Lembar Duapuluh Enam

KELOPAK manikku mengerjap; mendapati bagaimana aroma sakura yang kian menguar begitu kentara, hingga menggelitik kesadaranku untuk lekas terjaga dalam lima detik setelahnya. Bias mentari yang mencuri pandang terhadapku melalui celah jendela, nyatanya tak cukup membuatku malu meski silaunya telah merasuk pada permukaan kulitku yang masih setia untuk bergumul dibalik selimut yang sesungguhnya tak begitu mampu menutup tubuhku secara sempurna.

Geliat lamban yang kuciptakan guna merenggangkan seluruh ketegangan saraf, lantas terjeda—ketika sebuah material lembut yang kuterka telah dibasahinya terlebih dulu, lekas menyambut pagi ku tanpa ijin.

"Kenapa sunbae tertidur seperti mayat? bahkan jika aku membunyikan terompet tepat ditelingamu, kau pasti tak akan bangun." suara bariton Jungkook, lantas menjadi pengawal hariku. Membuat ulas tawa tipisku seakan memberi aba-aba untuk terus meringsak masuk ke dalam selimut, kian merapatkan tubuhku pada dada bidang beraroma mint yang melebur bersama aroma maskulinnya.

Satu lenganku tergerak, melilit pinggang Jungkook dengan satu tangan lainnya yang masih kumanfaatkan untuk membuat benteng pertahanan tepat diatas dada ku. Oh, pria itu sedikit picik, sebab telah mengenakan t-shirt polos putih dan mengabaikanku yang kedinginan di balik selimut, "Lelah—" singkatku, kian menyembunyikan wajah di atas dada bidang pria yang degub jantungnya dapat kutangkap dengan jelas layaknya sebuah genderang.

Aku terkekeh sinting, dibuatnya. Sedikit mendongakkan wajah; untuk memberikan satu kecupan ringan tepat diatas bibir merekah Jungkook sebagai ucapan selamat pagi. Lucunya, iris pria itu membola—terhenyak beberapa saat, sebelum dipamerkan gigi kelinci yang begitu menggemaskan seraya berujar, "Aigoo, kenapa kekasihku begitu menggemaskan seperti ini? Ah, Membuatku menginginkan bayi perempuan saja."

Kedua alisku menyatu. Mendapati lontaran asal Jungkook yang sesungguhnya hanya sebuah candaan, namun berhasil membuat rona pipiku merekah tanpa ijin. Hingga lekas kutarik lenganku, agar tak lagi mendekap tubuh Jungkook. Memilih memunggungi pria itu, seraya terpejam dalam beberapa detik—hingga sebuah rengkuhan hangat telah membawa kesadaranku kembali, "Aku berjanji akan menemui Kim hyung dan meminta cara terbaik, untuk penyembuhanku."

Aku terkesiap. Sedikit menilik Jungkook yang tampak memangku dagu pada satu bahu, dengan lilitan lengan bawahnya pada sisi pinggangku begitu posesif, "Tak usah. Kau itu tak sakit, Jung. Bukankah semalam sudah kukatakan, perihal aku yang akan menerima dua kepriabadianmu itu? dibanding menemui Kim Nam oppa, lebih baik kau temui Kim Jennie—dan katakan kepadanya, jika kau sungguh berniat untuk menyukaiku dan melupakannya." cecarku yakin. Sedikit beringsut, seraya melonggarkan dekapan yang malah kian dieratkan oleh bocah yang turut menyendat pernafasanku dengan dua jemarinya yang mengapit puncak hidungku; begitu gemas, seraya menampilkan tawa lima jari, "Baiklah, tuan putri. Aku akan melakukan apa yang kau inginkan." tanggapnya yang malah membuatku berdecih sebal. Terlebih ketika Jungkook mengimbuh, "Apa minggu ini masa subur sunbae? aku berharap begitu, karena semalam kita melakukannya tanpa sebuah pengaman—dan mendapatkan klimaks secara berulang. Oh biar ku hitung! tiga? empat? Ahh mungkin enam kali? .. daebak. Bagaimana bisa sunbae begitu hebat ketika.. oh lupakan. Aku benar-benar merinding, meski hanya memikirkannya."

Pukulan telak yang tercipta dari satu kepalan tanganku, nyaris saja mendarat pada wajah tampan Jungkook—dilengkapi sumpah serapah yang mendoakan hal itu dapat membuatnya tewas di tempat. Sayangnya hal tersebut jelas hanya ku kubur dalam benak. Lekas kuganti dengan menyapit satu pipi Jungkook dengan gemas.

"Jangan gila! aku takkan mempertaruhkan pendidikanku, mengingat susah payahnya ketika aku belajar untuk ujian masuk universitas. Lagipula bocah sepertimu tak cocok menjadi seorang ayah. Itu akan menyakiti harga diri bayiku, karena memiliki ayah penggila game dan kekanakkan sepertimu." lontarku asal, membuat pria itu merotasikan iris sekilas sebelum punggungnya melurus untuk bangkit, hingga mengambil langkah terseret agar menuju sisi ranjang.

