Lembar Empat

SEPASANG alisku tertaut; terus bertahan untuk menaruh tatap pada satu cup mie beraroma kari yang menguar begitu kuat, namun kembali ku abaikan hingga teksturnya telah berubah sedikit mengembang. Pergerakanku bahkan belum juga terhenti; masih mengaduk acak pada isian cup dengan bosan, tanpa sedikitpun menaruh niat untuk segera mencicipi seduhan yang sebentar lagi akan terbuang secara cuma-cuma.

Seakan memiliki nasib yang sama pada cup mie yang kini ku telantarkan begitu saja, layar LCD yang sedari tadi tak sempat ku lirikpun, telah berakhir menggelap; selepas ibu jariku menekan tombol power pada remote control. Menyisakan desahan-desahan yang sempat memekakkan rungu, kini terhenti begitu saja. Tunggu—biar ku ingat, alasan mendasar mengapa aku bosan ketika menonton tayangan film dewasa yang sejak satu jam lalu ku putar. Bukankah itu salah satu koleksi terlama, yang telah puluhan kali ku mainkan? Ah, pantas saja.

Berdesis lirih seraya merebahkan tubuh untuk menatap langit langit, serta merta membawa ego ku merutuk dalam benak. Itu benar jika yang kurasakan, tidaklah seberat jika kau mendapatkan kebangkrutan perusahaan sampai-sampai seluruh aset tersita, hingga tak menyisakan harta barang sedikitpun. Benar, memang tak seberat itu. Pun yang menciptakan risauku kali ini, hanyalah tekanan gila dari psikiater sinting yang terus menganjurkanku untuk melakukan hal-hal di luar nalar. Memangnya benar, jika ada metode penyembuhan dengan sentuhan? Konyol.

Baiklah, mari telaah kembali. Bukankah diluar sana, banyak segerombol manusia introvert seperti ku? Ah tidak, akan lebih kuperjelas lagi. Menurut dokter yang telah merawatku, ini adalah syndrom skizoid. Di mana menurutnya aku tak lagi memiliki kepekaan emosi, bersikap datar, penyuka kesendirian, dan tak lagi memiliki sisi hangat terhadap orang lain.

Sedikit muak memang, tatkala nafasku kembali terhela alot, selepas memikirkan perihal syndrom yang sejujurnya ku sukai; sebab secara terang-terangan, syndrom itu sedikit banyak membantu untuk tak berinteraksi dengan sebagian orang munafik di luaran sana. Dan ketahuilah, menjadi seorang diri itu tak buruk. Ketika kau bebas berpura-pura, menjadi buta ataupun tuli. Tak perlu menguras tenagamu, untuk mendengarkan mereka yang bercicit asal, perihal kehidupanmu.

Cukup tunjukan sikap acuh, layaknya aku yang terus mengabaikan mereka para pembenci yang sengaja menyebarkan beragam desas-desus aneh, hingga 90% dari seluruhnya lebih memilih untuk memercayai rumor tersebut—ketimbang mengklarifikasi kebenarannya terhadapku. Mungkin, ketika satu waktu aku telah menangkap basah si penyebar rumor, ia akan berkilah; jika image dingin yang melekat kuat padaku lah, yang menjadikan gadis egois sepertiku; pantas untuk di buang.

Seperti sekarang ini, dimana puluhan pasang mata tengah mengamatiku was-was. Memangnya apa yang salah dariku? Setelanku siang ini, pun terbilang biasa saja. Sayangnya, kebiasaan ku yang mengambil langkah cepat seorang diri ketika melewati koridor, sedikit berbeda untuk hari ini. Membuatku lekas tertegun, atas kehadiran pria yang dengan lancangnya telah menarik tumpukan kertas dari kedua tanganku yang memang telah terasa kebas.

Sepasang alisku terangkat naik, tepat ketika satu pria asing yang mensejajariku terlihat mengulum tawa miring tatkala netra kami saling bertubrukan. Melempar tatapan dingin selama beberapa saat, hingga seorang asing itu bersua, "Ku rasa kau butuh bantuan."

