Chapter 1

New York, selalu terasa seperti pengulangan bagiku; tidak ada ketenangan yang bisa kudapatkan di sini. Kemacetan lalu lintas, padatnya manusia, tidak pernah berakhir. Kadang kala aku suka berpikir, mengapa aku memilih kota ini.

Mungkin ada dua pilihan mengapa orang-orang memilih New York. Sebagian dari mereka adalah pencari kesenangan—atau bahkan kebahagiaan, dan sebagian yang lain hanya karena tuntutan. Aku tidak bisa membagi mana yang lebih menonjol dari satu dengan yang lainnya. Karena di New York, antara kesenangan dan tuntutan hidup, keduanya seimbang banyaknya.

Aku masuk ke dalam kategori tuntutan. Aku dituntut untuk melanjutkan hidupku di kota ini. Karena aku tidak punya pilihan lain. Benarkah? Aku tidak tahu, kurasa begitu. Tapi apabila ada pilihan lain seperti; melarikan diri misalnya, mungkin aku akan lebih cocok di dalam kategori itu.

Kulayangkan kedua mataku ke arah jendela besar yang menghadap ke jalan Madison Ave. Orang-orang berlalu lalang di atas trotoar, begitu terburu-buru seolah nyawa mereka sedang dipertaruhkan pada setiap detiknya. New Yorkers, pikirku. Ada yang menarik perhatianku, kulihat seorang wanita dengan penampilan seakan-akan dirinya itu adalah etalase toko berjalan sedang mengalami kesulitan memegangi kantong-kantong belanjaannya, sementara dirinya menerima panggilan telepon. Aku berani bertaruh, pasti harga kacamatanya saja seharga sewa apartemenku di sini.

Namun, tiba-tiba pandanganku terblokir sesuatu.

Ada dua lembar kertas berbentuk persegi panjang melambai-lambai di hadapanku. Di sampingnya, seulas ekspresi puas bercampur gembira tertempel di wajah Amber.

"Apa ini?" tanyaku. Meskipun mungkin sebenarnya aku sudah tahu apa itu. Kulempar lap kotor ke samping meja. Lalu kusambar kertas itu dari tangannya. Ketika aku melihat tulisan yang tertera di tiket tersebut, kedua mataku otomatis terbelalak.

"Wow! Kelas festival?" seruku kepada Amber yang menganggukkan kepala dengan bersemangat kemudian. "Well, kau sudah dapat tiketnya, selamat bersenang-senang." Lalu kusodorkan tiket-tiket itu kembali kepadanya.

Amber meraihnya sambil mendesah keras. "Ayolah! Jangan bilang kau tidak bisa untuk yang ini." Lalu dia merajuk seperti anak kecil. "Kau harapanku satu-satunya, Lana!"

"Kau yakin tidak ingin mengajak seseorang yang lebih menyenangkan daripada aku?"

Amber menggelengkan kepala dengan mulut cemberut. "Aku tidak punya seseorang yang lebih menyenangkan," katanya dengan nada lirih yang dibuat-buat.

Tawaku pun pecah. "Ah, aku tersanjung mengetahui ternyata akulah satu-satunya seseorang yang menyenangkan," candaku, lalu tergelak lagi.

Amber menepuk keras lengan bagian atasku.

"Aw! Adanya kekerasan fisik artinya aku tidak akan ikut!"

"Oke, maafkan aku! But please... Lana Riversong yang seksi nan cantik rupawan. Aku menurunkan harga diriku di bawah kedua kakiku demi mu."

Kulirik Amber yang kali ini sedang mengerjap-ngerjapkan bulu matanya dengan gerakan dramatis kepadaku.

Aku mendesah kencang, kemudian menimbang-nimbang semua ini.

Governors Ball Music Festival, itu artinya sebagian besar band terkenal dunia akan berkumpul di sana. Dari band-band legendaris papan atas sampai band-band pendatang baru yang kepopularitasannya sedang di atas angin dan digandrungi di seantero jagat raya. Ada satu band yang sedang naik daun akan turut mengambil andil di tahun ini. Itulah yang menjadi alasan terbesar bagiku enggan hadir di acara musik itu.

Namun di sisi lain, aku tidak tega melihat Amber yang sudah bersusah payah berjuang untuk mendapatkan tiket-tiket tersebut dari satu bulan yang lalu—hanya karena ingin mendapatkan tempat paling depan.

Rencana awalnya; dia membeli dua tiket tersebut untuk adiknya Jonah, namun malam sesudah Amber mendapatkan tiket-tiket itu, Jonah memberitahu Amber, bahwa dia tidak bisa pergi. Dikarenakan jadwal keberangkatannya ke Cabo untuk liburan musim panas dipercepat. Jonah meminta maaf dan meminta kakaknya untuk pergi bersama orang lain saja.

Dengan nada jengkel Amber menceritakannya kepadaku di telepon ketika aku baru saja tersadar dari tidurku tadi pagi. Dan dia pun membujukku dari semenjak itu.

