Chapter 2

Kapal feri menjadi salah satu daya tarik di New York selain kehidupan kota itu sendiri. Aku belum pernah menaiki feri sebelumnya, meskipun di California banyak kapal feri.

Di New York, feri seperti layaknya bus dan subway, alat transportasi umum yang biasa digunakan masyarakat kota. Kapal feri pertamaku, sekitar dua setengah tahun yang lalu, sewaktu aku masih sebagai newbie di kota ini. Waktu itu Amber mengajakku ikut berwisata ke Liberty Island untuk melihat patung Liberty dari jarak dekat. Setelahnya, beberapa kali aku menggunakan alat transportasi ini hanya untuk sekedar berjalan-jalan mengenal New York lebih dalam. Seringnya Amber yang menemaniku.

Sekarang, kami berdua sedang berada di atas feri menuju Randall's Island, di mana festival musik itu digelar. Tadinya aku berpikir akan menggunakan bus. Namun tiba-tiba, Amber nyeletuk tentang feri. Katanya, Jonah sudah membeli tiket ferinya dan memberitahuku untuk tidak perlu khawatir. Jujur aku senang mendengarnya. Jadi di sinilah kami. Aku berniat untuk mengganti uang tiket feri yang Jonah belikan, dan sudah pasti Amber menolaknya mentah-mentah. Tapi dengan sedikit ancaman kalau aku akan pulang saja, akhirnya dia mau menerimanya.

"Aku tidak mengira akan sepadat ini," Amber menaungi penglihatannya menggunakan sebelah tangan, sambil menengok ke kanan dan ke kiri.

Aku mengikutinya dan setuju dengan ucapannya. "Orang-orang lebih memilih feri ketimbang bus. Mereka mau menonton konser, dan ini musim panas, ingat?"

Amber pun menganggukkan kepala.

Setibanya di Randall's Island kami langsung menuju venue. Bisa dikatakan festival musik ini hampir sama dengan festival Coachella di California. Bahkan ada yang menyebut festival musik ini sebagai Coachella-nya Pantai Timur.

Kulihat di mana-mana bertebaran pemandangan para pengunjung yang menggelar selimut piknik dan bersantai di atasnya, menikmati matahari musim panas sebelum pertunjukan musik dimulai. Kami pun membawa satu untuk kami sendiri.

"Mungkin sebaiknya kita membeli minuman, aku haus," saranku kepada Amber.

Kami berdua pun berjalan menuju gerai makanan dan minuman yang ada. Sebenarnya aku tidak sehaus itu. Aku hanya perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan rasa gelisahku sebelum menonton konser.

Musim panas di New York sangat berbeda dengan di California. Di sini panasnya lembab tidak seperti di California yang kering.

"Ngomong-ngomong siapa yang akan tampil pertama?"

Setelah kami membeli makanan dan minuman, kami menemukan tempat yang lumayan nyaman untuk menggelar selimut di atas rumput. Dan bersantai di sana.

Aku setengah berbaring dengan menopang tubuh pada lengan kananku, sementara Amber duduk bersila.

Amber meneguk jus semangkanya sebelum membuka ponsel dan memeriksa lineup. "Di panggung GovBall, Confidence Man," jawabnya.

"Aku bahkan belum pernah mendengarnya," dengusku, seraya mengeryitkan kening.

Amber melirik ke arahku. "Kau jangan mematikan mood dong! Kita ke sini kan untuk bersenang-senang! Tidak perlu dipermasalahkan band mana yang akan tampil."

"Yeah...sorry. Tapi serius aku belum pernah mendengar lagu-lagunya," kataku, mengangkat bahu. "Tidak semua musik aku sukai."

"Well, pada awalnya aku juga tidak begitu tertarik untuk menonton festival musik ini. Hanya saja,—" Amber mengedikkan bahu. "Mengapa tidak untuk pergi bersenang-senang. Terlebih karena ada satu band yang aku sukai, dan kabarnya mereka akan tampil di sini," lanjutnya, meneguk jus lagi.

