PRIA bersurai blonde disampingku terus saja bungkam, selepas kalimatnya berakhir dengan sebuah cengkraman kuat pada pergelangan tanganku. Bahkan langkah yang kuambil, sedikit terseret—berusaha mengikuti pergerakan tergesa Yoongi, sebelum berakhir untuk melewati lalu lalang kendaran, yang dilengkapi dengan temaram lampu hias pada sisi jalanan kota Seoul.
Menggunakan motor hitam yang dikendarainya dengan kecepatan penuh, tak pelak membuat kelopak mataku terpejam, bersama rengkuhanku pada pinggang Yoongi yang semakin menguat. Ini bukanlah tentang perasaan, melainkan salah satu bentuk penjagaan diri—agar tubuhku tak langsung terjungkal; karena pria sinting yang membawaku, kian menarik gas secara brutal, hingga menyisakan salivaku yang terus terteguk paksa. Hingga pada tarikan gas terakhir, pria yang hanya menyisakan garis mata dibalik helm itu lekas menolehkan wajahnya padaku, "Apa nona cantik ini, menungguku untuk menggendongnya? apa kau, sungguh tak ingin turun dari motor ku?" cecar Yoongi; lekas membawa pandanganku yang mengedar pada sebuah bangunan, dan dapat kutebak adalah rumahnya.
Bibir bawahku tergigit singkat, sebelum memulai pergerakan untuk menuruni kuda besi yang terlihat memiliki harga fantastis itu—hingga sebuah suara, kembali menginterupsi, "Lain kali, kenakan pakaian yang lebih tertutup." celotehnya, bersama sorot tajam yang terus bergerak naik turun; seakan tengah mengamati penampilanku kali ini. Jangan lupakan jika yang kukenakan hanya setelan hotpants dan kaos kebesaran milik Jungkook; yang ku pinjam. Ah mengingat nama itu, membuat mood ku hancur seketika.
Langkah pria itu, terlihat mendahului. Sedikit tergesa, ketika mendorong daun pintu; yang kini menampilkan sebuah ruang luas, dengan pencahayaan remang. Menyisakan tungkaiku yang tak bergerak, meski pria itu telah sampai pada anak tangga pertama, "Ingin ku seret lagi?" tandasnya, yang lekas kujawab dengan gelengan seraya melangkah maju; mengekorinya. Pun sepasang irisku, masih betah mengamati punggung pria berbalut kaos putih dihadapanku; karena jacket kulit yang sebelumnya ia kenakan, telah berpindah untuk membungkus hangat tubuhku.
"Aku membawamu ke sini, karena Jimin dan Jungkook—mungkin saja akan bertindak bodoh, untuk menyakitimu" terang Yoongi. Tak pelak membuatku mengerutkan dahi, selepas jemarinya berhasil meraih knop pintu, hingga menampilkan ruang dengan cahaya remang, serta aroma nikotin bercampur maskulin khas seorang Park Yoongi.
Pria itu lantas mengabaikan ranjang yang dilewatinya secara acuh, untuk memilih menyingkap tirai. Mendorong pintu kaca yang menghubungkan pada balkon serta sofa memanjang berwarna hitam elegan. Pun tubuhnya mendadak ambruk di atas permukaan sofa. Menyandarkan diri pada sisi empuknya sebagai bantalan.
Sepasang alis ku seketika mengernyit, selepas menangkap satu tangannya yang bergerak menepuk permukaan sofa. Seakan memberi perintah untukku, "Bersantailah. Kita bisa menghitung bintang dari sini!" jelas Yoongi dengan satu telunjuk yang mengarah pada pekatnya langit malam.
Berselang satu menit, tatkala tubuhku bersedia mengikuti perintahnya, Yoongi pun bangkit. Hingga kembali lagi, bersama sebuah selimut berwarna cokelat tua, yang ia tenteng menggunakan satu tangannya, "Aku lebih menyukai kau yang seperti biasa; mengenakan jeans panjang dengan hoodie. Jika dibandingkan blouse, dan rok pendek yang mengekspos kulitmu dengan bebas. Itu, membuat kau terlihat tak berbeda seperti gadis lainnya." cerocos Yoongi lagi, bersama gerakannya yang membentangkan selimut untuk menutup tubuhku; secara keseluruhan, "Yak!" pekik ku setelah menyingkap selimut; yang menutupi kepala ku. Membuat pria itu terkekeh lirih, disela dua jemarinya yang lantas mengapit puntung rokok, seperti biasa.
