Musim Kedua; Bagian 4

Tokyo, 2022.

ADA beberapa poin penting yang sedikit banyak merubah kehidupan seorang Lee Jian, sejak hari pertama gadis itu bertemu tatap dengan pria beralter ego seperti Nam Jungkook. Perihal presensi serta suara bariton, yang berhasil menepis prinsip hidup yang ia buat agar menjadi seorang diri dalam kelamnya dunia. Ataupun ia yang diawal, tak sedikit pun mendambakan sebuah kisah roman picisan yang akan singgah untuk mengisi kesehariannya. Pun tak ada raut sumringah dengan ulas senyum yang terhias dari wajah cantik gadis itu. Lantas membiarkan kulit putih beningnya, tak diwarnai beragam riasan sebab ia tipikal gadis sederhana nan acuh akan standart kecantikan yang telah digembar-gemborkan oleh segerombol manusia diluar sana.

Kilas balik mengenai masa muda Lee Jian, diakui cukup membosankan untuk dibahas. Oh, tunggu—tentunya tidak lagi, untuk sekarang. Dimana gadis bersurai legam yang kini ia tata sedikit bergelombang dengan poni tipis, sungguh terlihat sempurna ketika dipadukan dengan lipstick mate berwarna merah maroon yang dipoles pada bibir tipis untuk meninggalkan kesan sensual. Pun hal itu cukup ampuh, guna menyita atensi lawan bicara yang seketika akan menaruh fokus pada belah bibir yang tak dikatup dengan sempurna. Menyisakan adam apel seluruh pria dimuka bumi, akan tergerak—sebab meneguk ludah secara berulang, bersama angan yang kian tenggelam akan fantasi liar terhadap gadis yang memiliki aura mematikan. Terlebih seorang Nam Jungkook, yang jelas-jelas terobsesi oleh Lee Jian. Pria yang menghalalkan segala cara, guna mengenggam sepuluh jemari gadis yang dideklarkan telah menjadi miliknya secara utuh. Entah empat tahun lalu, ataupun didetik pertama sepasang iris pekatnya kembali menemui gadis yang menghilang begitu saja.

"Aku telah tumbuh menjadi pria dewasa, setelah kepergianmu, noona. Jadi kuharap, kau sedikit mempertimbangkan untuk kembali padaku. Aku, sungguh menyesali sikap bodohku diempat tahun silam." jujur Jungkook seraya merundukkan wajah. Berharap gadis yang satu pergelangan tangannya masih ia cekal, akan sedikit luluh lantas mengindahkan pernyataan tanpa rasa bersalah yang baru saja ia lontarkan.

Gadis itu berdesis sebagai jawaban awal. Lekas menghempaskan genggaman tangan Jungkook dalam satu pergerakan, sebelum wajahnya terbuang ke lain arah seraya menghirup nafas dalam-dalam. Lee Jian merasa geram dan gerah secara bersamaan. Berusaha mati-matian untuk menahan diri, agar tak langsung meraup bibir merekah pria yang kerap kali mendatangi alam mimpinya. Terlebih feromon yang menguar kentara dari Jungkook, nyaris saja melumpuhkan akal sehat hingga mengindahkan ide gila untuk menyeret pria muda dihadapannya untuk bergelut diatas ranjang, di detik ini juga, "Telan penyesalanmu, karena kita telah menjadi orang asing, sejak empat tahun lalu." lolos Lee Jian, pada akhirnya.

Begitu lama dalam berperang diri dengan sisa nalar yang dimiliki, hanya untuk melontarkan jawaban yang langsung saja ditanggapi seringai oleh pemuda yang memiliki garis rahang tegas, hingga ia menanggapi, "Orang asing? lalu bagaimana dengan Eunwoo? Bahkan noona telah memberikan marga Nam untuk bocah itu. Jadi sudah cukup menjelaskan jika ia itu bayiku, bukan?" kalah telak rasanya. Membuat gadis yang surainya ditata menjadi ikatan kuncir kuda, lekas mengerjabkan kelopak manik secara berulang. Sedikit berdehem singkat, sebelum pergerakan pria yang kembali mengikis jarak mendekat, lantas menciptakan lontaran asal, "Aku hanya menyukai nama ‘Nam’. Jadi bukan berarti Eunwoo itu—" kalimat gadis itu terjeda, serta merta mengerutkan dahi selepas pandangannya telah teralihkan pada pelataran resto, tatkala ia mendapati ada dua jagoan diluar sana.