Tak berniat menanggapi, irisku lantas berotasi malas bersama sudutnya yang tengah memendar keadaan sekitar. Mendapati bagaimana puluhan pasang mata, secara terang-terangan telah menaruh fokus terhadapku yang lekas menyela langkah si asing, "Tidak. Aku tak membutuhkan bantuanmu." acuhku, seraya merebut lembaran kertas absensi yang sempat berpindah tangan, dalam beberapa menit. Memangnya apa sulitnya membawa kertas absensi? Sungguh, aku tak pernah membutuhkan bantuan siapapun. Terlebih pria bersurai blonde, yang kembali berhasil mensejajari langkah gesitku dalam hitungan detik.

Wajah pucatnya, menilikku sekilas. Sedikit memicingkan iris, seakan tengah mengamatiku secara terang-terangan. Bahkan dua tangan yang sempat ia simpan dalam saku, lantas selaras pada langkah akuh dengan suara derap yang begitu menganggu rungu. Membuatku lekas menoleh, ke arah pria yang kembali mengulum bibir, sebelum berujar, "Aku berjalan mensejajarimu, hanya untuk menambah rumor tentangmu nona. Ah mungkin saja, pembencimu kini mulai mengada-ada dengan menyebutkan, jika ice princess ternyata pintar menggoda pria tampan.”

Dahiku langsung saja mengerut, dibuatnya. Sedikit menggigit bibir bawah, sebagai penahan, agar ludahku tak kubuang tepat di hadapan pria yang kini terkekeh kentara bersama raut meremehkan.

"Kau, siapa?" tandasku, pada akhirnya. Membuat sang lawan, kembali memasang airmuka kelewat datar dengan sorot mengintimidasi. Oh, baiklah. Memangnya siapa yang tak tau pria ini? kalimat yang baru saja ku lontarkan, hanyalah sebatas kalimat asal yang secara spontan mengudara.

"Haruskah kita berkenalan secara resmi?" tanggapnya, lantas mengambil satu langkah maju. Berusaha mengikis jarak, yang langsung saja membuat ku meringsak mundur. Bersama pekik nyaring, yang nyaris memenuhi sepanjang koridor—selepas ku rasakan dua bahuku tengah menahan cengkraman kuat, yang di berikan pria itu tanpa aba-aba. Pun sorot tajam yang ia berikan, terasa begitu mengintimidasi; hingga kusempatkan diri, untuk sekilas meneguk saliva.

"Yak! Park yoongi-ssi!" geramku samar. Tatkala mendapati wajah pria itu, kembali meringsak maju. Menyisakan jarak wajah kami, yang hanya berjarak beberapa centi dengan nafas yang saling menderu bersahutan.

Sialnya, pria berwajah pucat itu hanya menampilkan seringai picik; seakan mempermainkan. Mendadak menarik wajahnya, untuk beralih pada satu sisi daun telinga yang sempat ia tiup perlahan, "Faktanya kau baru saja menyebutkan namaku, bukan?" bisiknya, sensual. Menyisakan romaku yang langsung saja meremang, seraya terpejam singkat.

Belum sempat kutarik nafasku—seketika, ia bergerak tanpa persetujuan. Kembali mengikis jarak, bersama lima jemari yang terulur untuk menyelipkan beberapa helai anaka surai seraya bergumam, "Aku penasaran denganmu."

Bibirku nyaris terbuka. Sekedar memberikan umpatan singkat, namun kembali tertahan. Membuat netraku berkilah, tepat didetik yang sama ketika sebuah suara berhasil menginterupsi, "Yoongi hyung?"

Satu suara yang bergabung, tak pelak membuatku tertegun. Tentunya masih dengan cengkraman yang bertengger apik pada satu bahu, hingga berhasil meninggalkan rasa kebas, oleh pria dingin bersurai blonde dengan garis mata sipit yang kerap mengintimidasi. Seingatku, ini skinship pertama dari pria yang terus saja menyeringai tanpa sebab di hadapanku.