"Sunbae tak perlu khawatir. Aku sungguh bisa menghidupi istri dan bayiku. Hanya menyelesaikan pendidikan secepat mungkin, lalu merayu papa agar aku dapat ditempatkan pada perusahaan keluarga. Cukup mudah bukan?" enteng pria itu sekali lagi. Membuat kekehanku mengudara, lekas bangkit seraya mempertahankan lilitan selimut untuk menatap pria yang turut memaku tatap padaku, "Memangnya kau sungguh akan menikahiku hm? Bagaimana dengan Jennie, si cinta pertamamu itu eoh?" godaku, bersama sepasang alis yang bergerak naik turun bak anak kecil yang tengah menggoda teman sebayanya.

Jungkook tak bereaksi, hanya menghendikan bahu sekilas—sebelum di kecupnya puncak kepalaku. Hingga berakhir dengan lima jemarinya yang mengacak suraiku, "Baiklah, akan ku buktikan jika aku layak untuk menjadi ayah dari bayiku yang akan tumbuh dalam rahim sunbae. Umm, ingin secangkir coffee?" tawar pria itu, yang langsung saja kutanggapi anggukan secara berulang dengan tarikan kedua sudut bibirku.

Hingga punggung tegap Jungkook perlahan menjauh, pandanganku lekas teralih—menatap guguran sakura di luar jendela bersama aroma khas musim semi yang mampu membuatku menarik diri. Sekonyong-konyong melilitkan selimut agar tak membuatku malu, lekas kupaku diri pada sisi jendela—sekedar mengamati guguran daun yang berhasil menutup sepanjang aspal yang terlihat.

Aku berdecih—sekilas mengulum bibir sebelum tawa sinting kukembali mengudara. Rasanya aneh, namun sedikit manis ketika memikirkannya. Maksudku: perihal perasaan aneh yang kini tengah ku rasakan, "Menjadi gadis bodoh, nyatanya tak begitu menyakitkan." gumamku.

Kurasa semua akan terasa rumit, jika kau mempermasalahkannya. Itulah mengapa gadis bodoh sepertiku tak begitu ingin dipusingkan dengan beragam terkaan yang malah akan membuatku sesak.

Tungkaiku lekas menapaki kilap lantai marmer begitu ringan, selepas kusita waktu berkisar dua puluh menit untuk mengguyurkan air shower. Mengenakan pakaian priaku, yang kupilih secara asal. Lekas menelusuri ruang demi ruang, hingga senyum tipis ku kembali mengudara tatkala mendapati punggung Jungkook yang tengah berkutat didepan kitchen set yang terlihat begitu acak-acakan, "Kau ingin menghancurkan dapurmu ini, eoh?"

Satu sisi wajah Jungkook berpaling; sedikit melirik ku melalui sudut matanya, selepas ia rasakan dua tangan yang melingkari tubuhnya cukup erat. Tawanya menguar, seraya mengusap punggung tanganku yang masih bertengger pada tubuhnya; hingga sesekali megecup tengkuk Jungkook secara berulang, "Sunbae, kau ini kenapa? astaga. Jangan seperti ini, sayang. Cukup aku saja yang agresif—jika kau juga seperti ini, aku tak berjanji akan meloloskanmu." titah pria itu lekas merotasikan tubuhnya. Sekilas meremat sisi pinggangku, untuk mengikis jaraknya.

Bibir bawahnya terkulum sekilas. Hingga dalam tiga detik selanjutnya, wajah Jungkook kian mendekat. Terus mengikis jarak, bersama terpaan kentara deru nafas hangatnya yang sedikit menggelitik permukaan kulit wajahku, "Mana coffee yang kau tawarkan hm?" kilahku. Sedikit membuang wajah, hingga pergerakan pria itu terhenti. Mengamati sisi wajahku, untuk selanjutnya ia kecup secara berulang tepat pada satu pipiku dengan gemas, "Ingin ke sungai Han? Kudengar sore ini akan ada festival bunga sakura di sana." tawar Jungkook, yang hanya kutanggapi dengan hendikkan bahu sedikit acuh.

Irisku berotasi sekilas, berniat menggambil langkah sebab enggan menanggapi ajakan konyol dari pria yang malah kian mengeratkan cengkramannya pada sisi pinggangku, "Aku tak suka keramaian, terlebih berkencan. Jadi lupakan perihal festival bunga sakura atau apapun itu. Lebih baik kita mengunjungi Kim Nam oppa di rumahnya." Tutur ku penuh penegasan. Lekas merenggangkan dekapan Jungkook, selepas bunyian katel berhasil menginterupsi.

"Buatlah janji dengan teman-teman mu, Jung. Aku juga ingin bertemu dengan Kim Jennie. Jadi, hubungi dia juga." []

--o0o--