Lembar Lima

21.00 KST

RASANYA aku harus menaruh waspada, mengingat pria yang kini mengekori langkahku, telah beberapa kali ku tangkap basah tatkala dengan sengaja mencuri pandang. Terlebih fakta perihal kesamaan lantai flat kami, yang lantas membuatnya berdalih jika besar kemungkinan kami yang akan sering bertemu; entah pada lorong, elevator, ataupun lobby. Pun sama seperti sekarang ini, dimana Nam Jungkook terlihat tak hentinya mengulum senyum tipis—selepas kami kembali terjebak pada elevator yang sama.

Bahuku menghendik malas, masih dengan kedua tangan yang disibukan untuk memegang ponsel. Berusaha mengalihkan perhatian, dari ulah bocah yang sesekali bersiul, menghentak lantai, bahkan merentangkan kedua lengannya.

"Apa noona tergolong, maniak seks?" interupsi Nam Jungkook, tak pelak membuat wajahku yang sedari tadi menaruh fokus pada layar ponsel, lantas berpaling pada pria yang spontan menggigit bibir; sadar akan lolosnya lontaran pertanyaan tak sopan. Serta merta membuatku berdecih, sebelum ku putuskan untuk menggelapkan layar ponsel.

"Lalu, apa kau penguntit? lihat—bahkan tempat tinggalmu itu, sudah terlewat Jung!" cecarku yang lekas dibalas oleh acakan surainya, dengan canggung.

Iris jelaga yang sempat berotasi singkat, lantas terarah pada daun pintu, seraya menunjuk dagu, sebelum bersua, "Ahh, aku memang sengaja mengikuti noona, karena ingin bertamu ke tempat noona. Apa, tidak boleh?"

Tak berniat menanggapi, tungkaiku kembali mengambil langkah. Sedikit acuh, meski ku dapati ia yang turut mengekoriku tanpa tau rasa malu. Rasanya ingin berteriak, juga memaki pria yang malah membuatku merasa canggung; sebab sejauh ini, tak ada satupun orang asing yang ku ijinkan untuk singgah, barang sebentar. Oh tunggu, akan ku ralat. Maksudnya; aku tak memiliki satupun teman, yang bersedia untuk mengunjungiku.

Entah alasan apa yang membawaku mendorong daun pintu, hingga mempersilahkan si pria asing menapakkan langkahnya, hingga ia bermonolog, "Tebakanku benar. Noona memang tipikal gadis simple yang begitu berbeda dengan kebanyakan gadis lain." cerocos Nam Jungkook, yang langsung saja meringsak masuk; tanpa kata permisi. Mengabaikan sang pemilik yang ia tinggal, hingga berakhir menginvasi seluruh sudut ruang dengan seenaknya.

"Aku menyukai tatanan ruang pada flat noona. Terlihat simple dan modern. Begitu sesuai dengan seleraku!" imbuh pria itu lagi. Tak pelak membuat dahiku mengernyit heran, tatkala mendapati bagaimana sikap kekanakkan yang kini ia tunjukkan. Serta merta membuatku menerka, jika ia tengah mengenakan topeng; guna menciptakan situasi nyaman dariku, agar tak lekas mengusirnya.

Hingga kekehan tertahanku nyaris saja lolos, untuk kali pertama. Tepat ketika pria itu bergerak gusar, sebelum nada canggung dari bibir merekahnya berhasil menelisik rungu. Menyisakanku yang mengangguk paham, tatkala ia mengujar, "Apa noona, tak berniat menawarkan segelas air minum untukku? Ah, rasanya haus sekali."

Sekali lagi, alisku kembali tertaut. Sedikit menelaah akan aktifitasku yang tengah menilik isian alamari pendingin, seakan tengah memilih minuman paling layak untuk di suguhkan bagi pria yang ku lirik tengah terduduk santai, dengan punggung yang ia sandarkan pada permukaan sofa.

Tidak—tak ada minuman layak, yang dapat ku suguhkan untuknya. Bahkan botol berisi air mineralpun nyaris kering, tak tersisa. Membuatku lekas menimang beberapa pilihan, sebelum satu tanganku tergerak untuk meraih dua kaleng bir dengan kadar alkohol yang tak begitu tinggi, "Aku kehabisan air mineral, dan hanya memiliki ini." interupsiku, lantas membuat Nam Jungkook turut menilik pada objek yang tengah ku tenteng, sebelum menanggapi, "Tapi—aku tak begitu kuat untuk meminum alkohol, Noona."

Gelak tawaku, pecah seketika. Mendapati pria itu mengujar dengan raut polos beserta nada ragu, bahkan dengan suara yang bergetar bak anak kecil. Oh, tunggu. Setahuku, bukankah usia Nam Jungkook, memang tiga tahun dibawahku?

Sejurus tenggelam, dalam perang diri yang ku ciptakan—kembali, tungkaiku meringsak maju. Lekas mengambil tempat, tepat di sisi Nam Jungkook seraya menyodorkan kaleng bir yang langsung saja diraihnya dengan sedikit ragu, bersama sepasang kelopak manik yang mengerjab secara berulang, "Kadar alkoholnya tak cukup tinggi, Jung. Cicipilah—dan dapat ku pastikan, jika kau takkan mabuk. Aku bahkan berani menjaminnya." ungkapku, yakin.

Benar, harusnya kadar rendah alkohol memang takkan bisa menghilangkan kewarasan seorang pria seusia Nam Jungkook. Terkecuali, jika ia memang balita berusia lima tahun.

