SELURUH sendiku melemas, selepas netraku mendapati presensi pria yang tengah berdiri canggung pada sisi kananku. Telunjuknya bahkan masih bertengger pada mesin otomatis. Begitu kentara tengah menanti minuman kaleng yang baru saja ia bayar. Dahinya lantas tertaut sekilas, sebelum satu tangannya terangkat untuk melepas tudung hoodie; menyisakan surai blonde seorang Yoongi yang telah berubah legam nan begitu acak, "Kenapa menatapku begitu? kau ingin mengambil cola ku?" tebaknya bersama raut datar, sedikit menyebalkan namun menggemaskan secara bersamaan.
Sejujurnya, mulutku begitu gatal ingin mengumpat pria itu habis-habisan meski itu hanya berakhir dalam benak saja, sebab logika lebih mendorongku untuk lekas menyingkat waktu. Membuat satu tanganku terangkat untuk memainkan buku bersampul hitam, tepat di depan wajah pria yang langsung saja melebarkan irisnya, "Oh, jangan bilang jika bocah aneh yang menubrukku itu suruhanmu?" tebaknya sekali lagi. Tak pelak membuatku meluncurkan pukulan bar-bar, secara berulang hingga ia mengaduh lirih.
"Jika ia memang suruhanku memangnya kenapa huh? sekarang kau telah tertangkap basah; ingin kabur dari ku, Yoongi-ssi!" tuding ku tanpa basa-basi.
Pria itu terlihat bergidik singkat, sebelum berakhir dengan gelak tawa yang hanya menyisakan dua kelopak segarisnya. Lama sekali ia berpuas diri akan kekehan ringan, hingga berakhir menghela nafas; dengan bahunya yang bergerak turun, "Kenapa harus ke Chicago? itu jauh sekali—" serang ku lagi, meski nada bicaraku terdengar sedikit melirih, seraya merunduk. Pun pria itu masih membisu, atau memang ia yang tak berniat menanggapi?
"Bahkan kau pernah berucap akan menjagaku. Oh, jika kau tak jadi pergi, aku berjanji akan memanggilmu Yoongi oppa! eotthokke?" tawarku berusaha berkompromi, yang langsung kembali meledakkan gelak tawanya. Menyisakanku yang berdesis sebal, bahkan mengumpat dalam benak.
Kalimat konyolnya kembali terlontar. Sedikit tak masuk diakal, meski mampu membuatku terkekeh lirih, selepas ia menyatakan; "Aku ke Chicago untuk belajar cara berjudi Jian."
Lagi-lagi aku nyaris tewas, selepas ia pamerkan ulasan senyum paling menawan, hingga membuatku menarik diri untuk mengambil satu langkah lebih mendekat padanya. Yoongi terhenyak dalam tiga detik, sebelum mengujar; "Berhenti menatap semua pria dengan cara seperti itu, Lee Jian. Kau bisa saja membuat mereka tewas di tempat, karena merasa salah tingkah."
Kukira pria itu tengah mengejekku. Nyatanya semburat malu yang kian merona pada wajahnya, seakan mengartikan ia yang kini menahan degub jantung menggila. Membuatku kembali mengulum senyum, meski hanya sebatas menerka nya saja, "Aku menyukai instrumen lagu, yang Yoongi oppa buat. Meski liriknya sedikit menyedihkan." jujurku seraya merunduk—sedikit menjeda, "Bukankah itu tertulis; jika kau menginginkan seorang gadis, meski hanya sehari saja? menyedihkan seka—"
"Aku memikirkanmu ketika menulisnya." potong Yoongi, yang berhasil membungkam mulutku secara telak. Menyisakan kelopak manikku yang mengerjab secara berulang, sebelum menanggapi begitu canggung, "Aku tahu, tapi.."
Kalimat ku tergantung begitu saja. lekas memejam singkat; sekedar meminta keputusan kata hati serta nalar ku, "Setidaknya aku sempat diragukan olehmu! maksudku; aku menyukai bagaimana kau memberontak, atau bersikap serampangan ketika berusaha melindungiku. Oh, aku juga menyukai ketika kau memberikan jacketmu untukku, hingga mengingatkanku untuk tak lagi mengenakan pakaian terbuka. Aku menyukaimu, Yoongi oppa—sungguh."
Park Yoongi berdecih. Lekas mengangkat satu tangannya untuk mengacak suraiku begitu gemas, hingga memberikan satu cubitan kencang pada kedua pipiku—layaknya bermain sebuah slime, "Sudah ku tebak; perihal kau yang hanya menyukai sikap hangatku saja. Kemarikan passport-ku!" tandas pria itu, lantas merampas satu benda yang terus saja kupegang dengan satu tanganku, "Pergi, dan sampaikan salam perpisahan dariku untuk kekasihmu dan yang lainnya, Jian. Aku yakin, mereka disini. Bahkan mobil Jungkook terparkir di luar." perintahnya, yang lekas kutanggapi gelengan; tak berniat menuruti pria yang kembali memberikan satu cubitan gemas pada pipi kananku, sebelum kembali mengimbuh, "Mereka tak ingin mengantarku. Jadi kau yang harus menemui mereka—dan katakan, jika aku tak akan lama di Chicago. Ah, pastikan kalian semua baik-baik saja hingga aku pulang nanti. Mengerti?"