"Aku setuju dengan Jonah, lebih baik berjemur di pantai dan balapan mobil di padang pasir daripada berdesakan di tengah kerumunan orang yang berbau alkohol dan keringat, ditambah suara bising yang memekakkan gendang telinga," kataku.

Amber memutar bola matanya. "Seperti kau tidak suka suara bising saja," cericipnya.

Aku terkekeh.

"Alright! Sudah saatnya menyudahi pembicaraan ini dan mari mencari uang," kataku, sambil menunjuk ke arah pintu masuk restauran. Para pengunjung mulai berdatangan.

Amber mengikuti jari telunjukku, kemudian menekuk wajahnya. "Oke! Setelah jam kerja selesai kita lanjutkan lagi, kalau begitu," katanya tidak menyerah.

Kali ini aku yang memutar bola mata.

Aku mengenal Amber dari semenjak tiga tahun yang lalu. Ketika itu aku masih menjadi pelayan baru di restauran tempat ku bekerja saat ini. Amber menjadi trainer-ku. Saat itu adalah tahun keduanya bekerja di restauran ini. Pada jam istirahat, dia mendatangiku dan secara blak-blakan mengatakan kalau aku ini cantik tapi lelet. Dia juga bertanya mengapa aku mau bekerja menjadi pelayan restauran, bukannya menjadi model saja. Aku bilang kepadanya kalau aku membutuhkan uang untuk bertahan hidup di kota New York dan kebetulan restauran yang merangkap bar ini sedang membuka lowongan pekerjaan.

Aku ingat pada waktu itu, aku sudah putus asa untuk mendapatkan pekerjaan yang benar-benar kuinginkan di New York. Aku sampai berpikiran rela untuk bekerja apa pun asal menghasilkan uang. Maka dari itu ketika ada lowongan pekerjaan di sini tanpa berpikir panjang lagi aku langsung mengambilnya.

"Oh, jadi kau bukan berasal dari sini?" tanyanya kala itu. Mata biru terangnya membesar, ingin tahu.

Aku memberitahunya. "Aku dari Santa Monica, California."

Amber mengangguk. "Well, kalau begitu kita serupa. Sama-sama perantau dari daerah panas. Aku dari Pheonix, Arizona," jelasnya. Lalu dia menatapku dengan tatapan yang menunjukkan bahwa dirinya masih ingin tahu lebih banyak. Dia pun melontarkan lagi pertanyaan.

"Jadi sebenarnya apa yang membawamu datang kemari? Ke kota yang penuh sesak ini? Tidak mungkin hanya karena ingin menjadi seorang waitress, kan?"

Aku terdiam sejenak, mengingat apa yang menjadi alasan terbesarku datang ke kota ini.

"Aku hanya ingin suasana yang baru. Kau tahu, hidup baru," jawabku setengah jujur seraya mengedikkan sebelah bahu.

Kedua mata biru jernih itu menatapku lama, lalu sedetik kemudian menyipit. "Pasti di tempat lamamu begitu menyebalkan, sampai-sampai kau terbang 3000 miles untuk menemukan suasana yang baru?"

Aku hanya mengangkat kedua bahu, dan setelah itu Amber pun menutup mulutnya.

Beberapa hari setelah itu, aku bertanya kepadanya apakah dia tahu apartemen murah di kota ini. Wajah Amber berseri-seri ketika aku bertanya. Lalu dia menjawab. "Mengapa tidak kau berbagi apartemen bersamaku? untuk sementara waktu sampai kau menemukan apartemen yang cocok untukmu sendiri," usulnya.

Aku sangat lega karena uang yang kupunyai pada saat itu masih belum cukup untuk menyewa apartemen sendiri. Akhirnya aku mau dan selama satu tahun kami berbagi apartemen.

Amber begitu baik hati dan dia adalah tipe orang yang tidak tegaan. Sewaktu keuanganku kurasa sudah cukup, aku ingin turut serta membayar sewa apartemennya. Saat aku akan membayar uang sewa apartemen pertamaku kepadanya, dia malah menolak. "Sudah simpan saja uang itu untukmu sendiri, siapa tahu ada pengeluaran tidak terduga," katanya kepadaku.

Pada bulan berikutnya aku tetap memaksa ingin ikut membayar, dan akhirnya dia bilang, “tidak sebesar itu.” Dan aku pun harus setuju untuk membayar hanya sedikit saja dari keseluruhannya.

Ternyata Amber juga seorang teman yang menyenangkan. Awalnya kukira dia hanya perempuan yang suka mengatur dan merengek. Namun setelah mengenalnya lebih dekat, Amber adalah pekerja keras yang tidak pernah mengeluh. Dia pun teman sekamar yang asyik, selalu memaklumiku jika aku lupa mencuci piring setelah makan atau tidak mematikan lampu saat tidur.

Akhirnya, aku dan dia berteman dekat sampai saat ini.