Irisku lantas beralih, bergantian pada dua pria dengan raut tegangnya. Pun keduanya nampak memiliki perbedaan; satu dengan seringaian, dan satu yang lain dengan airmuka tak suka. Membuat alisku kembali tertaut, sedikit heran. Hingga opsi yang ku ambil, tak lain adalah merotasikan tubuh bersama lembar kertas absensi yang harusnya lebih kuprioritaskan dibanding atensiku pada dua pria asing yang tengah tenggelam dalam diamnya.

"Berhenti ditempat, Lee Jian!" sebuah suara, kembali menginterupsi. Membuatku sedikit menoleh pada sumber suara, namun kembali tak perduli.

Sejemang menubruk iris dingin Park Yoongi, hingga detik selanjutnya tubuhku telah bersiap untuk kembali menciptakan decit sepatu, lantas kembali tertahan oleh sebuah gerakan, yang berhasil menyentak tubuhku melalui sebuah tarikan kuat.

"Hyung!" pekik satu suara, membuatku langsung mengalihkan pandangan pada pria bersurai hitam legam yang turut mencekal kuat; pergelangan pria yang masih menjatuhkan cengkraman pada satu bahuku.

Pupilku melebar, tatkala ku dapati garis otot tercetak jelas pada lengan bawah pria bersurai legam yang kini tengah menampilkan raut tak suka, bersama sorot tajam yang ia arahkan pada pria yang kembali menggulir senyum miring secara bergantian; padaku dan pria bersurai legam—Nam Jungkook.

Nafasku yang sempat tercekat, kini terhela bebas. Tepat setelah pria bersurai blonde yang di detik ini masih kuingat namanya: Park Yoongi, perlahan melepas cengkramannya secara cuma-cuma. Menyisakanku yang sedikit mengaduh, tatkala rasa kebas telah berubah sedikit berbekas kemerahan.

"Kenapa kau menganggu Jian noona, hyung?" nada suara Jungkook sedikit merendah. Menyisakanku yang bergidik, tatkala iris pekatnya tengah beradu tatap dengan iris sipit Park Yoongi.

Pria bersurai blonde yang kini menyimpan satu tangannya pada saku, kembali terkekeh lirih—bersama satu tangan lain, yang tengah mengusap dagu.

Sekilas menilikku sebelum sepasang mata sipitnya kembali terarah pada Nam Jungkook, ia pun menanggapi, "Hanya ingin menyeret gadis ini, untuk berhadapan denganmu Kook-ah. Maksudku, hari ini aku akan membawanya, dan memastikan, jika ia akan makan bersama kita di kantin. Bukankah, kau menyukai Lee Jian?” jelas Park Yoongi, seraya menyunggingkan senyum miring. Menyisakan satu sudut bibirku yang langsung saja terangkat sebal. Oh, alasan itu hanya sebuah bualan semata, bukan? Bahkan sejak awal ia tak sedikitpun menyinggung perihal ajakan makan bersama, atau hal lain yang dapat dinalar untuk di jadikan sebuah alasan.

"Benarkah? kukira kau hendak menyeretku, karena berniat untuk melecehkanku, Park—Yoongi—ssi." tandasku, penuh penekanan yang langsung saja menyita atensi keduanya.

Belum sempat Park Yoongi menyuarakan sanggahan, kedua pria itu lantas terapit oleh gerakan satu pria yang menyelip di antara tengah keduanya, "Eyy, apa yang kalian lakukan di—" kalimatnya terjeda, lekas mengarahkan sepasang iris melebar itu ke arahku bersama belah bibir ranum yang tak sempat ia katupkan, kian menganga; tatkala ia dapati presensiku yang hanya menatapnya datar, "Lee—Jian?" gumamnya, tak percaya. Lekas menilik bergantian, pada dua pria yang berada dalam apitannya secara bergantian.