"Apa nama band-nya?"

Amber meneguk jus semangkanya sampai habis sebelum menjawab.

"Infinity Dusk."

Dan begitu saja, tiba-tiba dadaku terasa sesak dan tenggorokanku kering. Otomatis kuteguk minumanku sampai isi botolnya kosong. Tubuhku terasa kaku, namun aku berhasil untuk duduk.

"Mereka—mereka akan tampil hari ini?" suaraku agak tersendat, tapi tampaknya Amber tidak menyadari hal itu. Jantungku pun berdebar sangat kencang ketika menunggu Amber melanjutkan.

"Yah, seharusnya," dia mendesah dan bahunya melorot. "Tapi aku tidak melihatnya lagi di lineup," desahnya lagi. Dia terdengar kecewa.

"Mengapa seperti itu?" tanyaku.

Kulihat Amber hanya mengangkat bahu dan mendesah kencang.

Aku terkejut ketika mengetahui aku pun merasa kecewa, namun di samping itu perasaan lega pun kurasakan.

Apa mungkin pada detik terakhir mereka membatalkan pertunjukannya di sini? Batinku.

Sebulan sebelumnya sewaktu Amber mengoceh tentang festival musik ini, dan ketika kedua mataku menangkap nama band itu dari daftar yang Amber tunjukkan kepadaku, rasa penasaran terlarangku pun menjalar ke seluruh tubuh. Usai jam kerja, aku langsung mencari tahu. Benar saja mereka akan tampil di festival musik ini. Ada kebahagiaan yang kurasakan mengetahui kebenaran tersebut. Tapi di sisi lain, hal itu menggangu pikiranku.

"Aku tidak tahu kalau kau suka musik beraliran keras," kataku berusaha mengalihkan perhatian dari perasaanku yang mulai tidak karuan.

Kedua mata Amber terbelalak, antara terkejut dan senang. "Kau juga tahu Infinity Dusk?"

Kualihkan perhatianku darinya. Sebisa mungkin menahan lidahku untuk tidak menceritakan kisah sebenarnya.

"Yah… siapa yang tidak tahu band yang sedang naik daun itu," jawabku berusaha terdengar acuh tak acuh. "Aku hanya terkejut kau suka band sejenis itu."

Amber mendelik kepadaku. "Kau pikir aku hanya akan pasrah dengan Enya dan Tory Amos saja?" sindirnya. Ucapan Amber membuatku tertawa.

"Ya! Karena kau tidak cocok berputar-putar di mosh pit!"

Aku membayangkan Amber yang manis terpental-pental di dalam mosh pit. Dan bayangan tersebut membuat tawaku semakin kencang.

Tanpa terduga dia melemparku dengan tutup botol jus semangkanya, tapi aku keburu mengelak ketika akan mengenai wajahku.

"Kita lihat saja nanti!" katanya, menantang. Kemudian kami pun tergelak bersama.

Perasaanku belum sepenuhnya tenang dan lega, jujur saja. Aku gugup bukan main, entah mengapa. Aku juga khawatir dengan alasan dibalik ketidak-ikut-sertaan band mereka di festival ini. Namun, jika mereka tampil pun, aku tidak siap untuk menyaksikannya. Aku tidak tahu kapan aku siap melihatnya, terutama melihat kedua bola mata berwarna cokelat dan senyuman itu. Aku pasti tidak akan bisa tidur selama beberapa hari.

"Hey! Kau melamun?" lambaian tangan Amber di hadapanku mengembalikanku ke saat ini.

"Oh! Tidak, mendadak aku jadi ingat California," ujarku.

Aku merindukan Santa Monica. Dan pantai favorit ketika aku masih remaja. Tempat favorit kami.

Amber menunjukkan wajah bersimpati dan tersenyum lembut. "Mengapa kau tidak pernah pulang?"

