Lembar Duapuluh Tujuh

Yeouido park, Sungai Han.

JIKA sebelumnya warna dominan dariku adalah abu-abu, maka ucapkan selamat datang bagi warna pastel yang telah masuk dalam jajaran favoritku. Langkah yang kuambil, tampak begitu acuh; meski guguran sakura yang berjatuhan telah sesekali mengenai permen kapas berwarna pink pastel yang tak lagi berbentuk setelah memasuki ronggaku. Pun kesepuluh jemari ku bekerja; untuk memudahkan aktifitasku dalam melahap habis, manisnya permen kapas yang sepuluh menit sebelumnya sempat kutolak dengan alasan, "Aku bukan anak kecil, yang harus kau belikan permen kapas berwarna pink seperti itu, Jung."

Tak heran jika pria yang tengah mensejajari langkahku terus saja mengulum tawa, seakan menikmati perangai konyol si gadis munafik yang secara berulang telah menjilat ludahnya sendiri hingga enggan beradu tatap pada pria, yang sejujurnya ingin kuraih sepuluh jemari berototnya untuk kusematkan pada sela jemariku.

Sedikit picik, tatkala aku berniat membuat cemburu seluruh pasang mata yang berlalu lalang disekitaran. Ingin menggenggam erat satu tangannya, untuk kupamerkan pada dunia perihal kami lah pasangan terbaik diantara seluruh pasangan yang ada. Ah, tidakah rasa percaya diriku begitu berlebihan? jika ya, memangnya bagaimana hal yang paling tepat untuk mengekspresikan sebuah kebahagiaan?

Konyol. Lagi-lagi aku bermonolog, bersama kekehan sinting. Terus mengabaikan pria yang kerap kali kudapati tengah menatapku lamat hingga ia bersua, "Rasanya aku ingin menyicipi permen kapas itu, melalui bibir sunbae." jelas saja gumaman pria itu dapat ku dengar, sebab lirihannya dilontarkan tepat pada sisi daun telingaku.

Berniat untuk menanggapi, lekas kusodorkan permen kapas yang semula kunikmati, ke arah Jungkook. Menyisakan satu alis pria itu yang menukik, sebelum satu tangannya merampas sodoranku secara cuma-cuma seraya mengambil langkah santai.

Punggung Jungkook menjauh dengan langkah percaya diri, yang lekas kususul untuk mensejajarinya. Decakanku pun kembali terdengar, mendapati riuh suara yang tercipta dari manusia yang berbondong-bondong datang, demi menikmati jejeran pohon sakura yang berguguran disepanjang sungai Han. Pun hal itulah yang lantas membuatku sedikit banyak menghela. Mengingat bagaimana tungkaiku yang tak pernah mengenakan high hels, ataupun terpaan angin yang membuat gaunku berterbangan.

Seakan memahami risauku, Jungkook yang semula menilikku sekilas, lekas meraih satu lenganku. Hingga merapatkan tubuhnya, untuk mengambil langkah secara berdampingan, "Sunbae, merasa tak nyaman?" tanya Jungkook, memastikan—yang langsung saja kutanggapi dengan anggukan, namun lekas mengimbuh, "Tapi itu sedikit berkurang, setelah bersamamu."

Kekehan pria itu mengudara selepas kalimatku terselesaikan. Dekapannya bahkan kian mengerat, tak memberikan ijin pada jarak meski hanya satu centi pun. Lagi-lagi irisku mencuri pandang pada pria yang tak hentinya mengulum senyum simpul, dengan satu dimple menawan ditengah langkah ringan kami yang saling beriringan dibawah guguran sakura.

"Aku, menyukainya!" teriakku dalam hati, menciptakan degub abnormal hingga semburat merah yang kian membakar wajahku di setiap detiknya, "Apa yang sunbae inginkan? ..di sana ada begitu banyak tenda." interupsi pria itu, lekas membuyarkan lamunanku untuk mengikuti arah telunjuknya.

Sepersekon, irisku membola; mendapati jejeran tenda dengan banyaknya kerumunan orang yang mengantri. Aroma khas yang tercium, bahkan mampu menaikan rasa laparku. Sayangnya, kali ini ego ku lebih kuat hingga lekas kugelengkan kepalaku secara perlahan, setelah benakku mempertimbangkan.

"Aku tak suka keramaian, Jung. Kita pulang saja." pintaku.

Bodoh jika sempat kufikirkan ia yang akan mengangguk, lantas menuruti keinginanku. Bahkan sebaliknya, Jungkook malah berotasi, mengambil dua langkah menjauh, sebelum terjeda untuk kembali menghampiriku—sekedar meremat kesepuluh jemariku, dengan punggung tangan yang masing-masing ia berikan kecupan, "Sunbae, bisa tunggu disini? aku akan cepat kembali, dan membawakan banyak makanan untuk mengisi tenagamu, setelah pergulatan semalam." celotehnya asal, lekas menciptakan satu pukulan telak yang ku daratkan tepat disatu lengannya secara percuma.

"Jaga bicara mu bocah!" cecarku, seraya memberikan cubitan kecil pada satu pipi pria yang langsung saja mengaduh lirih.

