Lembar Duapuluh Tiga

AKU tak sepenuhnya tuli—sampai tak sempat mendengar istilah 'terkadang logika tak bekerja cukup baik, ketika menyangkut rasa cinta'. Lantas, apa sekarang ini seorang pria tengah meminta ku untuk mengemis padanya agar tak ditinggalkan? Ah Jangan gila, bahkan aku belum meminta konfirmasi pada nalarku; sekedar memastikan apa penamaan emosi yang telah membuatku kacau.

Sisi permukaan sofa yang tengah menjadi sandaran punggungku, terasa kelewat nyaman. Minimalnya itu cukup memberi pengaruh baik bagi ketegangan sarafku yang perlahan memudar bersama nafas yang terhela cukup panjang. Bahkan kali ini kedua manikku masih bertahan untuk mengatup, berusaha mengacuhkan pria yang sedari tadi mengguncang pelan bahuku secara berulang—seraya melontarkan rayuan, "Biasanya sunbae akan menenggak alkohol ketika merasa sebal, bukan? itulah alasan mengapa aku meluangkan waktu untuk membelinya. Ayolah sunbae—minum ini."

Rengekan bak bocah kecil dari Jungkook selama sepuluh menit lamanya, terbukti mampu membuatku lekas menoleh dengan sorot geram yang kulengkapi desisan kentara—membuat pria bersurai legam itu terhenyak beberapa saat, sebelum kesadaran telah mendorongnya untuk menarik dua sudut bibir untuk mematrikan garis cekung tipis, yang lama kelamaan merekah—menampilkan tawa lima jari.

Mendapati raut ceria si brengsek tampan itu, nyatanya berhasil membuatku naik pitam. Pasalnya ia tak sedikit pun memasang raut menyesal, meski sebelumnya telah melontarkan kalimat yang sukses menikamku tanpa alih-alih, "Ku bilang aku akan menyukai mu, sunbae. Kenapa kau merengut seperti itu? Aigoo.." enteng Jungkook sekali lagi. Lekas menciptakan pergerakanku untuk meraih gelas wine yang sempat ia sodorkan secara berulang—meneguk isiannya dalam sekali kesempatan, "Ah benar begitu, sunbae. Jangan sisakan barang satu tetespun." imbuhnya lagi, bersama seringai tipis yang dapat kutangkap dari sudut netraku. Ia berkepribadian ganda, aku tau. Tapi ingat Lee Jian, yang kini tengah bersamamu adalah si polos yang nyatanya cukup menyebalkan juga, bukan?

Selepas isian dalam gelas berpindah pada lambungku, lekas kuraup oksigen sebanyak mungkin; sekedar memenuhi pasokan udara pada paru-paruku yang perlahan menipis, dengan dagub jantung abnormal-nya.

Satu tanganku terangkat—menggunakan punggung tangan untuk menyeka sedikit peluh yang turun secara perlahan pada pelipis, sebelum suara bariton Jungkook menginterupsi, "Sunbae, tidak apa-apa?"

Anggukan yang kuciptakan, nyatanya tak selaras dengan perasaan aneh yang kian berkecamuk pada benakku saat ini juga, "Sial. Kenapa rasanya panas sekali?" gumamku bersama pergerakan kesepuluh jemari yang terangkat untuk membuat kunciran kuda.

Tungkai ku terus saja menghentak lantai secara berulang. Sedikit resah, tatkala gelenyar aneh kian menciptakan fantasi liar di detik ini juga, "Kurasa, kau telah memasukan sesuatu dalam minuman ku, Jung." cecarku yakin, membuat sang tersangka hanya terkekeh ringan dengan raut polos sebelum menjawab, "Aniyo, sunbae."

Sejemang ia nikmati gelagat tak tenangku, hingga detik selanjutnya Jungkook kian mengikis jarak; untuk menciptakan sentuhan hangat dari satu tangannya yang mulai bertengger pada sisi pahaku, "Ingin kubantu, agar bisa sedikit tenang sunbae?" tawar pria itu, bersama rematan seduktif yang nyatanya kian membuatku kalang kabut.

Irisku terpejam, bersama gigitan kuat pada bibir bawah; berusaha mencari pelarian, "Kau memberiku obat perangsang eoh?" tuduhku, to the point.

Jungkook terkekeh lirih. Lantas menangkup satu sisi wajahku dengan satu tangan lainnya, yang mulai menelusuri sisi pinggang; guna mempermudah dua tangkupan tangannya untuk mengangkat tubuhku agar dapat berpindah diatas pangkuan pria yang mulai memilin suraiku layaknya sebuah mainan.

"Kau gila, Jung. Bahkan aku hampir tak bisa membedakan pribadi mana yang tengah menguasaimu." tandasku, membuat kedua alis Jungkook menyatu pada pangkal hidungnya. Wajah sejajarnya kian mendekat, seakan menggodaku dengan terpaan nafas hangatnya yang menderu sedikit menggelitik pada permukaan wajah hingga ceruk leherku, selama beberapa waktu.