"Aku akan memberikan tiket ini secara cuma-cuma!" Amber menatapku sambil menaikkan kedua alisnya. "Bagaimana?"

"Mengapa kau tidak menyerah?" keluhku, sembari memoles ulang lipstik berwarna merah Scarlett kesukaanku pada bibirku di depan cermin loker.

Waktu jam kerjaku dan Amber sudah usai. Para pelanggan dan pengunjung di restauran hari ini sungguh membuat kami kewalahan, terutama aku. Beberapa staf mendadak cuti bersama. Bree, sang reservasi tiba-tiba menelepon pada detik terakhir, kalau dia terserang demam. Carlos si pelayan senior pun menyusul dengan memberi kabar bahwa dia mengalami kecelakaan lalu lintas. Dan Rita, pelayan training, menemani neneknya yang sedang dirawat di rumah sakit. Kami pun tidak sempat menemukan orang-orang pengganti. Oleh karena itu, Amber melakukan tugas ganda yaitu menjadi penyaji dan reservasi. Tetapi intens berada di mimbar reservasi. Sedangkan tugas Carlos dan Rita ditambah setengah dari pekerjaan Amber, sepenuhnya aku yang mengambil alih. Alhasil, selama 6 jam penuh aku tidak sempat mengistirahatkan pantatku di kursi.

"Karena aku tahu sebenarnya kau menginginkannya, tapi... ada sesuatu yang membuatmu susah dibujuk untuk ikut!"

Sejenak aku terperanjat oleh kata-katanya. Menurut sepengetahuanku, selama kami saling mengenal dan berteman, aku belum pernah menceritakann apa pun tentang hal itu. Hal yang tidak ingin kuceritakan kepada siapa pun. Tentang seseorang yang membuatku tidak ingin datang ke festival musik itu. Apa aku lupa?

"Oh iya? Apa itu?" ucapku santai seraya memutar lipstik lalu menutupnya dan mengembalikannya ke dalam tasku. Kemudian membalikkan tubuhku untuk melihatnya.

Amber sedang menatap ke arah langit-langit dengan jari telunjuk di simpan di depan mulutnya. Rambut ikal pirangnya dibiarkan tergerai.

Dengan waspada, aku menunggunya mengucapkan sesuatu. Kemudian seringai nakal muncul pada wajahnya. "Kau akan pergi berkencan dengannya, ya kan?"

Aku membuang napas kencang, lalu memutar kedua bola mataku kepadanya. "Berkencan? Dengan siapa? Jangan mengada-ngada!" sahutku.

Sambil memutar bola matanya, Amber mengangkat kedua tangan di udara, tanda menyerah. "Baiklah, jadi kau mau apa tidak?"

Sebulan lalu Amber dengan menggebu memberitahuku tentang Governors Ball Music Festival ini. Dia memperlihatkan kepadaku daftar band mana saja yang akan manggung di acara itu. Ketika mataku menemukan nama sebuah band yang sangat kukenal, napasku tertahan. Aku sempat tidak mempercayainya.

"Acaranya besok, kan?" tanyaku, disusul oleh anggukkan bersemangat dari Amber.

"Siapa saja yang akan tampil?" tanyaku lagi.

Amber menyambar ponsel dari dalam tas jinjingnya. Lalu menyalakannya, kemudian membacakan Lineup.

"Umm… Jamiroquai, Jay Z, Imagine Dragons, Twenty One Pilots,..." Amber menyebutkan satu per satu. "...Perfect Circle, dan Greta Van Fleet. Itu saja." Setelah selesai membaca, dia mendongakkan wajahnya dari ponsel ke arahku.

Aku bernapas lega karena tidak mendengar nama band itu disebut. Bukan jadwalnya, pikirku.

"Jadi hanya band-band itu saja, kalau begitu?"

Amber mengangguk. Menungguku dengan kedua mata besar berwarna biru cemerlangnya tertuju kepadaku.

"Well, I'm in," desahku.

"Yaaay! Nah gitu dong, kau memang teman terbaik!" pekiknya senang bukan kepalang sembari melompat-lompat dan bertepuk tangan.

Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya. "Hey! Jangan senang dulu," sergahku.

Amber berhenti. "Mengapa?"

“Apa Corinne akan mengijinkan kita berlibur besok? Kau tahu sendiri kita sedang kekurangan orang di restauran.”

Amber tersenyum lebar. “Tenang saja, dia sudah menemukan beberapa pegawai pengganti untuk besok. Jadi kita bisa bersenang-senang!” sahutnya ceria.

Kemudian aku mengingatkannya lagi. "Tiket cuma-cuma, jangan lupa!" aku menatapnya seraya menggoyang-goyangkan jari telunjukku kepadanya.

Amber lalu menaikkan sebelah tangan ke pelipisnya, sikap hormat. "Siap!"

Aku pun terkekeh. Lalu kami berdua bergegas pergi keluar dari sana, menembus keramaian New York pada malam hari di bulan Juni dan berjalan pulang ke apartemen kami masing-masing.