"Apa hari ini, Jungkook mengabaikanmu? jadi bagaimana, bukankah bocah itu cukup bajingan juga?" cecar pria itu, kembali menyandarkan punggungnya untuk mensejajariku. Pun pandangan kami secara bersamaan, terarah pada bentangan langit malam—yang diikuti pergerakan refleks; dari bibirku yang tergerak untuk menghitung lirih berapa banyak bintang yang paling bersinar diatas sana.
"Berikan satu puntung rokok, untukku." pintaku seraya membentangkan telapak tangan, tepat didepan wajah pria yang lekas melirikku sebelum memungkas, "Tidak. Bukankah sudah ku katakan, jika rokok tak baik untuk kesehatan seorang gadis?" titahnya, lekas menarik dan mematikan puntung yang sempat ia sesap dalam satu injakan.
Romaku meremang; bersama anakan suraiku yang terbawa oleh hembus angin lirih malam ini. Tak pelak membuat akal ku kembali pada pertanyaan, Mengapa aku harus disini, bersama Yoongi? lalu apa yang membuat Jungkook mengabaikanku, dan apa yang terjadi dengan Jimin?
Pada akhirnya, segudang pertanyaan itu tak lagi terbendung. Membuat belah bibir ku meluncurkan tatanan bahasa dengan lancarnya, ketika pertanyaan bertubi-tubi lantas kuberikan pada pria sipit; pemilik raut sedingin es disampingku, "Katakan, semua yang kau ketahui tentang Jungkook. Aku penasaran." perintahku, membuat Yoongi sedikit bereaksi; untuk menegakkan punggungnya.
"Apa imbalan yang kau tawarkan, untukku?" balasnya, meremehkan. Satu sudut bibirnya lekas tertarik membentuk senyum miring paling menyebalkan; yang begitu kentara di bawah sinar redup bulan malam ini. Bahkan angin turut membuat Yoongi terlihat menjadi pria paling berkuasa; setelah surainya terbawa oleh angin, yang semakin menambah keangkuhan yang tengah ditampilkannya.
Bibir ku terkatup. Memilih kembali membuang pandangan, guna menghindari kontak mata mematikan, sebelum wajahku lekas menoleh; sebab Yoongi menginterupsi, "Bagaimana jika satu ciuman bibir; untuk dua fakta, mengenai Jungkook dan Jimin?" pun irisku melebar; mendengarnya.
Terkutuklah Yoongi yang kini terlihat sejuta kali lipat lebih menyebalkan.
Mendengus singkat, sebelum beranjak sebal hingga mengabaikan selimut yang turut tergeletak di atas lantai atas pergerakanku. Hingga pria berkulit pucat yang tengahku punggungi kembali menyela, "Memangnya, kau tak penasaran dengan mereka? dengar, itu sedikit berkaitan denganmu, Jian."
Pun hal tersebut kembali tak kuhiraukan. Sebab lebih memilih untuk mengambil satu langkah, meski pergelanganku lantas tertahan oleh pria yang turut beranjak; mengekoriku, "Hari ini, kau mendengar nama Jennie dari mulut Jimin, bukan? kau tak penasaran dengan—"
Aku merutuk, mengumpat, bahkan mencengkram ujung kaosku; sebagai pelampiasan. Seberapa banyak pengaruh yang diberikan Jungkook untukku? seberapa banyak emosi yang telah ia ajarkan? mengapa sekarang aku merasa kacau atas sikapnya?
Pun pertahananku berakhir roboh. Lantas memilih menelan bulat-bulat kebodohanku, bersama pergelanganku yang masih tercengkram oleh Yoongi. Membuat hanya lima jari lainnya saja, yang lantas terkalung pada tengkuk pria itu; secara refleks.
Park Yoongi terhenyak atas pergerakanku; yang jelas tak sempat ia perkirakan sebelumnya. Pada satu detik, kedua manik kami lantas bertubrukan; ketika bibirku telah tertempel sempurna pada bibir tipisnya—membuat pria itu turut menyaksikan pelupuk mataku yang telah di penuhi oleh cairan bening, hingga didetik selanjutnya; kelopakku terpejam. Membuat bulir itu turun, tanpa permisi.