Sejurus saling melempar tatap dalam diam, tungkaiku lekas meringsak maju. Kian memicingkan iris, untuk dapat mengamati pria yang langsung saja mendelik tak karuan, "Kau wakil ketua kelas untuk mata kuliah ini, bukan?" ujarku, yang langsung saja di balas oleh anggukan pria yang hendak menanggapi namun kembali terjeda, setelah aku mengimbuh, "Baguslah. Sekarang, kau gantikan aku untuk membawa absensi ini." tuturku, tak pelak membuat pria di hadapanku langsung memberikan lambaian penolakan secara berulang. Bahkan netra gusarnya, sempat menatap Park Yoongi dan Min Jungkook secara bergantian, sebelum tubuh jangkungnya meringsak mendekat—untuk meraih lenganku, seraya meringik bak anak usia lima tahun.

"Jian, kau harus tau jika aku begitu bersusah payah untuk mencari alasan paling tepat, agar bisa keluar dari kelas Lee Ssaem. Itu akan sangat sia-sia, jika aku harus kembali ke kelas. Jadi—"

"Tidak," potongku cekatan. Lekas merotasikan punggung; untuk mengabaikan beberapa kepala yang kini saling berbisik lirih.

Sudah kujelaskan perihal ketidakpandaian ku untuk berinteraksi, bukan? Faktanya situasi yang mengharuskanku di kelilingi orang asing seperti ini, sungguh membuatku kikuk sampai-sampai pasokan udarku terasa menipis, begitu menyiksa paru-paru ku untuk bekerja keras, dalam memompa oksigen.

Belum sempat punggungku menghilang dari pandangan beberapa kepala yang masih terdengar riuh, kini tungkaiku mematung. Tepat ketika satu suara menginterupsi, "Wah, apa kau mengkonsumsi obat anti depresan hm? Rasanya, aku tak sengaja mengambilnya, dari dalam saku hoodie mu—Lee Jian-ssi."

Mendapati suara meremehkan tersebut, dengan cekatan kesepuluh jemariku langsung saja merogoh ke dalam saku hoodie. Begitu terburu, untuk mencari bungkus kecil bening dengan beberapa kapsul yang biasanya ku bawa untuk berjaga-jaga. Dan sialnya, itu tak ku temukan. Membuat punggungku kembali berotasi, untuk melempar sorot nyalang pada satu pria yang terlihat tengah mengudarakan apa yang kucari, tepat didepan wajahnya, "Ini milikmu, bukan? kemarilah—dan ambil ini dariku, Lee Jian-ssi!"

Si pria asing yang serampangan itu, kembali membuatku naik pitam. Mendorongku untuk lekas menderapkan langkah percaya diri, hingga satu tanganku nyaris mendarat pada satu sisi wajahnya untuk memberikan sebuah tamparan telak, namun pria itu, berhasil menepis pergerakanku begitu enteng. Menyisakanku yang hanya membuang pandang, pada kedatangan beberapa pria yang turut bergabung, "Apa kau tak pernah diajarkan sopan santun, dan belajar bagaimana cara menghargai orang yang baru kau kenal, eoh?" tandasku, yang malah ditanggapi desis kentara oleh pria bersurai blonde di hadapanku.

Iris tajamnya, lekas menilik Nam Jungkook sekilas, lantas beralih pada satu pria yang turut bersuara, "Ah.. tapi, bukankah kami semua telah saling mengenal? kurasa, Jian Noona juga mengetahui nama kami semua bukan? Nan, Hwang Jim—"

"Diam, Jimin-ssi! Aku tak memiliki urusan denganmu." cegatku, sontak membuat iris satu pria yang sejak awal telah menjadi fokus atensiku; terlihat melebar, bersama tautan alisnya. Bahkan terkaanku akan airmuka pria yang berhasil menyita atensiku, belum terselesaikan. Hingga satu suara, telah membawa kesadaranku kembali. Tatkala Park Yoongi berujar;

"Sejak tadi kau selalu saja menyebut kami; orang asing. Kurasa itu sedikit menyakiti harga diri kita, yang selalu memberikan sapaan terlebih dulu terhadapmu—disetiap kita berpapasan." []

--o0o--