Beberapa saat memberikan kesempatan padaku untuk berpuas diri, kini satu tangan Jungkook terangkat—tengah membentuk sebuah lambaian kecil, ke arah belakang punggung ku, "Eoh? Hyung?" ujarnya, membuatku lekas menoleh. Hingga mendapati pria tak asing yang turut menampilkan tawa miring sebagai sambutan pertama, seraya mengambil langkah santai dengan kedua tangan yang ia simpan pada saku celana.

Alisku menyatu, bersama belah bibirku yang tak bisa terkatup; selepas langkah pria itu terhenti tepat di hadapan ku dengan raut datar yang malah ku sambut riuh, "Omona! Yoongi? kau datang? oh bukan. Maksudku, kemana perginya warna rambutmu itu eoh?"

Kedua telapak tanganku lantas menyatu, membuat tepuk tangan tanpa rasa malu bak orang sinting yang kegirangan setelah mendapatkan jackpot. Tentu saja hal itu berlanjut dengan manikku yang mulai mengembun, setelah beberapa puluh detik terpingkal sendiri tanpa sebuah alasan berarti.

"Aku mengganti warna rambutku, agar terlihat lebih manusiawi." katanya yang jelas kembali menciptakan gelak tawaku. Bahkan sanking kelewatannya, pukulan ringan yang kuciptakan secara bar-bar terus saja mendarat pada satu lengan Jungkook tanpa ampun. "Sakit, sunbae." eluh sang korban, serta merta membuatku berhenti; untuk mengambil jarak.

Belum sempat bibirku terbuka guna meluncurkan permohonan maaf, Jungkook pun meringsak maju. Lekas menangkup satu sisi rahangku untuk memudahkannya dalam mendaratkan kecupan ringan tanpa ijin; tepat pada satu pipiku.

Tawa lima jari Jungkook yang terlihat kian kentara, sebelum tubuhnya berotasi selepas nada mendayunya berakhir; hingga menciptakan semburat merah yang perlahan membakar wajahku. Katanya, "Tunggu disini, dan jangan lihat pria lain. Mengerti?"

Gilanya lagi, aku mengangguk layaknya anjing peliharaan yang kelewat patuh akan perintah sang majikan. Seraya meremat sisi gaun; sebagai pelarian atas degub abnormal, lagi-lagi aku berpuas diri akan kuluman senyum tak beralasan hingga melupakan satu pria lain yang kini tengah mensejajariku, "Begitu menyukainya, hm?" interupsinya.

Aku meniliknya sekilas, sebelum satu kaki beralas high hells pink pastel kini menghentak aspal secara berulang, dengan rundukan wajah yang berusaha menyembunyikan semburat malu, "Jadi bagaimana rasanya?" imbuh pria itu lagi, membuat otak ku berputar agar sedikit rasional dalam memberikan jawaban. Namun nihil. Aku cukup kelimpungan di buatnya.

"Entahlah, hanya saja—aku merasa ingin membagi seluruh hariku bersamanya. Ah bagaimana aku menjelaskan hal itu?" kekehan canggungku mengudara. Seraya mengusap tengkuk, sebelum irisku menubruk sorot dingin Yoongi; dalam lima detik. Itu sedikit aneh. Maksudku perihal tatapannya yang terkesan dingin, sayu, namun sarat akan kekecewaan. Hanya saja lidahku terlalu kelu, meski sekedar mengkonfirmasi terhadapnya; perihal dugaan yang sesungguhnya tak berdasar. Membuatku memilih opsi diam, dan tak berniat untuk ikut campur akan makna dari ekspresinya kini.

Sepersekian detik selanjutnya, atensiku tersita; oleh beberapa guguran sakura yang ku dapati telah jatuh tepat di atas kepala pria yang kini memiliki surai legam; menyerupai surai Jungkook.

Hingga satu tanganku terangkat untuk meraih sakura itu, tanpa kuperkirakaan—Yoongi terlebih dahulu telah menggapai pergelangan tanganku, seraya mengujar, "Bahkan kau tak usah bersusah payah menjelaskan bagaimana perasaan ketika menyukai seseorang, sebab aku telah mengetahuinya—sejak kali pertama, kuputuskan untuk menyukaimu, Lee Jian."

Irisku melebar. Lekas menarik diri, dengan langkah mundur; tak memperdulikan perihal siapapun yang akan kutubruk oleh punggungku. Rasanya sungguh kalang kabut. Bahkan detik ini, aku cukup membenci raut sendu yang tengah ditampilkan Yoongi.

Benar saja. Kini tungkaiku terhenti, dengan punggung yang kurasa telah menubruk seseorang; Tepat setelah langkah ke enamku. Aroma mint bercampur maskulin yang menguar, jelas membuatku dapat menebaknya dengan begitu mudah. Nam Jungkook lah yang kini tengah berjaga dibelakang punggungku. Hingga suara bariton itu, telah mengkonfirmasi jika dugaanku benar adanya,

"Apa Yoongi hyung, menyakiti noona?" tanyanya; berbisik, memastikan. []

--o0o--