Cengkraman pria itu melonggar, sedikit memudahkanku untuk lolos. Hingga lekas kugantikan dengan dua lenganku yang mengalung sempurna pada tengkuk Yoongi. Satu langkah maju yang ku ambil, lantas membuat tubuh kami nyaris menempel.
Satu menit tanpa pergerakan dari Yoongi, tak pelak mendorong keberanian yang terkumpul dari ku—guna menciptakan pagutan, yang tak segan untuk melumat bibir bawah dan atas Yoongi, secara bergantian.
Itu sedikit beraksi, ketika didetik selanjutnya pria itu turut merengkuh pinggangku, yang kian merapatkan tubuhnya. Dua tetes. Bulir ku kembali turun. Dan aku, tak memiliki alasan pasti, mengapa sebuah tangisanlah yang mengiringi ciuman ku kali ini.
Dapat aku rasakan ritme ciuman Yoongi begitu teratur dan berirama; tak terburu-buru hingga membuat kesadaranku perlahan hilang. Kian tenggelam pada aroma memabukkan yang dimiliki pria dengan surai yang telah terselip lima jemariku untuk meremasnya perlahan, hingga mengusap secara acak tengkuk Yoongi. Menciptakan leguhan lirih; sebelum ia mengakhiri pagutan ku secara sepihak, menyisakan satu benang saliva yang terputus atas pergerakan mundur wajahnya.
Pun wajahku lantas tertunduk. Hanya menatap kosong, pada dada bidang Yoongi—meski dua tanganku masih terkait pada tengkuknya. Tak berbeda denganku, dua tangan Yoongi bahkan masih bertengger pada sisi pinggangku secara apik. Perbedaannya hanya, pria itu masih memiliki keberanian untuk menatap lamat wajahku yang menampilkan rona merah.
Dua menit bertahan dengan keheningan, pria itu lekas bersua seraya jemari yang mengusap puncak kepalaku begitu perlahan, "Ah, aku jadi semakin merasa iri dengan Jungkook." ungkap Yoongi, sedikit menjeda kalimatnya, "Bahkan ia memiliki gadis special sepertimu, namun masih tak yakin akan perasaannya sendiri. Haruskah aku berlomba dengannya, untuk merebutmu dari Jungkook hm?" lanjutnya lagi.
Wajahku mendongak selepas mendapati sorot redup Yoongi, meski masih terkesan dingin. Hingga lima jemari lain, yang ia selipkan pada tengkukku seraya mengusapnya perlahan—tak pelak membuatku berdesis lirih.
"Benar, aku akan merebutmu, jika Jungkook terbukti masih menyiapkan celah untuk Jennie." imbuh Yoongi untuk ke sekian kali. Menciptakan sepasang alisku yang menyatu, untuk mencerna kalimat Yoongi barusan.
Mulutku yang nyaris saja terbuka guna memberikan tanggapan, lantas kembali terpotong oleh pria yang mendadak menangkup dua sisi wajahku, "Perihal Jimin, ia selalu memiliki ide gila—untuk menjajal setiap gadis yang diinginkannya. Mungkin kali ini, giliranmu yang ingin ia jajal." jelas Yoongi yang masih belum kuketahui, makna dari sederet kalimatnya barusan.
Irisku bergerak risau. Masih belum menemukan apa yang dimaksudkan Yoongi, sebelum aku bersuara, "Memangnya, siapa Jennie?"
Yoongi menghela sekilas, selepas mendapati raut santai yang kubuat-buat sebelum ia menanggapi, "Adik Seok. Merupakan cinta pertama Jungkook, dan sekarang ia baru saja kembali dari New Zealand" terangnya.
Aku mengangguk; sebagai jawaban mengerti. Hingga lingkaranku pada tengkuk Yoongi perlahan merenggang, "Lantas? kurasa, hal itu tak ada sangkut pautnya denganku. Lagipula, kami hanya sebatas memiliki sebuah perjanjian tanpa saling mencampuri urusan pribadi satu sama lain." tanggapku, lekas mengambil satu langkah mundur, guna mengikis jarak.
Tubuhku yang bersiap berotasi, tepat sebelum sebuah dekapan berhasil menahan langkahku. Membuat tungkaiku kaku dibuatnya, tatkala deru nafas kentara oleh Yoongi yang tengah memangku wajah pada satu bahuku.
Dapat kurasakan tubuh pria itu kian merapat pada punggungku, hingga menciptakan hantaran tubuhnya yang mulai memacu desiran darahku menjadi dua kali lipat lebih deras dibanding biasanya, "Berikan aku kesempatan yang sama, seperti yang kau tawarkan pada Jungkook, Lee Jian."