Kalimat tanya darinya adalah hal terakhir yang ingin kudengar. Aku tidak tahu apa yang membuatku belum bisa menjejakkan kedua kakiku kembali ke sana. Masalahnya hanya tentang waktu saja.

"Mungkin aku mulai menyukai New York," aku berbohong.

Kulihat ke seberang kami, ada sepasang remaja yang sedang bermesraan di atas selimut piknik mereka. Beberapa saat aku kembali mengingat masa SMA, ketika aku dan dirinya sering bermesraan di atas pasir pantai sepulang sekolah.

"Setidaknya bagel di sini lezat, bukan?" Amber menyelaku, lalu terkekeh.

Dan yang bisa kulakukan hanya menganggukkan kepala tanda setuju.

Saat hari mulai menjelang petang, setelah beberapa band rock tampil, kami benar-benar bermandikan keringat. Aku tidak menyangka cewek seperti Amber begitu menikmati band-band beraliran keras. Kami menari, melompat-lompat mengikuti irama musik dari band-band yang sedang tampil. Bahkan Amber menarikku untuk ikut berputar-putar di mosh pit. Tapi kami hanya berputar di tepiannya, tidak ingin mengorbankan tubuh kami untuk masuk lebih dalam. Karena aku masih ingin menikmati keberadaanku di kota ini, berhasil pulang dari sini dengan tubuh utuh, tanpa memar dan lecet.

Ketika gilirannya Imagine Dragons, aku dan Amber berhasil maju ke depan, akibat dari terdorongnya kami berdua oleh para penonton yang berada di belakang. Amber dan aku akhirnya mencapai baris terdepan, sangat dekat dengan tepian panggung. Di tengah-tengah lagu Radioactive, Dan Reynolds sang vocalis, terjun turun ke arah penonton dan berdiri di atas pagar besi penghalang dengan beberapa kru memegangi bagian tubuh belakangnya. Aku yang kebetulan berdiri tepat di bawahnya, terpekik senang ketika Dan meraih satu tanganku kemudian menggenggamnya. Lalu dia mengarahkan mikrofon ke arah para penonton dan kami pun bernyanyi bersamanya. Dari sudut mataku, kulihat Amber menjerit-jerit tak terkendali. Samar-samar kudengar dia meneriakkan kalimat 'Oh my god!', 'I'm fucking happy!', 'Marry me!'.

Begitu pula saat Jamiroquai dan Twenty One Pilots mengguncang panggung. Aku dan Amber tak hentinya bernyanyi, bergoyang, berteriak, dan menjerit. Aku sangat berterima kasih kepada Amber yang sudah membawaku kemari. Tak kusangka, menonton acara musik di saat yang tak memungkinkanku untuk bergembira, ternyata menjadi semacam obat. Aku jadi berpikir ulang, mungkin aku memang harus sering-sering menonton acara musik besar untuk membuatku bahagia walau hanya untuk beberapa jam saja. Terlebih aku memiliki Amber, teman yang asik di setiap suasana, menjadikannya paket komplit.

Di saat jeda pertunjukan, aku berbalik menghadap ke arahnya. "Kuakui, kau melakukan tindakan yang benar, dengan membujukku dan membawaku kemari!" seruku masih tersengal-sengal.

Sekarang seluruh tubuh Amber sudah mengilap oleh keringat. "Terima kasih!" sahutku seraya menariknya ke dalam pelukan.

"Aku senang akhirnya bisa melihatmu seperti ini. Menikmati suasana dan kerutan di dahimu pun hilang!" tawa Amber meledak.

Kulepaskan pelukanku darinya, lalu menatapnya dengan wajah cemberut yang dibuat-buat. "Kalau begitu aku akan suntik botox agar kerutan di dahiku hilang permanen, dengan begitu kau tidak akan bisa menebak suasana hatiku lagi!"

Amber terkikih geli.

"Hey! Aku mulai lapar. Bisakah kita mencari sesuatu untuk dimakan? Supaya saat band healiners tampil nanti, aku masih kuat dan tidak jatuh pingsan," Amber mengusulkan.