"Aku Kookie, sunbae. Seorang yang memiliki seluruh memori si pribadi dominan, yang kerap menghabiskan waktu bersamamu. Ah, jangan cemas. Bahkan aku bisa mencontoh apa saja yang ia lakukan padamu." bisik pria itu, sedikit sensual. Kian membakar suhu tubuhku, tatkala kulitnya bersinggungan dengan permukaan kulitku; hingga menciptakan hantaran hangat yang sungguh diluar nalar.

Pertahananku runtuh. Tepat ketika bibir tipis Jungkook berhasil memagut bibir setengah terbukaku, dalam satu pergerakan. Menyisakan iris membola—bersama dua kepalan untuk memukul lengannya secara bar-bar, yang nyatanya tak cukup berarti. Bahkan dada bidangnya telah merapat sempurna pada tubuhku yang punggungnya terus ia tekan, kian menghilangkan jarak barang satu centi pun.

"Apalagi yang dikatakan Jimin, hm?" tanya pria itu disela ciumannya. Seakan tak berniat untuk memberikan jawaban, kepalaku terus meringsak maju; kian mendesaknya untuk melumat bibirku, dengan kesepuluh jemari yang terus meremat surainya begitu seduktif, "Sunbae, katakan—" interupsinya lagi.

"Tak ada." Singkatku, bersama gerakan tergesa untuk kembali memagut bibir Jungkook. Hingga sesekali membuat cumbuan pada rahang serta area leher pria yang tengah menengadah, seraya menjulurkan lidahnya secara berulang.

Sepersekon tenggelam dalam kenikmatan yang berhasil menggelapkan pandangku, Jungkook menjeda; untuk mencengkram kuat dua pergelanganku. Tengah berusaha memenjarakan irisku seraya berbisik, "Jika sunbae tak katakan apapun padaku, bersiaplah tersiksa; karna tak akan mendapat sedikitpun sentuhan dariku." ancamnya. Membuatku lekas memutus satuan benang saliva, untuk menatap seringai menyebalkan Jungkook dengan geram.

Desakan gairah dibawah senyawa yang membuat libidoku berada di puncak, nyatanya mampu menghipnotisku agar menuruti segala perintah pria yang lima jemarinya tengah bertengger pada tengkukku untuk ia berikan usapan seduktif yang cukup menjebak. Hingga beberapa detik setelah berperang diri, sederet kalimat percaya diriku muncul cukup enteng; membuat pria itu lantas merotasikan irisnya, " Jimin hanya memintaku tidur dengannya. Karena sekarang ini Jennie kerap mengabaikan si pendek itu."

"Dan kau menyetujuinya?" potong pria itu cepat. Menyisakanku yang terkekeh pelan, sedikit mengatur jarak seraya bersidekap.

"Belum. Tapi aku akan memikirkannya lagi. Bukankah aku harus memiliki pria lain, agar membantu terapi melalui sentuhannya? Ah.. kurasa Hwang Jimin juga tipe pria penurut dan sedikit tak terduga. Jadi ia cukup cocok untuk—"

Kalimatku terhenti. Di gantikan ringisan, tatkala punggungku terjerembab tepat diatas permukaan sofa. Meski sakitnya tak begitu, nyatanya pergerakan tak terdeteksi yang diciptakan Jungkook mampu membuat pening pada kepalaku, didetik yang sama tatkala ceruk leherku di cumbunya secara berulang, "Kau Kookie atau—"

"Nam Jungkook. Pria setengah gila, yang beberapa waktu teakhir—selalu ingin menyentuhmu." pungkas pria yang mulai meraba apapun yang dapat di raihnya, secara acak. Membuat nafasku terhela cukup alot, tatkala gerakan terburu pria yang tengah mengungkung tubuhku kian bergerak liar, begitu tak terkendali.

"Sunbae—" nada mendayu Jungkook terdengar, ditengah aktifitasnya. Serta merta membuat iris kami saling bertubrukan dalam beberapa saat, sebelum pria itu kembali melanjutkan kalimatnya, "Jika setelah ini aku bersungguh-sungguh akan mempertahankan sunbae tanpa sebuah alasan, apa kau bersedia memberikan kesempatan pada dua pribadiku? maksudku; biarkan kami hidup saling berdampingan."

"Bahkan jauh sebelum hari ini, aku telah menyiapkan sebuah catatan, untukmu. Disana tertera hari, tanggal, dan tahun yang menerangkan setiap kejadian yang dilalui oleh masing-masing kepribadianku, ketika bersamamu. Apa sunbae tertarik untuk melihatnya? … barangkali kau bisa menemukan alasan paling tepat; untuk menerimaku." ujar pemuda itu, yang masih belum mendapatkan jawaban apapun, dariku. []

--o0o--