak mabuk, bukan?" tudingku langsung, pada pria yang menanggapi dengan kerjab singkat, seraya mengulum bibir bawah; seakan tengah menikmati sisa manis pagutan kami yang telah membuat bibir cherry Nam Jungkook menjadi dua kali lipat lebih merekah.

Tak langsung menyahut, pemuda yang masih berusaha memenjarakan tatapanku; pun hanya mengulas tawa miring sekilas, sebelum ia berkata, “Apa aku mulai menyukai noona? mengapa ketika menyentuhmu, degub jantungku terasa begitu menggila?"

Nam Jungkook yang sekilas merunduk sembari kembali mengulum bibir bawah, tak ayal membuatku berpikir jika ia tengah berusaha mencicipi rasa tautan kami, yang justru membuatku seketika menelan saliva, "Kau, mempermainkanku Nam Jungkook-ssi. Aku tahu.. kau tak mabuk, bukan?" tegasku, sekali lagi. Serta merta membuatku salah tingkah, selepas ku dapati belah bibir pria itu kembali terbuka dengan raut tercengang.

Oh—rupanya Nam Jungkook memiliki satu hal yang cukup menarik atensi siapapun yang tengah berhadapan dengannya. Menyisakanku yang sempat termangu dalam beberapa waktu, sebelum nalar telah menginterupsi ku untuk segera merotasikan tungkai. Lekas meninggalkan, pria yang langsung saja mendahului, "Bagaimana tentang tawaran noona, kemarin malam?"

Alisku kembali tertaut spontan, selepas mendapati satu pergelangan tanganku yang kini tampak dicekal oleh Nam Jungkook tanpa basa-basi. Hingga setelahnya, lantas ku dapati wajah ia yang kembali merunduk seraya menggaruk tengkuk; sedikit canggung.

Apa katanya? tawaran, kemarin malam? bolehkan aku menertawakan situasi ini?

"Tawaran bercinta, maksudmu? jangan gila!" cecarku, lantas memilih untuk melanjutkan langkah—sebelum tungkaiku kembali dihentikan oleh dorongan daun pintu, hingga menampilkan beberapa pasang kepala yang langsung saja terperanjat kaget.

"Jian?" gumam satu pria yang lekas mengambil posisi, untuk mensejajariku. Memicingkan sepasang iris monoloidnya sekilas, sebelum gelak tawa sinting dari Hwang Jimin mengudara ringan, "Wow—apakah, kami menganggu waktu kalian? Oh God, sejak kapan kalian menjadi dekat seperti ini?" imbuh Jimin sekali lagi, serta merta diikuti raut tercengang oleh beberapa pria lain yang turut menaruh fokus terhadapku. Menyisakan kakiku yang lekas mengambil langkah bagai angin lalu, hingga tak sengaja; sedikit mengenai satu bahu pria yang refleks mengarahkan sorot tajamnya padaku—namun kudahului dengan kalimat, "Minggir—jangan menghalangi langkah ku, Yoongi-ssi." sarkasku, penuh penekanan.

Tatap Park Yoongi yang terus mengintimidasi meski tubuhku telah berlalu untuk melewati daun pintu yang ku banting cukup keras, tak pelak menciptakan sebuah firasat buruk akan hal bodoh yang baru saja ku lakukan.

Dan benar saja—belum sempat rapalan sumpah serapahku terucap dengan apik, satu pria kini berhasil menyela langkahku. Sedikit mencondongkan punggungnya kedepan, sebelum satu puntung rokok ia keluarkan dari dalam saku celana, "Jangan percaya diri dulu. Aku keluar, karena ingin merokok—bukan untuk menyusulmu." kilahnya, sebelum punggung kurus itu lantas bersandar pada sisi dinding dengan begitu acuh. Sesekali melirikku yang tengah memutar bola mata malas, hingga langkahnya kembali meringsak maju selepas ia dapati tungkaiku yang hendak beranjak, "Mengabaikanku lagi, nona?" imbuh pria yang langsung saja membuang puntung rokoknya, seraya menampilkan satu seringai tipis.