Lantas, apa penyebab pria yang kini bergerak acak—seakan tengah kehilangan akalnya? mulai dari merancau tak jelas, hingga jemari yang begitu lancang untuk meraih apapun yang dapat di gapainya. Tak pelak membuatku nyaris melayangkan pukulan, manakala dua tangannya telah menangkup rahangku dengan paksa seraya bersua, "Jian Noona cantik sekali, jika di lihat dengan jarak dekat seperti ini." menyisakanku yang meneguk saliva, sebab deru nafas hangat Nam Jungkook telah menerpa permukaan wajahku di tengah jarak yang kian ia tipiskan. Sesekali, pria itu terkekeh sinting. Lantas mengerucutkan bibirnya dengan gemas, hingga menyatukan dahinya pada dahiku. Membuatku kuwalahan, meski hanya sekedar memberikan rontaan yang berakhir tak berguna; sebab tenaga Nam Jungkook, terasa begitu dominan.

"Boleh aku berbagi rahasia, Noona? Itu perihal, kinerja otakku yang sedikit terganggu, setiap kali memikirkan ciuman pertama kita, di gunung Naejangsan!" terang pria yang lekas menyandarkan kepalanya pada satu sisi bahuku, tanpa canggung. Serta merta mendorong kerongkongan ku yang saat ini juga butuh di basahi oleh saliva, sebelum pria yang tengah merancau tak jelas itu, kembali mengimbuh, "Sama seperti Yoongi hyung—mungkin saja, aku juga akan segera menyukaimu, Noona!"

Anggaplah, kesadaran Nam Jungkook telah lenyap; sebab terbawa oleh kadar alkohol yang sesungguhnya tak seberapa. Hingga menciptakan rancauan tak jelas, yang terus saja ia lontarkan tanpa tau malu. Menyisakanku yang berdecih secara berulang, lantas menarik sisi lengan jacket denim yang Nam Jungkook kenakan guna menyeret pria itu, untuk segera mendekati daun pintu, "Ah apa noona, mengusirku?"

Jengah rasanya, melihat bagaimana raut merengut seorang pria seusia Jungkook, yang harusnya dapat menggagahi wanita ketika kesadarannya diserang mabuk—malah kini ia terlihat bak anak balita diusia lima tahun. Serta merta membuatku lekas mendebumkan daun pintu, hingga sedikit susah payah untuk menggiring langkah pria yang langsung saja berbisik, "Noona, mampirlah sebentar ke tempatku."

Lagi, nafasku terhela alot tatkala kembali ku turuti permintaan seorang Nam Jungkook yang langsung saja terkekeh sinting; sebelum jemari panjangnya lantas menekan kombinasi angka. Membuatku berdesis singkat, selepas ku dapati ia yang hanya menekan angka 000000, "Sekali bocah, ya tetap saja bocah. Ia bahkan tak dapat membuat password yang lebih sulit." gumamku.

Sejurus memendar pandang ke sekeliling ruangan bersama langkah terseret; irisku lantas membola tatkala mendapati perilaku aneh, dari pria yang kini terlihat menggelengkan kepala, hingga mengibaskan Tshirt yang melekat pada tubuhnya, "Sial. Rasanya panas sekali!"

Andaikata Nam Jungkook itu sungguh seorang bocah berusia lima tahun, mungkin wajahku takkan berpaling; selepas ku dapati ia yang kelewat gila, sebab begitu asal telah menanggalkan Tshirt yang ia kenakan. Menyisakan pemandangan kelewat mengagetkan, bahkan membuatku tersedak saliva, hingga tungkaiku lekas bergerak mundur secara otomatis. Itu gila—tubuh atasnya sungguh terekspos dengan jelas.

"Eoh? noona, mau kemana?" interupsinya, bersama langkah cekatan. Lantas mencekal pergelangan tanganku, yang hendak meraih knop pintu. Serta merta membuat irisku melebar, sebelum mengerjab canggung seraya merotasikan iris sekilas, guna mendapatkan sebuah alasan agar paling tepat, "Aku harus pulang Jung, besok ada kelas pagi." bohongku, yang jelas terendus olehnya sebab gelagap yang ku tampilkan, terlihat begitu kentara.

Kekehan Nam Jungkook, mengudara. Sedikit menukikkan satu alis, dengan satu jari telunjuk yang terangkat guna menggaruk pelipis selama sepersekon, sebelum tungkainya lantas bergerak maju. Jarak yang perlahan terkikis, tak pelak membuatku berdehem singkat, seraya merotasikan iris untuk mencari titik pandang lain, yang lebih menarik—dibanding dada bidang, serta kotakan perut seorang bocah yang langsung bersua, "Noona pasti ingat— jika aku menyimpan pengaman, yang tempo hari akan noona buang itu, bukan?"

Alisku tertaut menanggapi. Sedikit lamban untuk mencerna kalimat dari pria, yang kinerja otaknya sungguh tak lagi normal; sebab satu tangannya bergerak cukup lancang, untuk meraih sisi pinggangku tanpa segan. Lantas menghentak punggungku pada daun pintu, hingga ringisanku nyaris lolos—meski hal itu sedikit terjeda, sebab Nam Jungkook kembali mencuri ciuman pada bibirku untuk kali kedua. Menyisakan irisku yang melebar, ditengah pagutan terburu yang ia berikan, hingga ku temui satu fakta mencengangkan perihal gerak ciuman darinya yang telampau dominan. Hingga benak ku telah di penuhi sumpah serapah yang siap terlontar pada pria yang kelopak maniknya tengah terpejam—seakan begitu menikmati ciuman sepihak, yang ia ciptakan padaku.

Sialan, ku rasa Nam Jungkook tengah mencoba mempermainkanku. Bahkan aku berani bersumpah, demi apapun—jika pria ini tak sedang mabuk. Sebab aku tak mencicipi rasa alkohol, dari salivanya. []

--o0o--