Seketika aku tersadar kalau aku juga merasa lapar.

"Alright! Let's go!"

Pada saat aku dan Amber sedang mengantri untuk memesan makanan, tak sengaja kudengar seseorang yang berada di belakangku berbicara kepada temannya.

"Dude, kudengar Infinity Dusk akan tampil malam ini!"

Begitu mendengar nama band itu, seluruh tubuhku seketika menegang, jantungku berdebar kencang sekali, dan rasa laparku pun hilang.

"No shit! You're fucking kidding me, right! Wow! Ini keren! Aku kira mereka tidak jadi tampil. Padahal tujuan utamaku ke festival ini untuk menonton pertunjukan mereka. Tadinya sempat kecewa ketika nama Infinity Dusk tak muncul lagi di lineup. But thanks man pemberitahuannya! Aku jamin malam ini akan luar biasa begitu mereka menggebrak panggung!" seru temannya, terdengar sangat antusias. Kemudian disusul seruan setuju dari yang satunya.

Mereka akan tampil malam ini. Aku belum siap. Tapi aku tidak bisa lari meninggalkan Amber sendiri. Dia pasti bertanya-tanya jika aku tiba-tiba mengajaknya pulang. Amber pasti sudah mendengarnya dari beberapa di antara orang-orang ini yang sekarang secara serentak mengetahui kalau Infinity Dusk jadi tampil. Kabar tersebar, dari bisikan menjadi dengungan kemudian berubah menjadi seruan.

"Infinity Dusk akan tampil!" pekik Amber kepadaku yang nampaknya berita ini baru sampai ke telinganya.

Aku hanya tersenyum kaku mendengarnya.

Amber melihatku dengan tatapan bingung. "Apa semuanya baik-baik saja?"

Cepat-cepat aku menganggukkan kepala, berusaha menunjukkan wajah gembira. "Ya! Tentu saja."

Ketika kami kembali ke tempat pertunjukan, Amber terus saja mengingatkanku kalau kita harus berada di depan panggung seperti semula. Dia berkata kalau dia tidak mau melihat band kesukaannya itu dari kejauhan. Alhasil dengan perjuangan cukup keras, Amber menyeretku menyeruak di antara kerumunan orang, aku pasrah.

"Aku berharap bisa sepertimu tadi waktu Dan Reynolds turun ke arah penonton dan menggenggam tanganmu. Semoga Michael Soga melakukan hal yang sama!" serunya dengan wajah penuh pengharapan, ketika kami berhasil mendapatkan tempat yang sempurna yaitu tepat di depan panggung.

Nama itu disebut dengan lantang, rasanya seperti disengat ribuan koloni lebah. Kami terkepung oleh ribuan orang sekarang, dan aku sadar betul bahwa tidak ada jalan bagiku untuk melarikan diri.

Nama mereka diserukan oleh hampir puluhan ribu orang di sini. Mungkin hanya aku saja satu-satunya orang yang tidak mampu menyerukan nama tersebut.

Terkadang di kala aku akan pergi tidur pada malam hari, pikiranku berkelana. Membayangkan suatu hari nanti kami akan bertemu kembali. Bayangan itu bermunculan di dalam pikiranku dengan bermacam-macam adegan. Entah itu kami yang tidak sengaja bertabrakan ketika sedang berjalan, kami menatap satu sama lain dari seberang jalan, dia yang menghampiriku ketika aku sedang membaca buku di bangku taman di Central Park, bahkan aku membayangkan kami bertemu di pantai favorit kami di California. Namun adegan aku yang datang ke salah satu konsernya, tidak pernah sekalipun kubayangkan. Tetapi inilah yang menjadi kenyataannya. Ketika suara itu menggema ke seluruh penjuru Randall's Island, aku tersadar bahwa inilah waktu bagiku setelah bertahun-tahun aku tidak melihatnya di dalam kehidupan nyata.