"Aku telah hidup bersama Yoongi oppa, selama empat tahun terakhir. Ia baik, bertanggung jawab, dan terlihat begitu menyayangi Eunwoo. Jadi—apa menurutmu, aku masih memiliki alasan lain—untuk kembali lagi bersamamu, Nam Jungkook-ssi?" sepasang iris pekat Jungkook mendadak teralih, guna mengikuti arah pandang Lee Jian yang tengah mengamati dua pria dibalik jendela kaca. Bahkan ia sesekali terkekeh, tatkala mendapati jagoan kecilnya diberikan serangan gelitik oleh pria yang surai blonde-nya telah di ubah menjadi warna gelap sejak dua tahun terakhir.

"Noona tak menikah dengan Yoongi hyung, bukan?" cegat Jungkook, seraya mencekal satu pergelangan tangan gadis yang langsung saja menautkan sepasang alisnya. Merasa sedikit terkejut, setelahnya kekehan gadis itu lantas mengudara ringan sebelum bahunya menghendik acuh, hingga menepuk salah satu lengan Jungkook.

"Aku cukup bangga setelah melihat perubahan fisikmu sekarang ini, Kookie—" jeda Jian, kembali menilik ke arah Yoongi yang hendak mengambil langkah ke arah restaurant, dimana gadis itu tengah bercengkrama dengan Jungkook tanpa sepengetahuan Yoongi. "Sekarang kau semakin tampan dengan garis rahang yang indah, dan otot yang kau bentuk dengan sempurna ini. Tapi, bisakah kau makan dengan baik, Jung? kurasa, kau terlihat semakin kurus." imbuh Jian, bersama kedua tangannya yang terangkat naik guna menepuk dada bidang Jungkook. Menyisakan iris sendu keduanya yang saling bertukar tatap dalam sepersekian detik, hingga gadis itu kembali mengimbuh, "Aku sedikit menyesal karena harus bertemu lagi denganmu disini. Ku kira, bersembunyi di Tokyo selama beberapa tahun—adalah opsi paling tepat. Nyatanya, takdir masih seenaknya mempermainkan kita. Kuharap kau melupakan pertemuan ini, layaknya angin lalu, Jung."

Barangkali perasaan gadis itu, sudah lama mati. Berusaha mengabaikan degub jantung abnormal, yang ia asumsikan karena rasa rindu yang kelewat menggunung dan ia simpan begitu lama. Perihal gelenyar aneh yang merambati seluruh tubuhnya, karena aroma feromon seorang Nam Jungkook yang memang kelewat kuat. Nalarnya terus meyakinkan, jika apa yang tengah ia rasakan bukanlah rasa suka—terlebih cinta. Tidak, tentu saja bukan hal semacam itu.

"Aku tidak mau! percayalah, takdir telah merencanakan ini semua, noona. Perihal kesalahpahaman, ataupun kembali dipertemukannya kita. Jadi, jangan salahkan aku yang akan kembali mengejar noona." cerocos pria yang masih berusaha menahan langkah Lee Jian.

Merasa jengah, sepasang iris gadis itu lekas berotasi malas seraya menurunkan bahu. Fikirnya, pun percuma jika beradu argumen dengan pria berkepala batu seperti Jungkook. Menyisakan ia yang mengangguk perlahan, lantas bersua, "Terserah kau saja. Aku pergi." perhitungan yang tepat. Manakala tungkai Lee Jian lekas berderap terburu, guna mencegat langkah Yoongi—agar tak memasuki resto, hingga membawa wajahnya bertemu tatap dengan Jungkook.

"Eoh? Eunwoo-ya, lihatlah! Apa mommy baru saja mengkhianati kita berdua? ia bahkan makan seorang diri, dan membiarkan kita nyaris mati karena kelaparan." sambut pria yang langsung saja menyerahkan tubuh gempal Eunwoo untuk berpindah pada rengkuhan Jian. Sadar jika keduanya serempak memasang raut sebal, tiga kecupan telah mendarat diatas permukaan bibir Eunwoo secara beruntun.

"Mommy hanya penasaran dengan dekorasi di dalam, dan ternyata itu tak cukup baik. Jadi kita harus mencari tempat makan yang lain." jelas Lee Jian, yang hanya ditanggapi oleh anggukan semangat dari jagoan kecilnya. Hingga iris jelaga gadis itu telah beralih pada pria berkulit pucat yang terus menampilkan sorot hangat, Lee Jian lantas menginterupsi, "Eunwoo-ya, tutup matamu."

Siapa sangka, jika Lee Jian akan memberikan dua kecupan ringan tepat diatas bibir Park Yoongi tanpa segan? lantas kembali mendaratkan bibirnya, sebagai ciuman penutup—bersama lumatan kecil diatas bibir tipis pria yang hanya terpaku, seraya melebarkan iris tatkala mendapati suara mendayu gadis yang mengujar; "Sebagai permintaan maaf, karena telah menitipkan Eunwoo bersama oppa. Dan lagi—kenapa juga Yoongi oppa, terlihat tampan sekali hari ini?" []

--o0o--