Sial, pelupukku mulai mengembun, hingga bulir beningnya terasa begitu penuh. Pun kupastikan dalam satu kedipan yang hanya sepersekon itu akan membuat wajahku basah. Lantas mendorongku untuk mengalihkan atensi pria itu, dengan sebuah dekapan ringan seraya bersua, "Kami akan merindukanmu Yoongi-ya. Cepatlah kembali."
Punggung pria itu sungguh berotasi selepas rengkuhanku terlepas, lantas di gantikan oleh belaian perlahannya pada suraiku. Kian menyeretku untuk tenggelam dalam kehangat seorang Yoongi yang berhasil masuk dalam sederet alasan mendasar, mengapa hidup seorang Lee Jian menjadi lebih berharga.
Langkah ringan, bersama garis cekung yang terus terpatri—tak pelak membawa benakku untuk sekilas bercengkrama; perihal segalanya yang kini terasa begitu berbeda. Haruskah aku kembali menemui Kim Nam oppa, untuk memastikan syndrom skyzoid-ku? rasanya.. itu telah hilang sepenuhnya.
Bahuku menghendik acuh, meski beberapa pasang mata menilikku kentara-yang tengah memaku diri di hadapan daun pintu kaca. Oh sungguh, aku tak berniat untuk menghalangi jalan bagi mereka yang ingin keluar atau masuk pada lobby. Hanya saja, aku memang membutuhkan sebuah cermin untuk menata diri. Sekedar menatap pantulan, agar memastikan tatanannya terlihat tak acak—meski yang kudapati; malah penampilan yang nyaris sempurna.
Bibirku terkulum singkat, sebelum kembali menarik tungkai untuk menghampiri beberapa kepala di luar bangunan, sesuai perintah Yoongi.
"Eoh, Jian noona.." satu suara menginterupsi. Menampilkan lambaian tangannya yang begitu semangat, hingga kudapati ia yang terhuyung, sebab mendapatkan dua kali pukulan telak pada puncak kepala oleh pria yang hanya menatapku datar, meski aku telah memaku diri di hadapannya.
"Annyeong, Jiminnie." sapaan yang sengaja ku berikan hanya pada satu kepala itu, tak pelak membuat Jungkook yang sempat memberikan pukulan pada Jimin terlihat berdecih, hingga memilih menyesap rokoknya sekali—sebelum puntungnya ia gilas di atas tanah; menyisakan ku yang menerka ‘bukankah Kookie tak merokok? Oh mungkin ia, Jungkook si pribadi lain?’
Terkaan yang belum sempat kuselesaikan, kembali buyar; selepas kalimat Jimin kembali menciptakan gelak tawa yang begitu menggelitik. Katanya; "Aku bahkan bisa melihat kecantikan noona, dari jarak sepuluh meter. Ah kau benar-benar bersinar, dan type ideal ku, noona. Kumohon, menikahlah denganku."
Tanganku terulur, berniat mengacak surai Jimin—namun tertahan oleh Jungkook yang sedikit mencengkram pergelanganku. Membuat atensiku teralih; untuk menerima iris pekat bersama seringai tipis pria yang menarik tubuhku untuk berdiri di belakang punggungnya, "Hyung, bisakah kalian pergi membawa Jimin? dan jangan ada satu pun, yang ingin ikut mobilku." tandas Jungkook; terlihat memerintah Seok dan Hoseok yang tak sedetik pun mengatupkan bibirnya.
"Aniyo, Kook-ah. Aku akan ikut kau saja!" jerit Jimin, meski kerah bajunya telah di seret oleh dua kepala; sesuai perintah pria yang lekas mendebumkan pintu mobilnya tanpa basa-basi.
Kelopak manikku mengerjap secara berulang, mendapati raut datar Jungkook yang tak lekas melajukan mobilnya—lantas memilih berdiam diri dalam beberapa waktu, "Kau marah? Apa kau—Jungkook?" tebak ku pasti, lekas membuat pria itu menoleh singkat—namun kembali membuang pandangnya. Seraya bersua; "Aniyo, aku—Nam Jungkook,"
Dahi ku mengernyit. Sekilas mengulum bibir, seraya mengamati raut dingin pria yang hanya menatap lurus; tak memperdulikanku, "Kookie tak pernah bersikap dingin, dan ia tak menyukai nikotin."
Skakmat! Pria itu menoleh, didetik terakhir kalimatku telah terselesaikan. Sialnya-sebelum mulut tajam ku berniat mencecar, Jungkook malah menyeringai penuh arti, sebelum suara baritonnya memerintah, "Beri aku ciuman, dan aku akan menjawabnya."