Pun suara Yoongi terdengar lirih. Tak pelak membuat wajahku menoleh pada wajahnya sekilas. Selanjutnya, turun guna mengamati dua tangan pria yang melingkari perutku sedikit posesif. Bibirku yang turut terkulum singkat, seraya melonggarkan dekapan Yoongi—sekedar merubah arah, untuk menghadapnya. Dibandingkan Jungkook, kurasa Yoongi memiliki tinggi yang tak terlalu jauh denganku. Membuat wajah kami hampir sejejar, tanpa perlu aku bersusah payah untuk mendongak ke arahnya.
Irisku berotasi sekilas, dengan sepuluh jariku yang mencengkram bahu Yoongi cukup kuat, "Rasanya sedikit aneh, ketika aku sedikit banyak mengetahui beberapa emosi baru, untuk akhir-akhir ini. Bahkan, aku memiliki kebiasaan baru sebelum mata ku terpejam setiap malamnya. Itu mengenai aku yang memikirkan kalimat konyol Jimin, Hoseok, Seok. Lalu sikap tak terduga yang kerap kau tunjukkan padaku, dan terakhir segalanya tentang Jungkook. Lucu, bukan?" dialogku.
Enam puluh detik, pria itu habiskan untuk menatapku dalam diam. Ia bahkan menghiraukan ponsel miliknya yang tak henti menyuarakan dering. Hingga untuk panggilan kesekian kalinya, Yoongi lantas merogoh satu sisi saku celana yang ia kenakan. Sorot sayunya pun perlahan berubah menjadi lebih tajam, "Hallo.." singkat Yoongi, menjawab panggilan pada ponselnya.
Seakan memiliki celah, tubuhku pun lekas berotasi. Kembali mengambil langkah, untuk meninggalkan pria yang bersua lantang, "Aku membawanya, karena aku menginginkannya. Lebih baik kau urus gadismu itu, Nam Jungkook. Jadi berikan Lee Jian, untukku."
Tubuhku terpaku, sedikit menolehkan wajah pada sisi kanan; sekedar memastikan jika Yoongi memang tengah berbicara dengan seseorang di sebrang sana. Tepat didetik yang sama, jantungku nyaris merosot jatuh—tatkala seseorang tengah memberikan sedikit dobrakan pada daun pintu yang terbuka, hingga menampilkan sosok pria yang terlihat mengatur nafas terengahnya.
Pria itu sedikit menurunkan punggung; untuk berpegang pada kedua lututnya, "Maaf, sunbae—" lirihnya terdengar terbata, seraya mengambil langkah maju; untuk memaku diri di hadapanku.
Manikku, masih menatap lurus ke arahnya tanpa sebuah ekspresi. Meski nyatanya atensiku sedikit tersita akan peluh yang membanjiri keningnya. membuat surai hitam legam itu terlihat tak lagi rapi seperti biasanya. Jungkook, lekas menyelipkan lima jemarinya pada sela jemariku. Lantas mengambil satu langkah lagi lebih maju.
Kali ini, pria itu terlihat menundukkan punggung—guna memberi hormat pada Yoongi, "Aku sungguh menghormatimu, hyung. Terlepas dari apa yang ku lakukan tempo hari padamu, aku benar-benar meminta maaf. Jika kau ingin memberi pukulan padaku sebagai gantinya, aku bersedia. Tapi kumohon, biarkan aku membawa Jian sunbae." titah Jungkook, dengan punggung yang masih tertunduk.
"Jangan serakah, Jung." sambut Yoongi sebagai jawaban, membuatku mendelik ke arah pria yang kembali menyelipkan puntung rokok pada bibirnya. Yoongi melirikku sekilas; sekedar memamerkan sunggingan tawa miringnya, padaku.
"Tidak, hyung. Aku telah menyelesaikan semuanya dengan Jennie. Kami tak benar-benar terlibat dalam sebuah hubungan. Dan, selayaknya pria dewasa; aku akan menjaga janjiku pada Jian sunbae."
Nam Jungkook menarik diri. Ia menatapku sekilas, sebelum langkahnya kembali menuntunku; pada sebuah kebahagian yang terasa membuncah, hanya karena kalimat sederhana dan genggaman tangannya. []
--o0o--