Rasanya ada yang salah pada isi kepala Yoongi, hingga membuatnya lekas menarik pergelangan tanganku dengan sedikit terburu; sebelum tubuhnya berakhir untuk menghimpitku pada keras dan dinginnya permukaan dinding.

Beruntung, mulut tajamku hanya sebatas mengumpat. Setidaknya aku masih memiliki belas kasih, sebab beberapa kepala yang sempat berlalu-lalang jelas akan menyangka jika Yoongi hendak melecehkanku; jikalau saja saat ini aku berteriak.

"Sekarang aku faham, kenapa Jungkook begitu menyukaimu, Jian-ssi." titah pria yang kian mengikis jarak. Bagaimana sekarang ini, ia cengkram erat kedua bahuku—juga pandangan yang terus mengarah pada bibirku; seolah hal tersebut telah menjadi target untuk ia pagut.. tak ayal membuatku ingin meninju garis rahang seorang Park Yoongi.

“Seberapa kuatnya kau… kekuatan pria, tetap tak terkalahkan, Lee Jian.” bisik Yoongi, tepat pada salah satu sisi telingaku yang dengan sengaja ia tiup. Menyisakan satuan alis, tatkala ujung mataku mendapati presensi pria lain, yang turut memaku diri; tak jauh dari kami berada.

Sejurus menyorot tatap tajam pada manik teduh si pria serampangan itu, setelahnya, lantas kurasakan cengkraman Park Yoongi pada bahuku yang mulai merenggang; hingga terlepas, sebelum hal lain yang tak terduga.. malah kudapatkan, sebagai gantinya.

Sementara mataku membola sanking terkejutnya, pemuda yang wajahnya kini tepat berada dihadapanku.. malah tampak terpejam; hanya menampilkan garis matanya. Pun dapat kurasakan, kedua tangan yang semula mencengkram bahuku, lantas beralih pada masing-masing pergelangan tanganku yang ia genggam hangat.

Kufikir.. Park Yoongi, telah berbagi nikotin secara manis. Juga bagaimana ia beri kecupan singkat diatas bibirku, tak ayal mengesaniku; melalui perangainya, yang berbeda dari kebanyakan. Hingga didetik kesekian ia ciptakan sedikit jarak, manik kamipun langsung bertubrukan—bertukar tatap kosong. Secara bersamaan meneguk ludah masing-masing, begitu merasa canggung hingga situasi kami pun dicairkan oleh seseorang yang berseru, “Hyung, apa kau melihat Jung—“ Jimin yang berdiri diujung koridor, pun terdengar tak selesaikan kalimatnya. Ia yang memilih berjalan mendekat dengan iris memicing, seolah hendak memastikan keberadaanku yang memilih berlalu dengan terburu; meninggalkan dua pemuda yang tentunya akan terlibat percakapan.

“Kau.. terlihat akrab dengan Jian noona, hyung.” ucap Jimin, samar-samar, ditengah langkahku yang menekan tombol kombinasi password pintu. “.. Oiya, sepertinya sejak tadi, Jungkook menyusulmu. Ia langsung pergi begitu saja, ketika kau keluar.” mendengar pernyataan Jimin, ujung maniku pun melirik kearah punggung dua pemuda yang kini berjalan sejajar. Mereka yang tampak bercengkrama ringan, sebelum akhirnya tenggelam dalam debum pintu.

Kurasa, ada sedikit rasa bersalah.. saat ini. Tepatnya, tatkala aku meyakini jika Nam Jungkook telah menyaksikan saat dimana Park Yoongi mengecup bibirku. Oh, bukankah seharusnya aku tak perlu memikirkan hal kecil semacam ciuman, ataupun kecemburuan? tidakah mereka berdua, sama saja? … hanya bermain-main denganku, ‘kan?

Namun, sebagaimanapun kupaksakan diri untuk tak memikirkan segala hal yang terjadi hari ini.. rupanya rasa penasaranku lebih dominan. Aku.. harus memastikan sesuatu.. saat ini juga. []

--o0o--