Rasanya ingin kukumpulkan seluruh tenaga yang kumiliki, hanya untuk menghantam wajah tampan dengan belah bibir tak terkatup yang begitu menggoda itu. Membuatku mati-matian menahannya, hingga menanggapi, "Shiro! Kookie tak pernah memerintahku seperti itu."
Kekehan Jungkook mengudara. Lantas mengacak suraiku dengan gemas—sebelum mobilnya melaju, tengah membelah jalanan kota Seoul yang terlihat ramai seperti biasa, "Jadi, sekarang ini noona lebih menyukai Kookie—dibanding Jungkook?" ujarnya, masih memberi fokus akan jalanan yang entah pemberhentian mana yang akan ia pilih. Membuat iris ku menilk pria itu sekali, sebelum memungkas penuh yakin. Hingga membuatnya berdecih, selepas kalimatku terselesaikan, "Tentunya, aku lebih menyukai Nam Jungkook!"
Pria itu masih terdiam. Tak berniat menanggapi, hingga laju mobilnya telah menepi pada pelataran coffee shop yang langsung saja menciptakan raut sumringah ku, "Oh, aku ingin ammericano." gumamku, selepas tungkaiku berhasil melewati daun pintu masuk, hingga sapaan ramah oleh beberapa pelayan tak pelak membuatku turut menunduk sopan.
"Kim Nam oppa?" gumamku untuk kali kedua, bersama netraku yang terus memicing—tengah memastikan presensi pria bersetelan rapih yang terlihat bersantai pada sudut ruang; tengah menyesap coffee, lantas mengedar pandang hingga menemukanku yang berdiri tak jauh darinya, "Boleh aku bergabung dengan Kim Nam oppa, Jung?" tanyaku, memastikan.
Pun pria yang kuanggap sebagai Jungkook; si pribadi lain—terlihat mengangguk kecil. Menyisakanku yang lekas mengangkat tungkai terburu guna menghampiri pria yang lantas menyingkirkan sebuah novel yang sempat menjadi fokusnya, "Oppa, di sini?" sapa ku basa-basi, yang hanya dibalas anggukan bersama ulasan senyum tipisnya, sebelum menanggapi, "Aku di sini, karena memiliki janji dengan Jungkook, Jian. Eoh, kau terlihat bahagia sekali? pasti bocah itu telah memberitahumu bukan?"
Dahiku mengernyit, bersama raut bingung—sebelum menempatkan diri pada sofa yang berhadapan dengan Kim Nam oppa. Hingga pria cerdas itu, terlihat kembali menyesap coffee-nya sekali lagi, sebelum mengimbuh; "Kukira ia masih bersikeras, tak ingin menghilangkan alter ego-nya. Ah, aku begitu penasaran dengan cara apa kau membujuk bocah itu, sampai-sampai ia datang dengan sendirinya ke tempat ku—hanya untuk melakukan terapi hipnotis."
Bibirku kembali terkulum untuk ke sekian kali. Lantas menilik Jungkook yang tengah mengambil langkah mendekat. Sesekali ia terlihat menunduk sopan, pada beberapa pelayan yang memberikan sapaan. Mematrikan senyum menawan yang begitu khas, hingga membuatku kembali menerka; "Ia Kookie, atau Jungkook?”gumamku begitu lirih, namun masih dapat terdengar oleh pria yang lekas menimpali, "Ia Nam Jungkook, Jian. Pribadi yang sempat terpecah itu, telah menjadi satu—setelah ia melakukan terapi hipnotis. Ahh, sedikit sulit untuk menjelaskannya. Jadi, ia tetap menjadi Kookie—namun memiliki memori Jungkook. Dan aku juga menyarankannya untuk sedikit belajar dari sikap Jungkook, sebagai bentuk kepercayaan diri dan sebagai pertahanan dirinya. Jadi jangan heran jika emosinya kerap berubah-ubah, Jian."
Aku berdesis. Lantas menghela nafas panjang, sesaat setelah Jungkook telah memaku diri tepat disisiku bersama raut bingungnya, "Kenapa?" singkat pria itu, seraya menatapku dan Kim Nam oppa secara bergantian, yang jelas saja kembali kuacuhkan, sebab lebih memilih untuk memberikan atensi pada Kim Nam oppa, “Jadi, Jungkook dalam proses meniru sikap pribadi satunya? Oh, itu berarti semua yang ia lakukan—berada dalam kesadarannya secara penuh?"
Nam Jungkook mendelik. Lekas meraih satu tanganku untuk disematkan kelima jemarinya begitu erat. Hingga berulang kali mengulum bibir lembab itu, sebelum menimpali; "Noona, biar ku jelaskan terlebih dulu. Jadi—“
"Ingin kuingatkan bagaimana kau memperlakukanku ketika didalam mobil hm? Kook-oh, oh bukan! Jungkook—aish, aniyo! Nam Jungkook! Malam itu, kau nyaris membuat ku tewas, brengsek!" []
--o0o--